KNPB Minta Viki Yeimo Dilepas
JAYAPURA—- Menyusul pernyataan Kabid Humas Polda Papua AKBP Wachyono yang menilai tuntutan referendum sebagai salah satu poin rekomendasi Mubes MRP, belum bisa dikenakan UU Makar dan Penghasutan, kembali mendapat tanggapan balik dari Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Buchtar Tabuni. Buchtar mengaku makin penasaran dengan pernyataan Kabid Humas Polda tersebut, bahkan ia melihat adanya penerapan hukum yang diskriminatif dilakukan Polda Papua terhadap dirinya dan rekan-rekannya. Sebab kata Buchtar apa yang dilakukan dan dituntut dalam demo mereka beberapa waktu lalu adalah sama dengan yang dilakukan massa MRP, namun yang jadi pertanyaannya mengapa mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara, karena dituduh makar, sementara massa MRP dinilai hanya sebatas aspirasi. “Saya mau katakan bahwa demo yang saya pimpin dengan tuntutan referendum adalah sama seperti massa MRP, hanya sebatas aspirasi dan tidak ada anarkis,”katanya dalam releasenya yang diterima Bintang Papua, kemarin. Bahkan lanjut Buchtar, saat dalam persidangan di pengadilanpun Hakim sama sekali tidak bisa membuktikan ada unsur makar. “ Yaitu siapa yang saya hasut? orang yang saya hasut buat anarkis apa? lalu siapa yang dirugikan? Dan menggunakan alat apa? Sama sekali tidak terbukti di pengadilan, namun saya di hukum 3 tahun dalam penjara,”katanya. Meski demikian, ia mengaku sangat menghargai dan berterimakasih atas penjelasan Kabid Humas Polda Papua sebagaimana dimuat di harian Bintang papua edisi Selasa (22/6) kemarin, tentang unsur-unsur makar yang dimaksud agar kedepan menjadi pelajaran bagi lembaga penegak hukum, seperti pihak Polda Papua, Kejaksaan Tinggi Papua dan Pengadilan Tinggi Papua harus koreksi diri agar ruang demokrasi harus dibuka.
“Jangan masyarakat dikorbankan seperti saya lalu yang besar dihargai. Untuk itu saya sebagai ketua umum KNPB mendesak agar saudara Viki Yeimo segera di bebaskan dari semua tuntutan, sehubungan dengan penjelasan kabid humas polda papua karena apa yang dilakukan Viki Yeimo adalah sebatas aspira dan cukup saya yang dikorbankan,”jelasnya.
Menurutnya, masalah ini juga sudah disampaikan ke pihak Kanwal Hukum dan HAM, namun lembaga ini tidak pernah menanggapinya.
“Jangan masyarakat dikorbankan seperti saya lalu yang besar dihargai. Untuk itu saya sebagai ketua umum KNPB mendesak agar saudara Viki Yeimo segera di bebaskan dari semua tuntutan, sehubungan dengan penjelasan kabid humas polda papua karena apa yang dilakukan Viki Yeimo adalah sebatas aspira dan cukup saya yang dikorbankan,”jelasnya.
Menurutnya, masalah ini juga sudah disampaikan ke pihak Kanwal Hukum dan HAM, namun lembaga ini tidak pernah menanggapinya.
Bebaskan Tapol Papua Seperti Aceh
JAYAPURA—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak untuk segera membebaskan Tahanan Politik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) di seluruh Tanah Papua. Pasalnya, sesuai perjanjian Hensilki tahun 2006, pemerintah pusat telah membebaskan Tapol dan Napol yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tapi Tapol dan Napol di Tanah Papua masih terus menjalankan hukuman di penjara, baik di Jayapura maupun pada penjara pada beberapa kota di Pulau Jawa.
“Kalau Tapol dan Napol di Aceh telah dibebaskan, tapi Tapol dan Napol masih ada di Tanah Papua. Saya minta Presiden SBY saat ini juga segera bebaskan Tapol dan Napol di Tanah Papua tanpa syarat, “ tukas Pieter Ell SH, pengacara hukum tersangka kasus makar saat dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (22/6) siang terkait pernyataan pollitik dari Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Buchtar Tabuni mendesak aparat keamanan segera menangkap dan memproses hukum massa MRP yang menuntut referendum saat menyerahkan 11 poin tuntutan dari hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP pada Jumat(18/6) siang di Gedung DPRP, Jayapura. Menurut Pieter Ell, penyidik polisi pada saat KNPB melakukan aksi unjukrasa langsung menjerat Buchtar Tabuni dan kawan kawan melakukan makar dan penghasutan serta menuntut kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat. Tapi kini penyidik polisi berbeda saat massa MRP melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Buchtar Tabuni dan kawan kawan yakni menuntut referendum. “Penyidik polisi dulu dan kini berbeda, padahal aturannya sama,” tuturnya. Dia menegaskan, kedepan siapapun yang mendengungkan orasi bernuasa politik tak perlu ditangkap, karena unsur membentuk negara dan memisahkan diri dari NKRI mesti memenuhi 3 unsur unsur penting, yakni ada pengakuan dari negara lain, ada rakyat serta wilayah. “Kalau tidak memenuhi unsur unsur penting tersebut maka apapun yang dilakukan seseorang tak bisa dikategorikan makar,” tukasnya.
Dia menambahkan, Buchtar Tabuni dan kawan kawan adalah korban ketidakprofesionalan aparat keamanan seiring dengan kebijakan Presiden SBY yang dinilai diskriminatif dalam penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua. Karena itu, lanjutnya, aparat keamanan dalam hal ini Polda Papua mesti profesional dan proporsional. Pasalnya, apapun tindakan yang dilakukan aparat keamanan dalam mengamankan kasus- kasus yang bernuansa politik di Tanah Papua tak terlepas dari kebijakan Presiden SBY yang belum memberikan grasi bagi Tapol dan Napol diseluruh Tanah Papua. (mdc)
“Kalau Tapol dan Napol di Aceh telah dibebaskan, tapi Tapol dan Napol masih ada di Tanah Papua. Saya minta Presiden SBY saat ini juga segera bebaskan Tapol dan Napol di Tanah Papua tanpa syarat, “ tukas Pieter Ell SH, pengacara hukum tersangka kasus makar saat dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (22/6) siang terkait pernyataan pollitik dari Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Buchtar Tabuni mendesak aparat keamanan segera menangkap dan memproses hukum massa MRP yang menuntut referendum saat menyerahkan 11 poin tuntutan dari hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP pada Jumat(18/6) siang di Gedung DPRP, Jayapura. Menurut Pieter Ell, penyidik polisi pada saat KNPB melakukan aksi unjukrasa langsung menjerat Buchtar Tabuni dan kawan kawan melakukan makar dan penghasutan serta menuntut kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat. Tapi kini penyidik polisi berbeda saat massa MRP melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Buchtar Tabuni dan kawan kawan yakni menuntut referendum. “Penyidik polisi dulu dan kini berbeda, padahal aturannya sama,” tuturnya. Dia menegaskan, kedepan siapapun yang mendengungkan orasi bernuasa politik tak perlu ditangkap, karena unsur membentuk negara dan memisahkan diri dari NKRI mesti memenuhi 3 unsur unsur penting, yakni ada pengakuan dari negara lain, ada rakyat serta wilayah. “Kalau tidak memenuhi unsur unsur penting tersebut maka apapun yang dilakukan seseorang tak bisa dikategorikan makar,” tukasnya.
Dia menambahkan, Buchtar Tabuni dan kawan kawan adalah korban ketidakprofesionalan aparat keamanan seiring dengan kebijakan Presiden SBY yang dinilai diskriminatif dalam penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua. Karena itu, lanjutnya, aparat keamanan dalam hal ini Polda Papua mesti profesional dan proporsional. Pasalnya, apapun tindakan yang dilakukan aparat keamanan dalam mengamankan kasus- kasus yang bernuansa politik di Tanah Papua tak terlepas dari kebijakan Presiden SBY yang belum memberikan grasi bagi Tapol dan Napol diseluruh Tanah Papua. (mdc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar