WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

2 Nov 2010

Human rights websites under cyber attack over Papua torture video


Human rights organisations that posted on their websites clips of the shocking video of Indonesian soldiers torturing Papuan tribal people have been coming under heavy cyber attack.
On Tuesday, the Asian Human Rights Commission’s (AHRC) reported that its website has been subjected to a concerted “cyber-attack” since October 28. Computers with hidden locations and identities have been used to flood the website’s servers with fake requests, in order to overload it, the organisation said. The follows close on the heels of tribal rights organisation Survival International reporting on Thursday about a similar attack. 

Otsus Tidak Menyelamatkan Orang Papua

Written by Frida/Papos   
Wednesday, 03 November 2010 00:00
JAYAPURA – Dewan Adat Papua (DAP) menilai, Otsus tidak menyelamatkan orang Papua. Ada beberapa kebijakan langsung maupun tidak langsung pemerintah pusat di Jakarta yang menunjukkan pelanggaran terhadap pelaksanaan UU Otsus. Di antaranya, Inpres No.1 Tahun 2003 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, pencairan dana Otsus tiap tahun anggaran hampir selalu sebagian besar pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua.
Termasuk pelarangan bendera separatis sesuai PP No. 77 tahun 2007, yang bertentangan dengan amanat UU Otsus khususnya pasal 5, di mana MRP gigih memperjuangkan Perdasus Lambang Daerah.
Pernyataan DAP, dalam pidatonya pada ulang tahun MRP ke-5, Senin lalu itu, terungkap kekecewaan atas sikap pemerintah pusat yang mengambil langkah-langkah yang tidak menarik simpati rakyat Papua. “Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan barisan merah putih (BMP) di Tanah Papua dan kegiatannya sehingga lembaga Negara di daerah seperti DPRP dan MRP , kegiatannya terganggu,” kata Forkorus Yaboisembut dalam pernyataan sikap DAP.
Selain itu, penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otsus versus penerimaan usul BMP atas 11 kursi yang sama oleh mahkamah konstitusi dengan mengerdilkan lembaga DPRP dan MRP dalam materi gugatannya. Ini menunjukkan sikap pemerintah pusat terhadap lembaga Negara di daerah tidak diperhatikan dari pada organisasi (milisi) yang dibentuknya. Politisasi SK MRP No. 14 tahun 2009 pun, menjadi bola liar panas yang dipermainkan oleh siapa saja, dari puast sampai di daerah. Pemerintah pusat memandang curiga dan tidak sepenuh hati karena itu, SK itu sepertinya tidak dipergunakan.
Sementara dari sisi pemerintah daerah, DAP menilai, ada beberapa indicator kegagalan dalam implementasi Otsus. Di antaranya, Pemprov tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 tahun pelaksanaan Otsus, kecuali Perdasi pembagian dana Otsus. Baru pada tahun ke-8, ada sejumlah Perdasi dan Perdasis tetapi belum dipergunakan. Selain itu, belum terbentik komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM di Tanah Papua. “Pemerintah belum menyentuhnya,” kata Yaboisembut.
Tanggal 31 Oktober sebagai masa berakhirnya jabatan MRP, ia juga menilai, gubernur secara tergesa-gesa mengirim surat ke Mendagri, tanggal 12 Oktober lalu, perihal masa jabatan anggota MRP dengan isi surat, rancangan Perdasus tetnang tata cara pemilihan anggota MRP tahun 2010-2015 sudah disampaikan kepada DPRP sehingga tinggal menunggu pembahasan dan pengesahan melalui sidang paripurna. Karena itu, Mendagri menjawab dengan perpanjanan masa jabatan hingga 31 Januari 2011.
Sebagai ketua DAP, ia menyatakan bahwa MRP adalah lembaga politik yang dibentuk berdasarkan UU Otsus, maka ia menolak jika masa jabatan MRP diperpanjang. “Ini sama dengan menodai dan melanggar konstitusi Negara kesatuan Indonesia karena secara sadar telah memasung MRP mulai dari kebijakan sampai dengan implementasi,” ujarnya. Di sisi lain, rakyat Papua secara tegas menyatakan implementasi Otsus tidak menyelamatkan orang Papua.
Indicator kegagalan itu, antara lain, pemerintah mengeluarkan berbagai UU pemekaran kabupaten dan provinsi, instruksi presiden, keputusan presiden, dan lainnya yang bertentangan dengan UU Otsus, penyebaran HIV/AIDS yang cepat, tidak berhasil menangani illegal loging, illegal fishing, illegal minning, di Tanah Papua, mengambil alih tanah adat untuk pembangunan infrastruktur militer dan sipil, menerapkan operasi intelijen secara terbuka dan tertutup di Tanah Papua, memelihara pejabat korup di Tanah Papua dan lainnya

PAPUA MINTA JADI FEDERAL

Tuesday, 02 November 2010
02.11.10.jpg
ACARA HUT : Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem, SE
didampingi Ketua MRP Agus Alua Alue dan Wakil ketua Frans
Wospakrik dan Waket Hanna Hikoyabi pada acara Ulang Tahun
ke-5 Majelis Rakyat Papua, Senin(/11) di halaman gedung MRP Jayapura


JAYAPURA [PAPOS] – Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai implementasi Otsus Papua yang sudah 9 tahun sedang berada dalam titik nol. Sehingga MRP menawarkan tiga solusi yakni merevisi UU Otsus secara menyeluruh, dialog Jakarta-Papua atau menaikkan status UU Otsus menjadi UU Federal, berada dalam satu bangsa, tetapi berbeda dalam system.

“ Otsus ini sudah mencapai titik nol, bukan lagi solusi tetapi justru mentah. Karena itu, ada 3 kemungkinan yang diharapkan MRP. Pertama, apakah harus evaluasi Otsus dan evaluasi implementasi Otsus untuk menentukan apakah direvisi total, kedua, dialog antara Jakarta dan Papua yang dimediasi oleh pihak yang netral. Dan ketiga, menaikkan status Otsus menjadi UU Federal. Tetap 1 bangsa tetapi system berbeda,” demikian dikemukakan Ketua MRP, Drs. Agus Alue Alua, M.Th, dalam pidatonya pada ulang tahun MRP ke-5, Senin [1/11] kemarin di halaman Gedung MRP, Jayapura.

Dihadapan Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE, dan para undangan yang hadir, Agus Alua lebih jauh mengungkapkan, masa berakhirnya pengabdian MRP tahap pertama sudah habis, MRP merekam beberapa hal dalam implementasi Otsus di masa lalu, masa kini dan ke depan, yang memberi kesan ketidak konsistenan dalam pelaksanaannya.

Dimana semua orang Papua tahu, bahwa Otsus diberi bukan kemauan politik pemerintah pusat. Tetapi karena ada masalah politik. Tetapi, kata Agus Alua pengalaman selama 5 tahun duduk di lembaga representative orang asli Papua itu [MRP], ia menilai betapa susahnya, karena bukan kemauan politik tetapi Jakarta mengatasi masalah dengan tidak sungguh-sungguh.

Yang kedua, Jakarta tidak menjawab aspirasi orang Papua, sehingga keluarlah kebijakan Otsus. “Tidak menjawab ya atau tidak, tetapi diberi dengan menekankan kesejahteraan yang harus ditingkatkan supaya aspirasi politik bisa diminimalisir,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga mendorong pembentukan barisan merah putih yang menurutnya hal rahasia tetapi sudah menjadi rahasia umum. Kemudian penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi versus penerimaan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.

Ia juga menilai, pemerintah pusat dan daerah tolak - menolak dalam implementasi Otsus. Selama 9 tahun Otsus Papua hasilnya adalah pertama, Pemerintah Provinsi Papua mengklaim bahwa Otsus dengan dana besar dapat diwujudkan dengan program RESPEK dan itu telah memberi hasil. Kedua, dari sisi masyarakat menilai bahwa Otsus telah gagal. Pandangan MRP sendiri, pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak konsisten mendorong dan melaksanakan UU Otsus sesuai dengan semangat awal. Arus migrasi yang juga sulit dibendung juga menjadi sorotan. Karena itu, tak heran, hasil sensus 2010, untuk Kota Jayapura saja, penduduk asli hanya 37 persen sedangkan yang lain non pribumi.

Sementara itu, Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE, pada kesempatan itu mengatakan, MRP yang berumur 5 tahun, belum dituntut untuk berbuat lebih banyak. Lembaga itu perlu ditunjang dan diperkokoh karena masih perlu pendampingan dan penguatan untuk menjadi suatu lembaga adat yang kokoh. Dengan terbentuknya lembaga masyarakat adat Papua ini, kehadiran MRP sangat melegakan karena tujuan pendirian dan pembentukannya benar-benar member perhatian bagi kepentingan dan kesejahteraan putra-putri asli Papua.

Wagub Hesegem berharap, 5 tahun telah cukup untuk meletakkan landasan yang kuat bagi kiprah MRP dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan padanya. Selain memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua, juga telah ikut menciptakan Papua yang aman dan damai untuk semua orang yang hidup dan berkarya di tanah ini.

Di akhir masa jabatannya itu juga, MRP meluncurkan sebuah buku, berjudul, “Rekam Jejak MRP 2005-2010”. Dewan Adat Papua, pimpinan Forkorus Yaboisembut juga, pada kesempatan itu, ikut member pernyataan sikap perpanjangan masa jabatan MRP masa bakti 2005-2010.

Di antaranya, masa bakti MRP telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi sesuai pasal 19 ayat 2 UU Otsus, hentikan pelaksanaan UU Otsus di Tanah Papua, karena tidak menolong dan menyelamatkan orang asli Papua di atas tanah leluhurnya. Otsus perlahan-lahan dinilai memusnahkan orang asli Papua. Dialog Jakarta-Papua juga diminta oleh DAP untuk segera dilaksanakan untuk penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, bermartabat dan tuntas yang dimediasi pihak ketiga. Selain ramah tamah yang dimeriahkan tari-tarian adat, digelar juga pameran kuliner, batik Papua, kerajinan tangan, dan lainnya

Sope calls on Vanuatu government to revive Papua lobbying


Posted at 03:29 on 02 November, 2010 UTC
A former Vanuatu prime minister and leader of the Melanesian Progressive Party, Barak Sope, has called on the government to continue to apply political, diplomatic and legal pressure on the United Nations and Jakarta to allow West Papua to hold a referendum on independence from Indonesia.
Mr Sope made the call through the Daily Post newspaper as Edward Natapei’s government is easing off the lobbying efforts of preceding administrations.
He says Vanuatu’s first prime minister, Father Walter Lini, had always maintained that as long as other islands and regions in the Pacific remained colonies, Vanuatu was not independent either.
According to Mr Sope, Father Lini said West Papua should have become the first country in the Pacific to become independent and urged the Natapei regime to sponsor a case in an American court to declare the West Papua 1963 act of free choice unconstitutional.
News Content © Radio New Zealand International
PO Box 123, Wellington, New Zealand sumber