WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

11 Sep 2010

Otonomi gagal di Papua Barat





Konsensus yang muncul di Indonesia bahwa otonomi khusus bagi provinsi Papua Barat tersinggung telah gagal.
Di antara penasihat militer Indonesia, kebijakan analis dan penduduk asli daerah yang kaya sumber daya, ada suara bulat dekat bahwa kebijakan tersebut diperkenalkan hampir 10 tahun lalu untuk menenangkan sentimen separatis telah diperdalam ketidakpuasan. Dan beberapa kata sepakat tentang bagaimana memperbaikinya.
International Crisis Group yang berbasis di Jakarta analis Sidney Jones mengatakan sebagai bagian dari dialog untuk mengatasi ketidakpuasan dan frustrasi, pemerintah harus meminta maaf untuk suara dimanipulasi pada tahun 1969 yang menuju inklusi Papua di republik ini.
Dia memperingatkan bahwa tanpa rekonsiliasi,''radikalisasi meningkat kemungkinan''. kegagalan Jakarta untuk mengatasi pelanggaran HAM di dua provinsi yang membentuk bagian barat pulau New Guinea, Papua dan Papua Barat, kehadiran keamanan yang berat, masuknya migran, korupsi merajalela dan kemiskinan yang terus-menerus merongrong otonomi khusus'''' .
Kekerasan telah memburuk dalam dua tahun terakhir sementara Majelis Rakyat Papua, yang mewakili nilai-nilai adat, secara simbolis diserahkan kembali otonomi khusus kepada parlemen provinsi selama bulan Juni dan protes Juli.
Ms Jones mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus kick-memulai pembicaraan dan mengejar rekonsiliasi masyarakat dan pengelolaan pemerintahan baru.
''Mereka harus mengatasi Pepera dan mengakui bahwa ada proses dimanipulasi,''Ms Jones kepada The Age.
Papua Barat, dengan penduduk asli Melanesia yang, pada awalnya dikeluarkan dari negara Indonesia selama negosiasi dengan bekas kolonial Belanda. Hanya setelah pemungutan suara yang disponsori PBB antara kekuatan Barat Papua tidak setuju untuk menuntut Jakarta untuk dimasukkan. Tapi itu plebisit, yang dilakukan antara lebih dari 1000 orang Papua, secara luas diejek sebagai menggelikan.
Suara 1969 tetap merupakan sumber dendam dan senjata paling ampuh dalam menantang legitimasi pemerintahan Jakarta.
Sebuah referendum kemerdekaan tetap merupakan permintaan koalisi kelompok adat Papua dan Majelis Rakyat Papua, tetapi Jakarta telah menolak untuk menanggapi tuntutan. Meskipun demikian, referendum mungkin latihan mengecewakan para pendukung kemerdekaan sebagai penduduk Papua Barat adalah pemikiran untuk dibagi antara masyarakat adat dan migran.
Dalam satu-satunya konsesi, Dr Yudhoyono telah sepakat untuk melakukan audit''''otonomi khusus tahun depan.Jakarta sendiri adalah tidak puas dengan otonomi khusus, mencatat bahwa dua provinsi mendapatkan uang lebih banyak dari pemerintah pusat daripada provinsi lainnya - $ 1 miliar per tahun - tetapi belum menunjukkan kemajuan ekonomi.
Defisit pembangunan secara luas terkait dengan korupsi merajalela dan pengalihan dana ke birokrasi baru daripada pengeluaran di tingkat masyarakat pada layanan kesehatan, pendidikan atau skema penciptaan pekerjaan.
Frederika Korain, seorang aktivis terkemuka Papua di Jayapura, mengatakan dana otonomi akan Papua non-Melanesia yang mendominasi perekonomian.
Dia mengatakan rekonsiliasi harus didahului oleh berakhirnya pelanggaran oleh pasukan keamanan, pembatasan dari milisi pro-Jakarta dan upaya untuk memberikan kembali''''Papua martabat mereka.
Dia ditandai kampanye yang sedang berlangsung dari mobilisasi massa. Sementara sebagian besar orang Papua mengejar berarti non-kekerasan, unsur tumbuh mendukung tindakan bersenjata.

SOCRATEZ SOFYAN YOMAN DAN SUARA PIMPINAN GEREJA DI PAPUA TERANCAM DIBELENGGU

SUARA KENABIAN PRESIDEN GEREJA BAPTIS PAPUA:
SOCRATEZ SOFYAN YOMAN DAN SUARA PIMPINAN GEREJA DI PAPUA
TERANCAM DIBELENGGU

“Gereja dan Pemimpin Gereja Sebagai alat kontrol
Pemerintah suara mereka sebaiknya tidak harus di belenggu”.

Pada Tahun 2009 yang lalu Socratez Sofyan Yoman Presiden Gereja Baptis Papua diberikan gelar kehormatan oleh Masyarakat Lani di Wamena dengan gelar “Dumma atau Silo”. Dumma atau Silo adalah suatu gelar kehormatan tertinggi di dalam adat orang Lani. Penghargaan yang diterimanya itu adalah penghargaan yang tidak sembarang, ia diberikan oleh karena ia dinilai oleh para tetua adat karena keberpihakan yang jelas, konsistensi terhadap perjuangan keadilan, martabat manusia, kesamaan derajat melalui buku-buku, media, seminar-seminar di dalam dan luar negeri. Karena itu hingga saat ini Socratez Sofyan Yoman Ketua Umum  Badan Pelayan Pusat Gereja-Gereja Baptis Papua menggunakan nama depan dengan kata “Dumma”.
Dumma sekelas dengan kata “Mahatma” yang diberikan kepada Mohandas Karamchand Gandhi . Pemimpin spritual dan pejuang rakyat sipil dengan konteks perjuangan nir-kekerasan (non violence) atas dua ajarannya yang terkenal yaitu Satyagraha dan aimsa. Lebih lanjut tokoh ini dikenal dengan nama Mahatma Gandhi di India. Ajaran perlawanan tanpa kekerasan hingga saat ini mendunia dan banyak Universitas di Dunia sekarang membuka program studi  tentang JUSTICE AND PEACE atau Perdamaian dan Resolusi Konflik. Penghargaan adat yang lain juga seperti di Afrika Selatan diberikan kepada Nelson Mandela dengan sebutan “Madibba” atas ketokohan dan perjuangannya melawan aparteid di negara itu.
Jadi Dumma artinya pelindung, pengayom, pemberi kenyamanan, pemberi petunjuk, pemberi makan, kepada masyarakat atau dalam bahasa gereja umat yang merasa tertindas, dianiaya, dibunuh, diperlakukan tidak adil oleh siapaun, dengan cara apapun, dengan stigma apapun. Nilai manusia penting karena itu seorang Dumma harus menjadi penolong, dan melindunginya dari setiap tindakan yang berusaha membunuh, membinasakan seorang manusia dari muka bumi.
Dumma Socratez Sofyan Yoman, President Gereja Baptis Papua sejak menjadi Sekretaris Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP) terus berbicara dengan keras menyuarakan suara kenabian dan menentang dengan keras seluruh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat khususnya di Papua, termasuk stigmatisasi rakyat Papua oleh Militer Indonesia seperti Separatis, Makar, OPM, GPL,GPK, dan stigma lain yang tidak manusiawi, tidak bermartabat, tidak elegant, dan tidak beretika kepada rakyat Papua yang dianggap melanggar hukum-hukum di Indonesia yang berlaku atas Papua.
Dumma sering mengatakan sepanjang hak-hak dasar orang Papua dibelenggu, diancam, difitnah, diteror, dibunuh, dinodai, dihina, diludai maka sepanjang itupulah dia  akan tetap berbicara secara konsisten menyuarakan suara kenabian dengan seluruh kapasitas, kewenangan yang dimandatkan Tuhan melalui umatNya.
Pernyataan lain yang juga sering dikatakan Dumma adalah muncong senjata tidak bisa menjelesaikan masalah Papua tetapi muncong mulut dapat menyelesaian masalah Papua sesulit apapun secara bermartabat, manusiawi, dan simpatik. Salah satu pemikirannya adalah ide tentang dialog. Menurutnya dialog adalah jalan terbaik, jalan bermartabat, jalan manusiawi, jalan yang sangat simpatik dan elegan dan win-win solution untuk menyelesaikan seluruh persoalan Papua. Karena itu untuk menyelesaikan masalah Papua harus duduk bersama dan bicara melalui jalan dialog Pemerintah Indonesia di satu sisi dan Rakyat Papua disisi lain melalui wakil-wakilnya. Hapir setiap buku yang ditulis Dumma, terus menawarkan ide dialog ini. Dialog  dimungkinkan untuk dilakukan saat ini di Papua karena melihat sejumlah persoalan yang tidak pernah terselesaikan ujung pangkalnya.
Dr.Neles Tebay mengatakan dialog perlu dilakukan ketika semua alat atau cara-cara penyelesaian masalah tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka dialog adalah solusinya dalam bukunya Dialog Jakarta Papua.
Dumma juga mengatakan bahwa gereja harus menjadi benteng terakhir perlawanan umat Tuhan di Papua. Gereja tidak boleh berkeok-keok di mimbar-mimbar gereja saja, tetapi gereja harus berbicara suara kenabian, mengatakan yang benar kepada siapa saja yang melanggar hak-hak dasar umat manusia. Gereja tidak boleh diam, gereja tidak boleh tutup mulut, gereja tidak boleh berdansa-dansa di dalam tetesan darah dan air mata umat Tuhan yang tertindas, teraniaya, terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan yang memenjarahkan mereka di atas tanah leluhur mereka. Manusia tidak boleh dibunuh, dihina, diperlakukan tidak adil oleh siapapun, atas nama apapun.
Dr. Benny Giay mengatakan ketika serah terima jabatan dari Ketua Sinode Kingmi yang lama kepada dirinya, Ia mengatakan bahwa gereja harus bersatu, tinggalkan perbedaan doktrin, keyakinan dan bersatu membelah umat Tuhan yang tertindas.
Karena itu, sejak reformasi bergulir di Indonesia dari 1997 sampai sekarang, termasuk di Papua. Bersama pemimpin gereja yang lain gereja Baptis terus melakukan prokteksi dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mengganggu, merorong kedaulatan rakyat dengan cara apapun, dengan stikma apapun, dalam berbagai kesempatan dan forum di tingkat lokal, nasional dan Internasional President Baptis Papua terus menyuarakan suara kenabian agar persoalan Papua harus diselesaikan secara bermarbat dengan cara-cara dialogis bukan dengan moncong senjata.
Karena suara gereja yang lantang itu gereja Baptis sejak 2006 sudah diobok-obok , diteror, diintimidasi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab. Dan sampai pemimpin gereja dilingkungan gereja Baptis dihasut. Perbedaan pendapat dialam demokrasi dan yang dianut gereja baptis dilihat oleh kelompok tertentu sebagai pintu masuk dalam upaya menghancurkan gereja Tuhan ini di Papua. Kasus 27 July 2007 di Gereja Baptis BTN Kotaraja dan 19 Maret 2010 adalah bukti dari kondisi yang diciptakan itu. Sementara keadaan ini menyebabkan umat Tuhan bentrok dan pelaku pengkondisian keadaan umat itu tertawa menonton kedua kubuh yang sedang bertikai diantara mereka. Konflik ini diciptakan dan berharap dengan kondisi seperti itu membuat atau mencoreng nama baik pemimpin gereja. Dan hingga kini kondisi ini masih terus dipelihara. Gereja yang menyuarakan suara kenabian di Papua terus mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Gereja Baptis Papua saat ini.
Target utamanya adalah berusaha menggulingkan pemimpin-pemimpin gereja yang bersuara lantang, agar mereka tidak lagi bersuara ketika mereka tidak dipercaya umat. Upaya terror ini tidak hanya terjadi pada gereja. Pada tahun 1980-an misalnya untuk membunuh Arnold Ap isu yang dikembangkan waktu itu adalah isu perempuan bernama Wati yang haus darah, karena itu masyarakat diminta jangan keluar rumah. Tidak lama kemudian rakyat Papua disuguhkan dengan kematian tokoh antropolog Papua Arnlod Ap. Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay tahun 2001, sebelumnya isu yang dikembangkan adalah isu drakula yang berseliweran di Kota Jayapura. Tidak lama kemudian rakyat dikagetkan dengan pembunuhan pemimpin besar bangsa Papua itu.
Kasus di Timika, untuk membunuh Kelly Kuwalik, sebelumnya Timika terus terjadi Geyolak, geyojalak itu disinnyalir dilakukan oleh OPM atau juga  OTK (orang tak dikenal) salah satu pelakunya dianggap Kelly Kwalik tetapi setelah Kelly Kwalik dibunuh tidak lama Timika masih terjadi lagi beberapa kali geyolak. Kasus di Pucak Jaya target utamanya adalah mencari Goliat Tabuni atau Pemimpin OPM lainnya di wilayah itu tetapi mengapa korban terus terjadi pada rakyat sipil yang tidak berdosa? Apakah mereka menjadi umpan? Menjastifikasi kehadiran militer di wilayah itu maka rakyat sipil harus dikorbankan? Kita lihat aksi-aksi ke depan sebenarnya siap dibalik semua kasus di wilayah itu? Sementara kepolisian masih mengadai-andai sampai saat ini? Siapa sebenarnya pelaku di wilayah itu! Melihat kondisi seperti itu, Markus Haluk mengatakan persoalan Puncak Jaya tidak bisa di lihat sebagai persoalan kriminal biasa tetapi harus di lihat dari seluruh bagian persoalan yang terjadi di Papua. Karena itu upaya penyelesaian seluruh persoalan di Papua harus dilakukan secara menyeluruh jangan secara parsial.
Kembali kepada Dumma, baru-baru ini Presiden Baptis Papua dipanggil oleh Polda Papua bahkan diancam dipanggil paksa dengan nomor polisi: B/792/VIII/2010 tertanggal 7 Agustus 2010. Dengan statemen Dumma pada media Bintang Papua tertanggal 5 Agustus 2010. Pernyataannya dinilai menyudutkan TNI/POLRI. Namun fakta sejarah, pengalaman setiap kasus yang terjadi Papua dan bukti-bukti yang ada dan juga sebagai kontrol terhadap Institusi TNI/POLRI yang bertugas melindungi seluruh rakyat Indonesia termasuk rakyat Papua, dinilainya masih lamban, karena konflik di wilayah itu terjadi sejak 2004, kondisi inilah yang sebenarnya memicu komentar pedas yang disampaik pemimpin gereja yang vokal ini kepada TNI/POLRI.
Sikap Polda Papua ini, mendapat respon dari Gustaf Kawer Praktisi Hukum dan Pemerhati Masalah-Masalah hukum di Papua bahwa “…Polda Papua terlalu reaktif terhadap pernyataan Duma Sokrates Sofyan Yoman serta terkesan proses hukumnya prematur dalam melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan. “Pemanggilan Polda itu kalau mau dilihat terlalu reaktif dan proses hukumnya juga akan sangat prematur,” ungkapnya ...Praktisi hukum ini mengatakan,  Polisi sebagai lembaga pengayom masyarakat harus bisa menerima kritikan dengan besar hati, apalagi kritikan yang dilayangkan kepada polisi tersebut merupakan satu bentuk kepercayaan masyarakat kepada polisi. “Polisi jangan alergi untuk dikritik, apa yang dikatakan pak Yoman itu karena dia prihatin dengan umat di sana, kita semua tahu kalau bahwa penembakan di Puncak ini sudah terjadi lama, banyak pasukan di sana, inikan jadi pertanyaan,” terangnya. Kawer mengatakan juga bahwa, seharusnya Polisi menggunakan hak jawab lewat media, bukan malah mengirim surat pemanggilan terhadap masyarakat yang mengkritisi kinerja Polisi, pasalnya kritikan Duma Sokrates Sofyan Yoman tersebut dilakukan lewat media. “Pak Yoman tidak melakukan kejahatan, jadi Polisi tidak perlu lakukan pemanggilan, dia kan bicara lewat media, maka polisi juga punya hak untuk menjawab lewat media,” sarannya. Nah, kalau Polisi sudah bertindak seperti ini, ragu Kawer, maka semua kritikan dari masyarakat yang sebenarnya merupakan hal yang lumrah dalam era demokrasi ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hukum, dan siapa saja bisa dipanggil oleh Polisi.“Kalau beginikan repot, karena polisi tidak mau dirinya di kritik,”
Kondisi ini menunjukan setiap pemimpin gereja yang menyuarakan suara kenabian sebagai bentuk atau upaya kontrol terhadap seluruh kebijakan pemerintah dan TNI/POLRI di Papua terancam dibelenggu. Menurut pengamatan kami adalah merupakan upaya terror tetapi juga menjadi target untuk mengganggu kinerja pemimpin gereja di Papua. Seharusnya di dalam alam demokrasi seperti dewasa ini pemanggilan seperti ini sudah tidak relavan lagi. Praktisi hukum Gustav Kawar mengatakan pemanggilan terhadap Yoman adalah premature, karena Yoman bukan criminal atau orang yang menjadi target operasi karena beliau mengatakan komentarnya kepada media, maka seharusnya kaunter Polda Papua seharusnya juga melalui media bukan melalui surat pemanggilan seperti itu. Kalau setiap anak bangsa melakukan komentar dimedia, lalu semua dipanggil melalui surat dari Polda seperti ini maka kita sedang menghambat fungsi kontrol masyarakat terhadap institusi TNI/POLRI atau Pemerintah, karena itu kondisi ini menunjukan bahwa professionalisme penegak hukum di Papua patut dipertanyakan.
Satu pemimpin gereja terancam, diteror, maka semua pemimpin gereja juga terancam, ruang suara kenabian, ruang demokrasi di daerah sedang dibelenggu,  gereja berusaha dibungkam dengan cara-cara seperti ini. Pemimpin gereja saja sudah diancam, diteror, apalagi rakyat biasa. SMS teror kepada Dr.Neles Tebay misalnya juga diterimanya dengan isu-isu miring tentang kondisi pemimpin-pemimpin Papua, atau ancaman terhadap dirinya hal ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mau pemimpin gereja menegahkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tugas dan panggilan gereja.
Berdasarkan teori human need kondisi ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan Papua dalam kondisi yang sangat tidak aman buat setiap person baik orang asli Papua ataupun non Papua. Di lihat dari teori  ruang public, kondisi/iklim yang diciptakan di Papua menunjukan public sphere rakyat Papua dan pemimpin-pemimpin Papua ruang gerak mereka dipersempit. Mengacu dengan dua teori tersebut maka kondisi di Papua perlu penanganan serius terhadap ancaman kemanusiaan. Dengan kata lain Papua harus mendapat perhatian serius oleh semua pihak, baik masyarakat Internasional, masyarakat nasional maupun masyarakat Papua, perlu ada kontral secara kontinyu setiap detik tentang apa yang terjadi di Papua saat ini. Sekian.

Penulis, Staf Pada Badan Pelayan Pusat Persekurtuan Gereja-Gereja Baptis Papua
Oleh:Pares Wenda

PACIFIC AkuSLANDS Report

Program Pengembangan Kepulauan Pasifik / Timur-West CenterDengan Dukungan Dari Pusat Studi Kepulauan Pasifik / University of Hawaii

INDONESIA larangan PAPUA BARAT GROUP HAK
agen Cordaid Belanda disebut durhaka
Wellington, Selandia Baru (RNZI, 9 September 2010) - The West Papua Tim Advokasi Papua biasa mengatakan akan kehilangan manfaat yang cukup besar demi satu LSM terkemuka dilarang bekerja di wilayah Indonesia paling timur.
Jakarta telah menolak untuk memperbarui perjanjian di mana badan pembangunan BelandaCordaid telah beroperasi di Papua selama lebih dari tiga dekade.
program Cordaid di Papua telah difokuskan pada pembangunan sosial dan ekonomi bagi masyarakat miskin.
Pemerintah telah menyuarakan kecurigaan bahwa Cordaid mendukung separatisme Papua meskipun badan menyangkal ini.
[editor's catatan PIR: Asia Pasifik Jaringan Solidaritas laporan bahwa "Cordaid dapat mengajukan permohonan kembali untuk izin dan memberikan bukti kepada Pelayanan Sosial Departemen bahwa organisasi tidak berniat mendukung separatisme, dan bahwa operasi di Indonesia telah memberikan banyak manfaat bagi orang Papua."]
Tim Advokasi Ed McWilliams mengatakan program Cordaid's pembiayaan mikro telah membantu sejumlah besar organisasi-organisasi akar rumput Papua.
"Tidak ada indikasi bahwa pemerintah Papua telah sesuatu untuk dikatakan dalam keputusan ini Dan tentu saja hal itu berdampak pada masyarakat Papua Jadi sekali lagi, saya pikir itu adalah contoh keputusan yang diambil di Jakarta tanpa konsultasi dengan pejabat Papua atau masyarakat sipil.. . "
Radio Internasional Selandia Baru: http://www.rnzi.com/
Copyright © Selandia Baru 2010 Radio International. All Rights Reserved

Komnas HAM Ungkap Adanya Operasi Militer di Puncak Jaya


TEMPO InteraktifJakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkapkan adanya operasi militer yang digelar di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. Hal itu diungkapkan oleh Wakil ketua Komnas HAM, Yoseph Adi Prasetyo berdasarkan laporan masyarakat, dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum DPR di Jakarta, Jumat (3/9). "Operasi itu permintaan Pemerintah daerah," ujarnya kepada wartawan.
Latar belakang diberlakukannya operasi itu, kata Yoseph, dikarenakan adanya beberapa aksi protes warga terhadap bupatinya yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi atau sebagainya. Dalam rangkaian aksi itu, lanjut dia, ada insiden penyerangan pos polisi di puncak jaya, ditenggarai dibelakang peristiwa ini adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM), pimpinan Buliat Tabuni. "Lalu semua pendemo digeneralisir sebagai OPM," katanya.

Setelah itu, kata Yoseph, Bupati Puncak Jayawijaya, Lukas Enembe mengatakan semua pihak yang merongrong pemerintahannya disebut sebagai OPM. Makanya, lanjut dia, sang bupati mengundang batalayon 753 dari Nabire untuk melakukan operasi militer dengan dana pemda. Selain batalyon itu, lanjut dia, Lukas juga mengundang brigade mobil dari Kelapa Dua dan Detasemen Khusus 88. "Diberlakukanlah operasi militer itu pada April tahun ini," ujarnya. Operasi tersebut, lanjut dia, masih berlaku hingga sekarang.

Yoseph juga menerangkan jika banyak masyarakat kini meminta Komnas HAM untuk datang ke Puncak Jaya dan melihat sendiri operasi yang dirasakan menakutkan bagi masyarakat. Sudah ada jumlah angka masyarakat yang tewas, tapi masih diverifikasi Komnas HAM. "Sekitar 50 orang warga diketahui meninggal, itu data Komnas Papua dari sejak diberlakukannya operasi ini. Masih perlu pendalaman," katanya.

Etha Bullo politisi partai demokrat dengan daerah pemilihan Puncak Jayawijaya membantah temuan itu. Dia mengatakan, itu hanya sebuah upaya persuasi agar keamanan lebih kondusif. "Tidak benar itu ada korban meninggal. Baru saja Lukas telepon saya dan baik-baik saja," ujarnya.

REDD Hancurkan Masyarakat Adat Papua

JUBI --- Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD), atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan ternyata bisa 'membunuh' masyarakat adat di Papua.

Erna Mahuze, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) mengatakan, program REDD justru akan menjadikan masyarakat adat Papua dalam bahaya.

"Sumber hidup orang Papua adalah di hutan. Jika hutan punah mereka tinggal di mana?" tanyanya.

Pada Konferensi perubahan Iklim di Denpasar Bali, 27 April 2007 lalu, Gubernur Papua, Barnabas Suebu dan Gubernur Papua Barat, Abraham Oktavianus Atururi bersepakat mengalokasikan 5 juta ha hutan Papua untuk mekanisme perdagangan karbon.

"REDD itu baik, tetapi persoalannya sumber hidup orang Papua ada pada hutan. Kasihan masyarakat adat kalau hutan sudah habis," lanjut Erna.

Seperti dikabarkan, REDD sudah mulai di Papua. REDD awalnya difokuskan untuk stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (emisi) pada sektor industri. Di Indonesia, selain Riau dan Kalimantan, Papua kini siap melaksanakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Ini dimungkinkan karena dari 42 juta hektar, hutan Papua ternyata bisa menyimpan lebih dari 400 ton karbon bagi kelangsungan hidup di bumi.

Untuk mendanai pengurangan emisi itu, Brasil, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan Norwegia, siap membiayai pengelolaannya. Diantaranya dengan memberi dana hibah untuk US $10 per ton karbon, kecuali untuk kebun kelapa sawit.

"Hutan Papua sudah habis, maka pemerintah harus jeli melihat tawaran yang datang. Jangan tumpang tindih," tegas Erna.(Timo Marten)

Mahasiswa Ditabrak Bus Angkutan Lebaran

Nusantara / Sabtu, 11 September 2010 21:28 WIB
Metrotvnews.com, Sleman: Bus angkutan Lebaran, Sumber Kencono menabrak seorang mahasiswa asal Manokwari, Papua Barat, di Jalan Yogyakarta-Solo Km 9 Dusun Kalongan, Maguwoharjo, Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Sabtu (11/9). Mahasiswa bernama Wenang H Bebari (23) tewas seketika.
 SOURCE
"Korban yang tinggal di Asrama Mahasiswa Papua, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta tersebut tewas seketika di tempat kejadian," kata Kasat Lantas Polres Sleman Ajun Komisaris Polisi Sri Wibowo.

Sri Wibowo menjelaskan kejadian tersebut bermula sekitar pukul 04.45 WIB saat korban dengan mengendarai sepeda motor Honda Supra nomor polisi F6453HK melintas di Jalan Yogyakarta-Solo dari arah barat.

"Sesampai di lokasi, korban bermaksud berbalik arah. Saat korban membelok ini dari arah timur melaju dengan kecepatan tinggi bus Sumber Kencono nomor polisi W-7610-UN yang dikemudikan Bambang, warga Jawa Timur, sehingga karena jarak yang terlalu dekat bus tidak dapat menghindar dan langsung menabrak korban hingga terseret beberapa meter," kata Sri Wibowo.

Korban yang mengalami luka parah di bagian kepala dan beberapa bagian tubuhnya tersebut langsung tewas di tempat kejadian. "Jenazah Korban kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta untuk visum," kata Kepala Satlantas Polres Sleman itu.

Ia mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan pemeriksaan terhadap pengemudi bus dan beberapa saksi untuk mengetahui penyebab kecelakaan. "Guna kepentingan penyidikan dan proses hukum selanjutnya, pengemudi bus serta bus maupun sepeda motor kami amankan di Mapolres Sleman," katanya.

Kasus kecelakaan lalu lintas ini merupakan kejadian pertama di wilayah hukum Polres Sleman sejak H-7 Lebaran yang mengakibatkan korban meninggal dunia.(Ant/BEY)

Papua Butuh Perda bagi Warga Lanjut Usia



JAYAPURA, KOMPAS.com - Komnas HAM Provinsi Papua meminta pemerintah daerah setempat untuk segera membuat peraturan daerah (perda) tentang perlindungan dan pelayanan yang baik bagi warga lanjut usia.
"Data yang kami himpun menyimpulkan bahwa hampir sebagian masyarakat lansia, yang tersebar di kampung-kampung di Papua tergolong kurang diperhatikan pemerintah," kata Ketua Sub Komunikasi Mediasi Perwakilan Komnas Ham Papua, Andriani Salam Wally SST, Sabtu (11/9/2010).
Menurut Andriani, berdasarkan data Puskesmas Imbi, Jayapura, sekitar 250 lansia, hidup di bawah garis kemiskinan. "Ini belum termasuk puskesmas lain atau daerah lain," jelasnya.
Menurut dia, pihaknya baru saja melakukan koordinasi dengan pihak Gereja GKI Paulus dok-V Jayapura, khususnya perkumpulan Lansia di jemaat tersebut.
Intinya, warga Papua mendesak agar ada perda yang mengatur soal Lansia, sehingga hak-hak mereka bisa diatur dan diperhatikan dalam perda tersebut.
"Kita Harus punya perda yang mengatur soal hak-hak mereka, apalagi Papua ini memiliki kewenangan khusus melalui UU Otonomi Khusus, mengapa sebagian dana tidak bisa diberikan untuk membantu mereka," tegas dia.
Ia mencontohkan, seperti di Lamongan Jawa Timur, serta Yokyakarta, para warga Lansia difungsikan dan diperdayakan pemerintah daerah setempat.
Andriani menambahkan, selama ini perhatian pemerintah daerah memang sudah ada terhadap warga Lansia, namun perhatian tersebut masih sebatas pada mereka yang terdaftar di panti jompo seperti di Sentani dan di Biak.
"Kalau demikian, maka pemerintah daerah, jangan menutup mata terhadap keberadaan pelayanan yang baik kepada warga Lansia," ujarnya.