WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

18 Sep 2009

Summary of Human Rights Situation – West Papua – July 2009


By Free West Papua Campaign
Three Year Prison Sentence for Buchtar Tabuni
In stark contrast to Indonesia’s claims of respecting freedom and human rights, Buchtar Tabuni, a
West Papuan student who has already been held in prison for over six months, including a three
day period without water and being beaten by a guard has been sentenced to three years for
involvement in a peaceful demonstration supporting the formation of the International
Parliamentarians for West Papua. He was accused of “acts of treason, provocation and acts
against the state” simply for (in the words of the prosecution) “giving a speech during the
demonstration, hint[ing] at calling for separation of Papua from Indonesia, or the handover of part
of Indonesia's territories to the foreign side". The very fact of a case like this being brought to court
and the treatment of the students prior to the trial speaks volumes about the climate of fear being
created in West Papua and Indonesia’s current attitude to dealing with freedom of expression.
Three more students, Musa Tabuni, Diaz Servin and Yance Mote, are awaiting trial being charged
with treason and incitement, the three face a maximum penalty of life imprisonment simply for
being involved in organising demonstrations calling for a referendum in West Papua.
Jakarta Post article: http://tinyurl.com/l9gqy8
Critical Situation in Puncak Jaya
We are particularly concerned to hear reports of the serious situation in the Puncak Jaya region of
West Papua. Following recent clashes between the Indonesian army and Papuan independence
fighters (OPM) in this remote highland region, the Indonesian military has begun a swathe of
attacks against villagers. It has become standard practice for the military to seek revenge by
targeting local villages. We understand that hundreds of people including women and children are
hiding in the jungle as large influxes of Indonesian troops carry out sweeping operations in their
attempts to find OPM leader General Goliath Tabuni. Women and children have been raped, a
village chief killed, homes destroyed and livestock killed. More troops are reported to be entering
the area and the situation is deteriorating with people now lacking access to food.
Report: http://tinyurl.com/menmnz
Detainment and Torture of Political Prisoners
Over the last year there has been a huge increase in the detention of political prisoners in West
Papua. We know of over 50 political prisoners being held in prisons in Manokwari, Fak Fak,
Abepura, Wamena and Timika charged with attending peaceful demonstrations and supporting
independence. Torture and mistreatment of prisoners continues to be rife in West Papua and there
is particular concern about reports coming from Abepura prison where there appears to be
systematic abuse since Anthonius Ayorbaba became the prison warden in August 2008. Human
Rights Watch have recently reported on this situation, highlighting particular cases where “a
prisoner lost his right eye after being hit by a set of keys,...another prisoner got severe burns on his
hands after being forced to put them into a pot of boiling water, [and a] prisoner partially lost his
hearing after being hit in the head by a wrench.”
Earlier this year, Yuasak Pakage, recognised by Amnesty International as a prisoner of conscience
serving 10 years for raising a flag, was beaten by a prison guard for requesting medical attention.
Human Rights Watch reported the situation to the Indonesian Ministry of Justice and have
expressed outrage at their decision not to investigate the alleged torture.
Human Rights Watch Report: http://tinyurl.com/o2e9ha
Election Protests in Jayapura
Many of the prisoners were arrested following widespread demonstrations during the April
elections. Students travelled from across Indonesia to hold demonstrations and boycott the
elections. A temporary camp that was set up was violently attacked by police and peaceful
demonstrations turned violent following attacks on the crowds by police in which two men were
shot dead. Some 100 students are now in hiding and fear they too will be arrested and mistreated.
They are unable to continue their education and are living in fear. ILWP Solidarity Demonstrations
in Nabire In April a solidarity demonstration was held in the town of Nabire in support of the
International Lawyers for West Papua. The demonstration was attacked by police causing a
number of serious injuries including a ten year old boy being shot. 15 people are currently being
held in prison and are on trial for involvement in the demonstration.
Report and photos of injured: http://tinyurl.com/kvgysq
ILWP Solidarity Demonstrations in Nabire
In April a solidarity demonstration was held in the town of Nabire in support of the International
Lawyers for West Papua. The demonstration was attacked by police causing a number of serious
injuries including a ten year old boy being shot. 15 people are currently being held in prison and
are on trial for involvement in the demonstration.
Report and photos of injured: http://tinyurl.com/kvgysq
Red Cross expelled from West Papua and International Journalists
Remain Banned
Alarmingly, despite the increase in military in West Papua and the continued reports of torture and
violence against native Papuans, the Red Cross were expelled from West Papua earlier in the
year. Also the entire of West Papua remains closed to international journalists.
Two Damning Human Rights Reports Released in June 2009
On the 24th June two highly critical reports were released: Unfinished Business — Police
Accountability in Indonesia, a report by the London-based International Amnesty, and What Did I
Do Wrong? Papuans in Merauke Face Abuses by Indonesian Special Forces, released by the New
York-based Human Rights Watch. The first details how impunity is deeply engrained throughout
Indonesia’s criminal justice system, whereby perpetrators of human rights violations are rarely
brought to justice for their crimes. The second documents how Kopassus soldiers operating in the
town of Merauke, in West Papua, arrest Papuan citizens without legal authority, and beat and
mistreat those they take back to their barracks.
Amnesty report: http://tinyurl.com/m4cut5
HRW report: http://tinyurl.com/mqa7gx

DAP MINTA PEMERINTAH BERTANGUNG JAWAB

AYAPURA (PAPOS) - Kepala Pemerintahan Dewan Adat Papua (DAP) Fadal Al-Hamid minta Pemda Kabupaten Yahukimo bersama pemerintah Provinsi Papua untuk segera tanggap dan menseriusi kejadian kelaparan di tujuh distrik di Kabupaten Yahukimo. Berdasarkan data yang diperoleh hingga saat ini sudah 92 orang yang dinyatakan meninggal akibat kasus kelaparan yang terjadi akibat gagal panen karena buruknya cuaca.
“Ini sangat mengejutkan, karena beberapa waktu lalu Gubernur Papua Barnabas Suebu menghibur masyarakat dengan penurunan angka kemiskinan yang turun hingga empat persen untuk wilayah Papua, tapi hari ini kita mendengar ada orang yang kelaparan di Yahukimo dan telah berlangsung sejak empat bulan lalu,”  kata Fadhal saat ditemui wartawan disela-sela acara meeting Deplu yang berlangsung di Swiss Belhotel, Rabu (2/9).
Lebih lanjut dikatakan Fadhal, kondisi Yahukimo saat ini seperti tidak ada pemerintahan. Padahal disana ada pemerintah kabupaten, Distrik sampai kampung, tapi bencana kelaparan malah tidak dihiraukan.
“Mengapa ini bisa terjadi selama 4 bulan dan tidak diketahui oleh pemda setempat? Otsus delapan tahun cukup untuk mengatasi masalah ini. Apa lagi yang kurang?” katanya dengan mimik wajah heran.
Menurutnya kedatangan presiden beberapa waktu lalu untuk panen raya di daerah Yahukimo hanya sekedar untuk menghibur masyarakat setempat dan memberitahukan kepada semua orang bahwa persoalan kelaparan di Yahukimo bisa diatasi.
 “Apa yang dilakukan saat itu untuk menghibur semua orang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan jangka panjang,” ujarnya.
Sedangkan persoalan cuaca di Yahukimo dan didaerah pegunungan lainnya memang tidak pernah bisa kita atasi, karena ini terjadi setiap tahun. Namun yang dapat kita atasi adalah menyiapkan program jangka panjang kedepan untuk cuaca yang mengganggu seperti di Yahukimo agar rakyat tidak kelaparan lagi.
” harapnya sambil menambahkan seharusnya program ini sudah dilakukan oleh pemerintah kabupaten ataupun provinsi jauh sebelum masalah ini tejadi.

Pemda Belum Bertindak
Sementara itu Pendeta Isak Kipka tokoh agama setempat, yang dihubungi wartawan via ponselnya, Rabu (2/9) mengatakan, kelaparan yang terjadi pada awalnya diketahui hanya melanda empat Distrik, namun kini bertambah menjadi tujuh distrik dimana kasus ini terjadi sekitar bulan Mei lalu, karena cuaca buruk yang melanda Yahukimo terjadi mulai bulan Januari hingga Agustus 2009 ini. Dan telah menelan korban sebanyak 92 orang.
“Kelaparan ini sudah terjadi pada bulan Mei lalu hingga kini, dan ini diakibatkan buruknya cuaca serta gagal panen warga setempat,” kata isak.
Diungkapkan meski kasus kelaparan ini telah terjadi kurang lebih empat bulan, namun belum ada tindak lanjut dari pihak pemerntah setempat maupun pemerintah provinsi Papua, padahal upaya untuk meminta bantuan telah dilakukan melalui proposal-proposal yang diajukan kepada pemerintah daerah kabupaten Yahukimo.
Dan hingga berita tentang kasus kelaparan yang melanda tujuh Distrik diantaranya distrik Langda, Bomela, Seradala, Suntamon, Walma, Pronggoli dan Heryakpini ini sama sekali belum  ada perhatian secara khusus dari pemda baik berupa bantuan makanan maupun obat-obatan.
Diterangkan lagi, beberapa waktu lalu pemerintah provinsi Papua melalui Dinas sosial provinsi Papua telah mendatangi kabupaten Yahukimo guna meninjau daerah tersebut namun hingga kini tidak ada tindak lanjut oleh Pemprov hingga kasus kelaparan ini terjadi.(lina)

SOAL KEAMANAN PAPUA GUBERNUR BERTANGUNG JAWAB


AYAPURA (PAPOS) – Mantan Kaster Mabes TNI Letjen Pur, Agus Widjojo mengungkapkan penanggung jawab terhadap masalah Kamtibmas di daerah adalah pejabat public yang dipilih langsung oleh masyarakat dan dikontrol oleh DPR. Sehinga terkait masalah dan kejadian di Papua mulai dari kasus sebelum pemilihan anggota legislative 2009 hingga kasus di PT. Freeport adalah tanggung jawab pejabat public tertinggi di daerah dalam hal ini Gubernur Papua.
“Ini bukan zamannya orde baru dimana semua situasi kamtibmas dilimpahkan ke TNI, sekarang tanggung jawab tersebut dilimpahkan ke pejabat public daerah,” ungkap Agus saat ditemui wartawan disela-sela acara buka puasa Deplu yang berlangsung di Hotel Swiss belhotel, Rabu (2/9) kemarin.
Lebih jauh dijelaskan, jika terjadi gangguan Kamtibmas atau stabilitas di satu daerah maka masyarakat akan dilibatkan dalam menentukan siapa actor yang paling bertanggung jawab atas keamanan daerah tersebut, apakah Kapolri, Pangdam atau Gubernur dan masyarakat tentunya akan mengatakan Gubernur karena Gubernur adalah pejabat public yang dipilih masyarakat dan dikontrol oleh DPR.
Sehingga Gubernur merupakan pemimpin daerah yang paling bertanggung jawab terkait dengan stabilitas daerahnya.(lina)

SOAL PAPUA, PUSAT TANGGUNG JAWAB


Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua


Pasific Post, Kamis, 18 Juni 2009 


 Jayapura- Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Dumma Socratez Sofyan Yoman, dalam Press releasenya semalam kepada Pasifiic Post mengatakan, “Saudara Juwono Sudarsono, Menteri Pertahanan Keamanan (Menhan) melihat masalah Papua secara sempit dan parsial (cepos, Rabu, 17 Juni 2009).   Pengibaran Bendera Bintang Kejora dikatakan dengan tujuan mencari perhatian bukan gerakan serius yang ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia.”  


Lanjutnya, yang menarik ialah dalam penyelesaian masalah Papua  hanya dipersempit  dengan pendekatan hukum dan dengan mengabaikan akar substansi yang lain. Ditambah lagi dengan melempar tanggungjawab pemerintah Pusat dengan mengatakan tanggungjawab utamanya ada di Pemda, kepolisian dan para bupati  dan gubernurnya harus proaktif.


Demikian juga kepolisian harus melakukan pengamanan karena menaikan bendera itu tindakan yang melanggar hukum.  Pemahaman seperti ini dapat dikategorikan pembelokkan masalah dan melempar tanggungjawab, maka pernyataan ini harus diperbaiki dan diluruskan.  Karena, dalam era  demokrasi, keterbukaan, dan kebebasan  ini paradigma militer belum ada perubahan signifikan dan masih menggunakan pola Orde Baru (ORBA). Masing menggunakan sistim ancam-mengancam yang sudah tidak relevan dalam era ini.


Socratez menegaskan, yang harus diperbaiki dan diluruskan disini ialah pertama, masalah Papua adalah bukan masalah Pemda, bupati dan pihak kepolisian. Ini pemahaman yang keliru dan pembiasan (penggaburan) masalah yang sebenarnya.   Kedua, Masalah Papua adalah  persoalan yang berdimensi internasional. Karena dimasukkannya Papua ke dalam Indonesia adalah keterlibatan masyarakat Internasional. Jadi, termasuk Amerika, Belanda, dan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa harus bertanggungjawab secara moril, hukum dan juga politik. 


Ketiga, masalah Papua adalah masalah status politik dan status  masalah hukum. Maka harus diselesaikan dengan pendekatan dialog politik dan juga pendekatan  hukum. Kalau, pemerintah Indonesia melihat masalah Papua adalah masalah hukum maka pemerintah pusat harus proaktif, terbuka dan jujur  mendukung  proses hukum Internasional melalui lembaga yang baru saja dibentuk di Guyana, Amerika Serikat, tanggal 2-5 April 2009, yaitu International Lawyer for West Papua (ILWP) untuk melihat kembali Sejarah Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.


Keempat, masalah Papua tidak relevan  lagi diselesaikan dengan pendekatan kekuatan militer pada era moderen dan keterbukaan seperti sekarang ini. Sekarang saatnya berfikir kenyamanan manusia (human security) dan  perlindungan martabat manusia (human integrity protection).  Karena, era sekarang adalah era yang menjujung tinggi nilai keadilan, kesamaan derajat, hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi dan penegakkan hukum.  Bukan eranya lagi mengaku diri pahlawan, pelindung rakyat, penjaga kedaulatan negara. Prinsip hidup dan bernegara yang benar adalah menjaga integritas dan kenyamanan rakyat dan rakyat yang aman dan merasa dihargai, merekalah yang menjadi panglima, pahlawan dan pengawal negara dan bangsanya.


Kelima, masalah Papua itu masalah sejarah intergasi yang tidak benar. Masalah status politik rakyat Papua yang dikhianati, diabaikan dan dihilangkan.  Masalah pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih berlangsung. Masalah kegagalan pembangunan di Tanah Papua karena pembangunan di Tanah Papua dilaksanakan dengan penuh curiga dan pendekatan keamanan yang berlebihan.  Karena itu, satu-satu jalan untuk menyelesaikan masalah Papua yang bermartabat, simpatik, bermoral ialah dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral. 


Karena,  jalan solusi akhir dan konprehensip melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tetapi Otsus  sudah kacau balau dan gagal, bahkan menjadi malapetaka besar bagi orang asli Papua. Sebaliknya, yang lebih beruntung dan berhasil dalam era Otonomi Khusus di Papua adalah pembangunan infrastruktur keamanan dari pihak TNI dan POLRI yang lebih bagus di seluruh Tanah Papua, bahkan sampai di kapung-kampung.  Bertambahnya jumlah pendatang yang terus meningkat tajam yang mengakibatkan meminggirkannya (memarjinalkan) penduduk asli di atas tanahnya sendiri.  Pemekaran Provinsi dan kabupaten yang tidak terkendali sebagai bagian dari upaya operasi intelejen untuk pengembangan jaringan komunikasi dan pengkondisian wilayah Papua.”