WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

19 Jun 2010

Desakan Referendum Sampai ke DPRP


Jumat, 18 Juni 2010 16:35
 JAYAPURA—Seperti yang direncanakan sebelumnya, Jumat (18/6) kemarin  ribuan masyarakat  dari 7 wilayah adat di Provinsi Papua, serta elemen masyarakat, melakukan long march (berjalan kaki) dari Kantor MRP Kotaraja menuju DPRD untuk  menyerahkan 11 hasil pleno Musyawarah Besar (Mubes) MRP bersama masyarakat adat Papua, diantaranya keinginan rakyat Papua menuntut referendum.   Ribuan massa  sejak pagi hari berkumpul di Kantor MRP di Kotaraja selanjutnya berjalan kaki (long march) menuju ke Gedung DPRP.  Diantara massa itu  terlihat Ketua MRP Agus Alua. Rombongan masyarakat  yang memakai busana adat, bahkan sejumlah pria memakai  koteka.    Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, massa membentang sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua telah gagal total tak ada solusi kecuali  Papua merdeka, Referendum solusi terakhir bangsa Papua Barat, Otsus gagal  hak hidup rakyat Papua terancam. Koordinator aksi Pdt John Baransano pada saat itu mengajak masyarakat pendemo mengepalkan tangan sebagai simbol perkabungan bagi rakyat Papua sembari mengajak massa menyeruhkan Papua Merdeka, Papua Merdeka. “Mari kita berjuang melawan penindasan tanpa melakuka  kekerasan,” tukas Baransano.   Beberapa saat kemudian pimpinan dan anggota DPRP antara lain Yunus Wonda, Ruben Magay, Thomas Sondegau, Bob Pattipawae, Nasson Utti dan lain lain turun dari lantai dua menemui massa.   Salah seorang penggagas hasil Mubes MRP, Dr Benny Giay menegaskan,  pihaknya berada di tempat ini, karena satu berjuangan  untuk mengembalikan Otsus,  merebut kembali harga diri  bangsa Papua, merebut kembali hak- hak rakyat Papua yang dirampas. Selanjutnya Giay dituntun Pdt John Baransano menyalahkan sebuah lilin sebagai suatu simbol mengenang para leluhur yang telah pergi selama lamanya demi membela hak- hak rakyat Papua.

“Kami bukan bangsa bodoh seperti yang engkau pikirkan,” ucap Giay disambut pekikan merdeka dari massa.       Ketua Komisi DPRP Ruben Magay menandaskan, tuntunan referendum  adalah bagian dari akumulasi kegagalan  kebijakan negara untuk melakukan evaluasi total dalam membangun rakyat Papua. “Referendum adalah jalan keluar yang menentukan  masa depan rakyat Papua,” tutur politisi Partai Demokrat ini.   Menurutnya, kalau masyarakat telah melakukan tuntutan  referendum  terhadap apa yang telah dikerjakan.  Hal ini berpulang kepada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat  yang selama ini masa bodoh. Pemerintah dinilai gagal  membangun rakyat Papua. 

Hari ini orang masih berbicara merdeka, OPM, separatis, referendum dan lain lain itu semua kegagalan Negara, khususnya mereka yang  mendapat tugas  negara untuk membangun Papua.  “Kalau isu itu masih ada berarti mereka gagal mengindonesiakan Papua,” tukas Magay.   Senada dengan itu, Anggota Komisi C DPRP Tony Infandi STh mengemukakan, tuntutan referendum adalah  hal  yang wajar dalam dunia internasional, apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang sedang subur suburnya menghidupkan  demokrasi, supermasi hukum, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan pers dan perjuangan HAM dan lain lain.  Pemerintah Indonesia tak boleh  membatasi aspirasi rakyat, tapi justru pemerintah harus menyambut dengan positif  karena  aspirasi  merupakan bagian dalam rangka mendapatkan pengakuan dari dunia internasional bahwa NKRI tak kaku dalam menjalankan  aspek aspek tersebut.

“Masih ada cukup banyak waktu bagi MRP  untuk memperjuangkan aspirasi  rakyat Papua. Persoalannya adalah kembali kepada MRP bagaimana  caranya  memberdayakan rakyat Papua  dalam kontes tantanan negara dan pembangunan provinsi Papua kedepan. Dikatakan  pendeta Gereja Bethel Indonesia ini, jangan sampai hanya gara gara SK MRP No 14 Tahun 2009 tak disetujui Mendagri lalu kemudian mengambil langkah langkah yang dapat menyulitkan rakyat Papua sendiri karena  tak boleh ada kebijakan yang mengabaikan rakyat. “Apapun yang disampaikan rakyat Papua  mesti dapat ipertanggungjawabkan sesuai kebijakan dalam koridor hukum yang berlaku,” tukasnya. (mdc/hen/ Ven )




17 Jun 2010

The Lani Singers at the Bristol National Refugee Week 2010



By WPNews
Jun 17, 2010, 00:59

Email this article
 Printer friendly page
Behalf of the West Papua Peoples who sufferings under the Indonesia military regime in West Papua Big thank to the peoples of Bristol to inviting us to be here with you.

Today we will play some of the West Papua song for crying for freedom because in West Papua we don’t have any freedom to express our self true the music especially political music is ban in West Papua but today we express our self here in Bristol freely

All the song is we play symbolize of 250 tribe in West Papua suffer for 47 years nobody knows what happening in West Papua, but today you will hear their voice true the song we sing for you today describe sufferings, filing , identity , culture and Papuan Peoples.
Thank you very much this website

Source inside West Papua speaks of Indonesia military abuses


By Pasific Scoop
Jun 16, 2010, 18:11

Email this article
 Printer friendly page
EDITOR’S NOTE: This account is courtesy of West Papua Media Alerts organisation and describes how the Indonesian military and police are restricting the free movement of West Papua’s people and committing acts of violence, apparently designed to control the population.

Pacific Scoop publishes this account unabridged so readers can hear, virtually first hand, from a civilian West Papuan about what is happening inside this country. Independent journalists are discouraged by Indonesian authorities from reporting inside West Papua. Those who do so must be registered with the authorities and strict controls over their movements are ensured.

*******
Latest statements and conditions of violence against torture by Indonesian Military in Puncak Jaya.

From a source inside West Paupa.

Sabtu, 12 Juni 2010

Mulia City , June 11, 2010

A. INTRODUCTION

That since March to current conditions in the Puncak Jaya regency increasingly tense over the Indonesian military presence both army / police. Along the road from the capital city of Honor Kab. Puncak Jaya towards Illu Tingginambut up to the district and along the road from town to Yambi noble district where the place / location Werius telenggen murder a day – the day until this day is still tense.this website

KNPB spokesman, Mako Tabuni, has declared their determination to fight for a referendum as the best

*JUBI: *16 June 2010

The West Papua National Committee (KNPB) spokesman, Mako Tabuni, has
declared their determination to fight for a referendum as the best
solution for the Papuan people.

'Special Autonomy - OTSUS - has failed,' he said, after reading the
recommendation produced by the consultative plenary of the MRP - Majelis
Rakyat Papua - and the Community of Traditional Papuans at the MRP
office in Kotaraja. this website

15 Jun 2010

OPM Tembak Mati Anggota Brimob

 Jenazah Brigadir Polisi Satu Agus Suhendra saat diturunkan dari 
pesawat kemarin.JAYAPURA- Kabupaten Puncak Jaya memanas lagi. Kali ini kelompok bersenjata Organsisasi Papua Merdeka (OPM) itu, beraksi di Kampung Yambi, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. Sementara korbannya adalah Brigadir Polisi Satu Agus Suhendra, anggota Brigade Mobil (Brimob) Kelapa Dua Depok.  Kepala Bagian Humas Kepolisian Daerah Papua, Ajun Komisaris Besar Polisi Wachyono ketika dimintai konfirmasi di Papua, Selasa, membenarkan Briptu Agus Suhendra meninggal dunia akibat kejadian tersebut.
Kronologisnnya, pada saat korban berpatroli rutin di tempat kejadian perkara (TKP), tiba-tiba ditembak dari jarak kurang lebih 3,5 meter hingga rahang kanan atas tembus ke rahang kiri di bagian telinga. Korban saat itu langsung dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mulia. Namun, dalam perjalanan menuju rumah sakit, korban menghembuskan napas terakhir. Sedangkan, pelaku penembakan yang diduga berasal dari kelompok organsisasi separatis Papua merdeka kini dalam pengejaran.   Sementara itu, Jasad Briptu Agus Suhendra anggota Brimob Kedunghalang Bogor yang tewas tertembak di Kampung Yambi Distrik Mulia Puncak Jaya Papua, akhirnya diterbangkan menuju Jakarta Selasa 15 Juni, dengan menggunakan pesawat Lion Air. Jenazah diantar langsung oleh Wakapolres Puncak Jaya Kompol Jefrry.

Sebelum jenazah diberangkat, terlebih dulu dilaksanakan upacara penghormatan di halaman Dinas Perhubungan Udara, tepatnya di depan Bandara Sentani Jayapura. upacata dipimpin pejabat teras Polda Papua Kombes Setiadi.   Usai memimpin upacara, Setiadi kepada wartawan mengatakan, peristiwa penembakan itu terjadi saat 15 anggota Brimob menggelar razia rutin mencari pelaku teror penembakan dan pembunuhan, sekaligus juga mencari senjata api milik aparat keamanan yang dirampas. “Anggota Brimob saat itu sedang patroli, tiba-tiba ditembaki, lantas Agus Suhendra terkena tembakan di rahang,’’ ucapnya.

Menurutnya, saat ini masih dilakukan pencarian terhadap pelaku penembakan dengan terus berpatroli terutama di sejumlah distrik yang dianggap sebagai tempat persembunyian kelompok bersenjata tersebut.  Ia juga mengakui, untuk tahun ini sudah 2 anggota Brimob yang tewas ditembak oleh kelompok bersenjata. Sedangkan jika dihitung sejak tahun lalu sudah 8 senjata api jenis SS1 maupun AK China milik Polisi yang dirampas.

Meski Polda sudah mendatangkan 1 SSK Brimob dari luar Papua dan diterjunkan ke Puncak Jaya, tapi belum bisa menghentikna aksi terror penembakan maupun pembunuhan dari kelompok separatis bersenjata. Bahkan, ironisnya kejadian penembakan dan pembunuhan sekaligus perampasan senjata di Puncak Jaya sudah berlangsung sejak tahun 2004, tapi hingga saat ini belum ada pelaku atau kelompok yang bertanggung jawab ditangkap.  Puluhan anggota masyarakat maupun aparat keamanan sudah tewas terbunuh.(jir/ant)

Sebuah Jawaban Atas Tudingan Kapolda Papua Terhadap Insan Pers Papua

Tudingan Kapolda bisa menjadi sebuah otokritik bagi insan pers di Papua untuk lebih baik lagi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan, sehingga semakin memperkokoh peran pers sebagai pilar keempat demokrasi, dan hendaknya tidak menjadikan pers sebagai kaki tangan kekuasaan yang cenderung antikritik.

Oleh : Walhamri Wahid

Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan bahwa pers nasional melaksanakan peran : (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (2) menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, (3) mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, (4) serta menghormati kebhinekaan, (5) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (6) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, (7) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi(the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif.
Fungsi peranan pers itu baru dapat dijalankan secara optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah.

Menurut tokoh pers, Jakob Oetama, kebebasan pers menjadi syarat mutlak agar pers secara optimal dapat melakukan  peranannya. Sulit dibayangkan bagaimana  peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan terhadap
kebebasan pers.
Pemerintah Orde Baru di Indonesia sebagai rezim pemerintahan yang sangat membatasi kebebasan pers . Hal ini terlihat, dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), yang dalam  raktiknya ternyata menjadi senjata ampuh untuk mengontrol isi redaksional pers dan pembredelan.

Namun kini dengan adanya UU Pers No 44 Tahun 1999, kekhawatiran insan pers terhadap pemberedelan dan pemasungan kebebasan pers oleh penguasa dan pemerintah sudah ditiadakan, dimana media saat ini dapat didirikan atau diterbitkan oleh siapa saja sepanjang memiliki badan hukum yang berlaku di Indonesia, dan memiliki modal serta SDM tentunya, namun demikian pers dituntut lebih bertanggung jawab dan dewasa dalam menjalankan tugas, fungsi dan perannya sebagaimana diamanatkan dalam Undang – Undang Pers itu sendiri.

Penguasa yang memiliki kepentingan dan cenderung anti kritik terkadang melihat pers sebagai sebuah “onak dan duri” dalam setiap detak perjalanan mereka, sehingga bentuk – bentuk tidak formil dan halus untuk membatasi atau mengerangkeng pers menjalankan fungsi dan perannya masih di praktekkan oleh para pemangku kekuasaan.
Dan seringkali pers sendiri terjebak dalam siktuasi yang membuat mereka tidak dapat menjalankan amanat Undang – Undang dan berperan tidak lebih dari alat prublikasi dan propaganda penguasa semata.

Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk , namun tanpa pers bebas yang ada hanya celaka.

Oleh karena salah satu fungsinya ialah melakukan kontrol sosial itulah pers melakukan kritik dan koreksi terhadap segala sesuatu yang tidak beres dalam segala persoalan. Karena itu, ada anggapan bahwa pers lebih suka memberitakan hal-hal yang salah daripada yang benar.
Seperti tudingan Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Soeprapto beberapa hari lalu yang beranggapan bahwa pers Papua tidak menginginkan Papua aman dan damai, dimana dari sisi pemberitaan yang dipublikasikan adalah mengenai perang suku, dan peristiwa – peristiwa yang membangun image kepada masyarakat di luar Papua bahwa Papua adalah daerah yang tidak aman dan damai.

Sebagaimana amanat Undang – Undang Pers untuk menjalankan fungsi kontrolnya, rasanya naif apabila pers melihat ada sesuatu masalah dan kondisi realitas di masyarakat yang berjalan tidak semestinya, dan insan pers membiarkan hal tersebut dengan dasar dan pertimbangan “kontrol halus” dari penguasa, sehingga pers digiring untuk memberitakan segala yang baik – baik saja, dan dalam konteks kontrol sosial itulah pers di Papua mencoba mengangkat dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat, beginilah Papua, sehingga masyarakat mendapatkan haknya dengan tepat dan akurat.
Namun sekiranya Kapolda Papua memahami dan menyadari fungsi dan peran insan pers, tentunya pemberitaan itu bisa menjadi satu dasar dan bahan masukan untuk menangani dan memecahkan persoalan yang terjadi di masyarakat, bukan sebaliknya balik menuding pers sebagai pihak yang semakin memperkeruh suasana kamtibmas di Papua.   

Pandangan seperti itu sesungguhnya melihat peran dan fungsi pers tidak secara komprehensif, melainkan parsial dan ketinggalan jaman.Karena kenyataannya, pers sekarang juga
memberitakan keberhasilan seseorang, lembaga pemerintahan atau perusahaan yang
meraih kesuksesan serta perjuangan mereka untuk tetap hidup di tengah berbagai
kesulitan, termasuk keberhasilan Kapolda Papua memotret panorama Papua di sela – sela “jalan – jalannya” ke daerah, dan juga keberhasilan Kapolda memprakarsai aksi “minta sumbangan” motor – motor dari pihak – pihak yang peduli terhadap kepolisian.
Ada nada keputus asaan dari statement Kapolda yang menyatakan bahwa pers di Papua tidak pernah memberitakan bahwa Papua ini aman meskipun ia sebagai otoritas tertinggi penjamin kamtibmas sudah menyatakan bahwa situasi Papua aman dan damai.
Pers dalam menjalankan tugasnya tidak mungkin terjebak dalam “jurnalisme omongan” semata, pers tidak boleh terjebak pada opini semata, pers harus memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu melakukan cross check dan melakukan verifikasi terhadap setiap informasi yang diterimanya agar terpenuhinya hak masyarakat mendapatkan informasi yang baik dan benar.

Dalam setiap pemberitaan pers di Papua menurut hemat saya sudah cukup berimbang, setiap pernyataan Papua sebagai daerah aman dan damai selalu didengungkan, namun untuk memenuhi hak masyarakat, pers juga memberitakan kasus dan peristiwa yang terjadi yang sifatnya kasuistis, sehingga masyarakat yang bisa menarik kesimpulan sendiri, indikator apa saja yang digunakan oleh aparat untuk mengatakan bahwa Papua itu adalah tanah yang aman dan damai.

Intinya pers tidak pernah secara eksplisit menyatakan bahwa Papua sebagai tanah yang kacau balau, tidak aman, dan tidak damai, apalagi pers dituding sebagai salah satu stake holder yang tidak menginginkan adanya keamanan dan kedamaian di Tanah Papua, karena tudingan tersebut sangat – sangat tidak berdasar dan tendensius, lembaga pers sebagai lembaga kontrol sosial juga menjalankan fungsi dan tugas bisnis, sehingga membutuhkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat, jadi terlalu naif apabila pers menginginkan atau menciptakan suasana Papua sebagai daerah yang tidak aman dan damai, yang notabene sebuah situasi yang tidak menguntungkan bagi bisnis pers itu sendiri.

Seluruh jurnalis maupun insan pers yang ada di Papua adalah mereka yang lahir, besar, hidup dan bahkan mati di atas tanah Papua, mereka bukanlah orang – orang yang datang dan bertugas di tanah Papua satu atau dua tahun dan lalu meninggalkan Papua dengan memikul berkarung – karung hasil mereka selama bekerja dan mencari di Tanah Papua, dan setelah itu tidak perduli lagi dengan apa dan bagaimana Tanah Papua sepeninggal mereka.

Pekerja pers di Papua baik yang bekerja di media lokal maupun sebagai kontributor bagi media di luar Papua adalah satu kesatuan yang tidak mengenal batas wilayah, suku, agama, dan ras, sebuah komunitas yang bekerja untuk menjalankan amanat Undang – Undang, jadi tidak ada wartawan Papua atau wartawan luar Papua, mereka semua adalah insan pers yang menjadi satu kesatuan dan sudah pasti sangat menginginkan Papua menjadi tanah yang aman dan damai.

Justru sebaliknya kita harus mempertanyakan mereka – mereka yang datang dan pergi dari atas tanah ini, dan hanya bisa menyembunyikan ketidakmampuan mereka mengatasi sejumlah masalah yang muncul dan hanya mau bertanggung jawab terhadap sekian masa di mana mereka bertugas, tanpa mau perduli apa dan bagaimana Papua sebelum dan sesudah mereka bertugas di Papua, sembari berkata, “saya baru bertugas di sini, dan hanya bertanggung jawab terhadap masa tugas saya, kalau sebelumnya saya tidak tahu !”

(Penulis adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Umum Bintang Papua yang lahir dan besar di Papua