WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

28 Des 2009

gereja terlibat separatisme di indonesia

* From: "Adrian Dharma Wijaya"
* Date: Thu, 14 Sep 2006 08:59:25 +0700

Rupanya pihak gereja banyak yang bersikap licik seperti ular sebagaimana
tertuang dalam kitab suci bibel. Setelah berhasil meluluh-lantakkan
komunitas muslim di wilayah timur Indonesia, termasuk juga memerdekakan
wilayah Timtim, kini gereja secara diam-diam mulai merambah gerakan makarnya
ke wilayah lain.

Mudah-mudahan kali ini pemerintah akan membuka matanya dan mau
menginvestigasi keterlibatan gereja-gereja hitam dalam carut marut kekacauan
yang ada di negeri ini, yang tidak hanya menjadikan muslim sebagai korbannya
tetapi juga membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.

Republika. Jumat, 21 April 2006

'Jangan Jadi Alat Separatis'

Bila terlibat separatisme, jaringan gereja harus ditindak.


JAKARTA -- Sejumlah anggota DPR meminta terungkapnya keterlibatan jaringan
gereja dalam kegiatan yang berindikasi separatis perlu disikapi serius.
Mereka meminta pemerintah memanggil mereka untuk mengetahui apa yang mereka
kehendaki dan mengapa mereka menyebarkan laporan palsu tentang genosida di
Papua.
Anggota Komisi I DPR, Abdillah Toha, mengatakan informasi keterlibatan
jaringan gereja dalam kegiatan separatis di Papua sudah lama terdengar.
Namun informasi tersebut, kata dia, selalu tidak ditindaklanjuti. Karena
itu, kali ini, dia meminta pemerintah menindaklanjuti informasi itu, dengan
memanggil pihak gereja.
''Panggil mereka dan bicarakan apa sebenarnya keinginan mereka. Bila
ternyata mereka mendukung separatisme, pemerintah tidak perlu ragu bertindak
tegas. Dalam menyikapi masalah separatisme tidak ada kata kompromi. Di
negara manapun tak ada ampun untuk separatisme,'' pinta Abdillah Toha di
gedung DPR/MPR, Kamis (20/4). Abdillah meminta pemerintah tak terlalu
khawatir penindakan jaringan gereja itu akan mengarah ke isu SARA. ''Ini
tidak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen,'' tandas ketua Fraksi PAN
itu.
Anggota Komisi I lainnya, Slamet Effendi Yusuf, menilai penindakan perlu
dilakukan agar kegiatan jaringan gereja itu tidak membahayakan integritas
NKRI. ''Jaringan masjid, gereja, pura, atau apapun harus ditindak tegas
kalau sudah mengarah pada disinteghrasi bangsa,'' ujar anggota Fraksi Partai
Golkar itu.
Menurut Slamet, penindakan terhadap jaringan gereja bukan dalam konteks
tempat ibadah, tapi lebih pada oknum-oknum yang menggunakan gereja untuk
membangun separatisme. ''Kalau pemerintah bisa menggeledah masjid untuk
mengejar pelaku terorisme, hal itu bisa dilakukan terhadap pelaku
separatisme. Separatisme lebih berbahaya dibanding terorisme,'' tandasnya.
Seperti diberitakan, adanya keterlibatan jaringan gereja dalam separatisme
Papua diungkapkan Dubes RI untuk Australia, Tengku Hamzah Thayib, dalam
rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di gedung DPR/MPR, Selasa
(18/4).
Menurut Tengku Hamzah, Persekutuan Gereja Australia (Uniting Church in
Australia/UCA) mendukung kampanye pemisahan Papua dengan menebarkan
informasi soal adanya genosida atau pembunuhan massal di Papua. Para
petinggi UCA, kata dia, mendapat info itu dari jaringan gereja di Papua.
''Ini informasi akurat,'' tandas Hamzah.
Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, berharap agar isu genosida yang
dihembuskan UCA tidak menjadi isu bernuansa SARA di Indonesia. Menurut
Juwono, masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa Australia menganut sistem
demokrasi. Artinya, kata dia, setiap LSM dan kelompok gereja di Australia
bebas memperjuangkan sesuatu di luar wilayah negaranya, Termasuk
mempersoalkan masalah politik dan sosial di negara lain.
Yang membuat Indonesia terganggu, lanjut Juwono, kampanye itu terkesan
mewakili seluruh masyarakat Australia dan didukung pemerintah. Dia sendiri
menyangsikan sikap seluruh masyarakat Australia seperti itu. Juwono
beralasan bahwa LSM itu memang pekerjaannya mencari-cari kesalahan negara
lain untuk mendapat sokongan dana. ''Walau mereka harus mawas diri untuk
mengurus orang-orang pribumi di dalam negerinya sendiri,'' kata Juwono di
Jakarta, kemarin.
Rahasia umum
Anggota Komisi I dari Fraksi BPD, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan
keterlibatan jaringan gereja dalam separatisme Papua sudah menjadi 'rahasia
umum'. ''Selama ini tidak dipublikasikan saja,'' kata cucu Raja Airguni
Kokas di Fakfak, Papua, itu. Tuduhan genosida, kata dia, juga merupakan
'lagu lama' yang disebar secara tidak arif.
Di tempat terpisah, Ketua PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengatakan
berdasarkan pengamatannya selama tinggal beberapa tahun di Australia, ada
aliran gereja tertentu yang memang aktif melakukan kegiatan di Indonesia.
''Kegiatan mereka biasanya diatasnamakan kegiatan sosial,'' katanya di
Jakarta, kemarin.
Sehubungan mencuatnya isu keterlibatan jaringan gereja, Abdul Mu'ti meminta
semua pihak menyikapi dengan arif. Sebab saat ini, kata dia, ada yang
terkesan ingin membawa masalah itu ke isu SARA. ''Kalau isu SARA meledak,
persoalan menjadi tidak karuan. Semakin rumit dan berbahaya,'' ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI),
Munarman, menilai pemerintah perlu bijak menyikapi isu genosida yang
disebarkan jaringan gereja. Pemerintah, kata dia, tak perlu turun langsung
mengecek kebenaran kabar itu, tapi cukup menugaskan Komnas HAM.
''Kalau terbukti laporan [genosida] itu palsu, jelas ini merupakan
upaya-upaya propaganda politik yang dilakukan oleh mereka yang memang sejak
awal menginginkan kemerdekaan. Ini sangat berbahaya dan pemerintah harus
menyikapinya dengan tegas,'' tandasnya.

2015 INDONESIA AKAN PECAH MENJADI 17 NEGARA


Djuyoto Memprediksi Tahun 2015 Indonesia Pecah. BERAGAM reaksi dan tanggapan muncul ketika wacana tentang masa depan Indonesia, yang juga dijadikan judul buku oleh Djuyoto Suntani, itu muncul dalam acara Dialog Kebangsaan berjudul Indonesia: Kemarin, Kini dan Esok sekaligus peluncuran buku tersebut. Komentar bernada pesimis, optimis, hingga rasa tidak percaya silih berganti diberikan oleh berbagai pihak yang hadir di Gedung Aneka Bhakti Departemen Sosial kemarin. Mungkinkah Indonesia benar-benar akan ‘pecah’ pada tahun 2015?

Djuyoto Suntani, sang penulis buku, menyatakan dalam bukunya paling tidak ada tujuh faktor utama yang akan menyebabkan Indonesia “pecah” menjadi 17 kepingan negeri-negeri kecil di tahun 2015. Kepingan negeri-negeri kecil itu sendiri menurutnya didirikan berdasarkan atas:

1. Kepentingan rimordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).

Penyebab pertama adalah siklus tujuh abad atau 70 tahun. Dalam bukunya ia menuliskan;
“Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini mengikuti suatu siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga termasuk dalam suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum alam. Dia mengambil contoh Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada abad 6-7 M di mana waktu itu rakyat di kawasan Nusantara bersatu di bawah kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 tahun kerajaan itu mulai buyar dan muncul banyak kerajaan kecil yang mandiri berdaulat. Alhasil, di awal abad ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh abad kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang. Kerajaan besar itu berhasil menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun hilang ditelan bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad 20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa bernama Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan bertepatan RI merayakan HUT-nya yang ke-70″.

Dia pun menyatakan,
“Selama ini saya selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang terjadi pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan nasional dewasa ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar dalam tujuh abad, 70 tahun tampaknya kembali terulang. Berbagai fenomena alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah kehilangan figur pemersatu bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini. Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan karena dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Kehilangan figur tokoh pemersatu adalah ancaman paling signifikan yang membawa negeri ini ke jurang perpecahan”. Katanya tegas.

Pertengkaran sesama anak bangsa yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil. Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara. Fenomena ini sudah menguat sejak era reformasi yang dimulai dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah.

Salah satu penyebab Indonesia akan pecah di tahun 2015 karena adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia sebagai negara bangsa, tegasnya. Konspirasi global ini, Djuyoto Suntani melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan menggunakan kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran, kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan terlarang dengan segmen generasi muda.

Penyebab utama kelima Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya adalah faktor nama. Apa yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia sesungguhnya berasal dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland in-Asia atau kalau diartikan secara bebas
nama Indonesia sama dengan singkatan Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama Indonesia oleh Belanda memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar. Nama orisinil kawasan negeri ini yang benar adalah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau) dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan terbanyak di dunia sebab negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015 mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini sebagai satu bangsa, salah satu opsi adalah dengan penggantian nama dari Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa keberuntungan, pesan Djuyoto. Namun, karena perpecahan sudah di ujung tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen baru sebagai bangsa dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan) mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti serta memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut berpengaruh terhadap keutuhan republik ini.

Nama Jakarta, Djuyoto mengungkapkan, memiliki konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat. Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta punya komitmen bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.

Penyebab terakhir pecahnya Indonesia adalah gonjang ganjing pemilihan Presiden tahun 2014. Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa saja sejumlah tokoh yang kalah masih mampu mengendalikan diri tapi gejolak massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau menerima kekalahan jago pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk maju bertarung lagi pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 adalah puncak ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Menurut Djuyoto dari informasi yang ia peroleh di seluruh penjuru Tanah-Air, indikasi karena gengsi kalah bersaing dalam Pilpres Indonesia lantas mengambil keputusan radikal dengan mendeklarasikan negara baru bukanlah sekedar omong kosong tapi akan terbukti. Pergolakan alam negeri ini seperti gunung es yang tampak tenang di permukaan namun setiap saat pasti meletus dengan dashyat.

Djuyoto Suntani menjelaskan, pada Pilpres 2014 bakal bermunculan figur dari berbagai daerah yang mulai berani bertarung memperebutkan kursi RI-1 untuk bersaing dengan tokoh nasional di Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara dengan para tokoh nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres 2014, karena desakan massa pendukung, opsi lain adalah mendirikan negara baru, melepaskan diri dari Jakarta. Gonjang ganjing Indonesia sebagai bangsa akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014. Jika kita tidak mampu mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015 Indonesia benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal ramai-ramai akan pulang kampung untuk mendeklarasikan negara baru. Mereka merasa punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya jaringan dan punya massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan politik nasional pada tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat karena tidak ada lagi figur tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh seluruh bangsa.

Agar Indonesia tidak pecah, dia menyerukan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman yang ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk menyelesaikan semua permasalahan bangsa. Djuyoto bilang buku ini ditulis sebagai peringatan dini, sebagai salah satu wujud untuk berupaya menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Dengan adanya buku ini diharapkan semoga anak-anak bangsa mulai menyadari bahwa hantu Indonesia pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, diharapkan mulai tumbuh kesadaran dari dalam hati lalu secara bersama-sama mengambil langkah untuk mencegah.

ke 17 negara itu antara lain.

1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura

Angka 666 yang Unik dan Misteri

2009 Juni 17
by nusantaraku
Secara matematika, ada beberapa hal unik dari angka 666 :
  • merupakan angka palindrom (simetris): 666
  • Merupakan penjumlahan dari 62=36 angka pertama yakni 1+2+3+4..….+35+36 =666
  • Total bilangan prima hingga 666 berjumlah 121 bilangan yang merupakan kuadrat dari 11.
  • 6=(32) − (22) + 1
  • 66=(34) − (24) + 1
  • 666=(36) − (26) + 1
  • Total dari jumlah 7 bilangan kuadrat prima pertama yakni : 22 + 32 + 52 + 72 + 112 + 132 + 172 = 666
  • Dalam angka Romawi, 666 direpresentasikan sebagai DCLXVI (D = 500, C = 100, L = 50, X = 10, V = 5, I = 1). DIC LVX  merupaan representasi dari dicit lux. Dicit lux kemudian dikenal sebagai suara cahaya yang diidentikan dengan angka setan.
  • Muncul di barcode dengan total 3 angka di awal, tengah dan akhir. Jumlah angka barcode sendiri berjumlah 13.
666 pada Barcode

Barcode artinya bar (batang) code (tanda/kode) yang diterjemahkan secara umum sebagai kode dengan garis batang.
Barcode dapat ditemukan di seluruh produk buatan pabrik yang teregistrasi resmi yang dijual per unit satuan. Jadi, anda tidak bisa menemukan barcode di produk UKM atau produk kiloan. Dengan sistem scanner- barcode, penjualan suatu produk yang beragam menjadi lebih mudah tanpa kita perlu mengingat harganya.

Namun, sistem barcode yang muncul di era 1970-an di Amerika, kini sudah mulai usang setelah dikembangkannya RFID. Salah satu penggunaan teknologi RFID adalah PT Walmart, salah satu hypermarket Amerika Serikat dengan omzet terbesar di dunia mengalahkan PT Exxon Mobil pada tahun 2006 dan 2007.

Jika Anda perhatikan, maka pada setiap Universal Product Code (UPC) Barcode anda menemukan pola yang sama (ada beberapa versi barcode). Pasti ada 13 angka yang ada di bawah garis-garis batangan. Angka 6 disimbolkan dalam sistem Barcode adalah dua garis tipis saling berhadapan terletak di sisi paling kiri dan paling kanan Barcode, dan satunya lagi garis paling tengah. Ketiga garis yang melambangkan angka 6 ini lebih panjang dibanding garis-garis lainnya. Sehingga seluruh UPC Barcode  memiliki rangka 666.
Artikel ini tidak membahas analisis maupun mitos angka 666 yang diidentik dengan angka setan ataupun angka konspirasi. Namun, hanya ingin menunjukkan ada hal yang menarik pada setiap produk teregistrasi yang kita beli di warung ataupun supermarket.

MISTERI ANGKA 666 DENGAN BARCODE


666 dalam angka romawi = DCLXVI ( D = 500, C = 100, L = 50, X = 10, V = 5, I =1). Angka 666 dalam bahasa latin diartikan DIC LVX = “dicit lux” – suara cahaya. Anda tahu kan dalam bahasa latin Lucifer (Lux Ferre) adalah sipembawa cahaya atau SETAN. Artinya angka 666 itu identik dengan angka setan.
Hubungannya apa angka 666 dengan teknologi ? Anda pasti tahu barcode ? coba perhatikan jumlahnya pasti 13 (katanya angka sial) dan angka di awal, tengah, dan akhir, akan ada dua garis paling panjang dan dalam istilah barcode dua garis tersebut melambangkan angka enam. Dan anda perhatikan setiap barcode, setelah atau sebelum dua garis panjang tersebut tidak ada garis yang melambangkan angka enam.
Barcode 666
Barcode 666
Marry Stewart Reffle dalam bukunya “666 the New Money System” (1982) meringkas bahaya dari konspirasi dalam barcode : “Penerapan teknologi Barcode pertama kali dilakukan pada produk barang, disusul kemudian pada kartu, dan akan merubah menjadi sesuatu yang mengerikan dalam masyarakat yang tidak lagi menggunakan uang kontan…”
Artinya, konspirasi akan menyedot uang masyarakat ke dalam brangkas bank (Amerika), juga emas dan segala batu mulia, sedangkan di tengah masyarakat mereka hanya diberikan ‘uang plastik’. Dan ini merupakan muslihat dari Amerika ketika semua orang tunduk kepada konspirasi buatan Amerika tersebut.
MISTERI ANGKA 666 DENGAN KOMPUTER
Kebanyakan orang 666 merupakan angka setan. Saya akan menunjukkan hubungan angka tersebut dengan produk hasil kemajuan teknologi, komputer…
Coba anda ubah setiap huruf dalam COMPUTER dengan angka berdasarkan urutan abjad alphabet. lalu setiap angka di kali enam dan dijumlahkan.
C = 3 * 6 = 18
O = 15 * 6 = 90
M = 13 *6 = 78
P = 16 * 6 = 96
U = 21 * 6 = 126
T = 20 * 6 = 120
E = 5 * 6 = 30
R = 18 * 6 = 108
_____________ +
666
Mungkin apabila dibandingkan dengan angka 666 yang disebut merupakan angka setan, produk dari kemajuan teknologi seperti komputer, barkode, atau yang lain yang belum sempat di teliti, menjelaskan bahwa semakin maju teknologi semakin berantakan dunia ini.
Yang saya sadari sekarang, bahwa teknologi memang membuat dunia semakin berantakan, hancur, manusia semakin lemah, dan membuat manusia anti sosial. Bayangkan mungkin beberapa tahun lagi kita kuliah atau kerja tidak usah masuk kedalam ruangan kuliah dan kerja. Sebenarnya anak sekolah bukan pelajarannya yang sangat penting mereka dapat, tetapi kehidupan sosialnya yang sangat dibutuhkan.

Lalu anda sadari, bahwa semakin maju teknologi di bidang komputer semakin besar pula kesempatan orang berbuat dosa atau mengikuti ajakan setan yang kesepian di neraka. contohnya, dengan Internet kita dapat mendapat banyak ilmu, tetapi bukan ilmu postif saja yang kita dapat ilmu negatif pun banyak bahkan hal-hal yang berbau PORNO anak 8 tahun pun sudah dapat menikmatinya. Dan bandingkan orang tua kalian saat umur 8 tahun kemungkinan besar belum pernah minikmati barang tersebut. kejahatan pun semakin beragam, seperti skimmer, hacker, cracker, pirater, dan masih banyak lainnya.
Tentang positif, negatifnya kemajuan teknologi, hanya anda yang dapat menentukannya.

Soeharto dan Misteri Angka 666


27 Des 2009

West Papua 40 years on


Print E-mail

Reflecting on the Act of Free Choice and the integration of West Papua into Indonesia

Jennifer Robinson

robinson.jpg
         A Papuan man from the highlands of Papua: the voice of Papuans has long been ignored in the debate
         of the status of the territory
         Anonymous
Last August, East Timor celebrated a decade since the United Nations vote which gave it independence from Indonesia. This year, too, many West Papuans have been remembering a UN sponsored vote, but many of them have been mourning how it denied them their independence. In 1969, in an ‘Act of Free Choice’ the UN gave West Papuans the choice between the same two options put before the Timorese in 1999: integration with Indonesia or full independence. But the conduct of the vote could hardly have been more different than that which took place 30 years later in East Timor.

Different histories

Most East Timorese and outside observers hailed the UN administration in East Timor and the conduct of the vote for self-determination as a success. Under threat of violence, but with the world watching, 78.5 percent of the Timorese voted for independence. The subsequent independence ended a bloody 24-year occupation by Indonesian forces.

For many West Papuans, the UN-sponsored vote legitimised the forced takeover by Indonesia in 1962 and the Indonesian annexation that continues today

Few people are aware that 30 years before East Timor, West Papua was the first ever UN administered territory and the first territory granted a UN sponsored vote. But for the Papuans, the process and outcome could not have been more different. The vote, conducted by Indonesia with UN supervision, is now widely acknowledged to have been a sham: only a handful of Papuans were allowed to participate, the few who could vote were forced to do so in public, in full view of Indonesian soldiers and without international observers, under threat of violence. Despite popular support for independence, the Papuans were coerced into voting for integration with Indonesia. Unsurprisingly, the Act of Free Choice is more popularly known to Papuans as the ‘Act of No Choice’. For many West Papuans, the UN-sponsored vote legitimised the forced takeover by Indonesia in 1962 and the Indonesian annexation that continues today.

Remembering 1969

The fortieth anniversary of the Act of Free Choice provides an excellent opportunity for Inside Indonesia to reflect upon the events of that time and their continuing relevance today. The contested histories arising from that fateful vote – in particular concerning Papua’s status as a part of Indonesia – are at the root of ongoing conflict in Papua. Yet, for many years there was little documentation or discussion of the events of 1969.
Inside Indonesia is thus pleased to present over coming weeks a series of articles that consider the Act of Free Choice, its legal consequences and the viewpoints of Indonesians and Papuans on the event and its implications for Papua’s future.

The fortieth anniversary of the Act of Free Choice provides an excellent opportunity for Inside Indonesia to reflect upon the events of that time and their continuing relevance today

International lawyer Melinda Janki writes about the legal consequences of the conduct of the Act of Free Choice. Since 1969, Indonesia has represented the vote as signifying West Papua’s exercise of its right to self-determination, offering it as justification for the territory’s incorporation into the Indonesian state. After setting out the requirements for the legitimate exercise of self-determination in international law, she shows that the Act of Free Choice fell far short of those standards. As a matter of international law, she argues, the Act cannot justify Indonesian sovereignty over West Papua.
Professor Pieter Drooglever, author of an independent study of the Act of Free Choice commissioned by the Dutch government in 2000, provides an overview of his findings about the vote and the political circumstances prevailing at the time, considering the roles of the Netherlands, Indonesia, the US and the UN. He explains how his study focuses on Papuan sentiments on the transfer and gives voice to those views, and he reflects on the intense political controversy caused by his study and the criticisms he received in Indonesia.
The series then presents Indonesian and Papuan views on the Act of Free Choice. Jusuf Wanandi of the Centre for Strategic and International Studies in Jakarta was part of the team that organised the Act of Free Choice and he presents his recollections of and reflections on that period. It is rare for persons involved in these historic events on the Indonesian side to present their views on them to an international audience, and we are very grateful to Mr Wanandi for doing so. Next, Muridan S. Widjojo of the Indonesian Institute of Sciences represents a liberal Indonesian view. While recognising that differing interpretations of the history of the Act are at the root of conflict in today’s Papua, he argues that it is feasible for the Indonesian government and the Papuan people to agree to pieces of historical truth that are acceptable to both sides. He asserts that this will build a foundation for repairing past mistakes and addressing Papuan grievances. Finally, an interview with Papuan leader in exile, Benny Wenda, explains Papuan views about what the vote and its 40 year anniversary mean to the Papuan people.
By offering Papuan, Indonesian and international perspectives on the Act of Free Choice, it is hoped that this series will aid a greater understanding of the conflicting perspectives on the history of Papuan integration in Indonesia, which will in turn assist Inside Indonesia readers to understand the current conflict in Papua and provide some background to the proposed negotiations between Jakarta and Papua over how to resolve that conflict.     ii
Jennifer Robinson (jkr.robinson@gmail.com) is an Australian lawyer and Rhodes scholar in London who worked on the first case to be heard through the permanent Human Rights Courts in Indonesia, as well as the trial of then political prisoner, Benny Wenda in West Papua. She is an editor of Inside Indonesia and Secretary of International Lawyers for West Papua.