WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

28 Nov 2010

West Papua: Uncovering the ‘hidden’ conflict


6000 Papuans protested for self-determination and human rights. Manokwari, November 8. Photo: West Papua Media Alerts
Maire Leadbeater is a spokesperson for the Indonesia Human Rights Committee (Auckland). She recently returned from West Papua, a nation that has faced repression since its occupation by Indonesia in 1963. She spoke to Green Left Weekly's Ash Pemberton. SOURCE
* * *
Can you give your impressions of West Papuan society under Indonesian occupation?
Two things stand out when you first arrive in [the capital] Jayapura, the extent of the militarisation and the dominance of the migrant community in business and everyday life.
I quickly gave up the attempt to count the number of military and police bases — there were just too many. Policemen and soldiers seemed to be everywhere.


9 Nov 2010

VIDEO KEKERASAN TERHADAP RAKYAT SIPIL PAPUA

Menyeimbangkan bertindak untuk Obama PADA sales keamanan Indonesia



President Barack Obama, accompanied by first lady Michelle Obama, signs a book while Indonesian president Susilo Bambang Yudhoyono and Kristiani Herawati look on at Merdeka Palace in Jakarta November 9, 2010. REUTERS/Enny Nuraheni

JAKARTA | Thu November 9, 2010 11:45 EST
(Reuters) - Amerika Serikat dan Indonesia memiliki kepentingan keamanan BANYAK Bersama, TAPI Presiden AS Barack Obama menghadapi batu sandungan Very ketika membahas lebih Militer Dekat sales selama kunjungannya Minggu ini - hak asasi Manusia. SUMBER
Militer Indonesia, dan khususnya Yang Kopassus Pasukan Khusus, memiliki hak Catatan KESAWAN kepalang Kampanye Terakhir Melawan kaum separatis di Timor Timur, Papua Barat dan Aceh. Sebuah video Baru Yang menunjukkan penyiksaan terhadap Orang-Orang Papua telah Masalah membawa Suami Dilaporkan di Bawah SOROTAN sebagai kunjungan obama Indonesia.

EKSKLUSIF: Seperti Obama Tiba di Jakarta, Secret Documents Tampilkan AS yang didukung bahasa Indonesia Target Unit Pasukan Khusus Papua Gereja, Sipil


Obama-indonesia-kopassus
Presiden Obama tiba di Indonesia hari ini stop kedua dari perjalanan sepuluh hari ke Asia. Ini pertama negara Obama berkunjung ke Indonesia setelah tinggal di sana selama empat tahun sebagai seorang anak. Kami pergi ke Jakarta untuk berbicara dengan wartawan investigasi dan aktivis Allan Nairn, yang baru saja merilis dokumen-dokumen rahasia dari Kopassus-yang ditakuti indonesian-pasukan khusus yang telah bertanggung jawab untuk pelanggaran hak asasi manusia sejak tahun 1950-an. Awal tahun ini, pemerintahan Obama mengangkat satu tahun pendanaan larangan-12 untuk pelatihan Kopassus. Sementara Obama berbicara tentang hak asasi manusia, dokumen menunjukkan bahwa Kopassus target gereja dan warga sipil dan termasuk daftar musuh Kopassus atasnya oleh seorang pendeta Baptis lokal di Papua Barat. Nairn akan terus mengeluarkan dokumen di website nya AllanNairn.com. [Termasuk terburu-buru transkrip] sumber

2 Nov 2010

Human rights websites under cyber attack over Papua torture video


Human rights organisations that posted on their websites clips of the shocking video of Indonesian soldiers torturing Papuan tribal people have been coming under heavy cyber attack.
On Tuesday, the Asian Human Rights Commission’s (AHRC) reported that its website has been subjected to a concerted “cyber-attack” since October 28. Computers with hidden locations and identities have been used to flood the website’s servers with fake requests, in order to overload it, the organisation said. The follows close on the heels of tribal rights organisation Survival International reporting on Thursday about a similar attack. 

Otsus Tidak Menyelamatkan Orang Papua

Written by Frida/Papos   
Wednesday, 03 November 2010 00:00
JAYAPURA – Dewan Adat Papua (DAP) menilai, Otsus tidak menyelamatkan orang Papua. Ada beberapa kebijakan langsung maupun tidak langsung pemerintah pusat di Jakarta yang menunjukkan pelanggaran terhadap pelaksanaan UU Otsus. Di antaranya, Inpres No.1 Tahun 2003 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, pencairan dana Otsus tiap tahun anggaran hampir selalu sebagian besar pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua.
Termasuk pelarangan bendera separatis sesuai PP No. 77 tahun 2007, yang bertentangan dengan amanat UU Otsus khususnya pasal 5, di mana MRP gigih memperjuangkan Perdasus Lambang Daerah.
Pernyataan DAP, dalam pidatonya pada ulang tahun MRP ke-5, Senin lalu itu, terungkap kekecewaan atas sikap pemerintah pusat yang mengambil langkah-langkah yang tidak menarik simpati rakyat Papua. “Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan barisan merah putih (BMP) di Tanah Papua dan kegiatannya sehingga lembaga Negara di daerah seperti DPRP dan MRP , kegiatannya terganggu,” kata Forkorus Yaboisembut dalam pernyataan sikap DAP.
Selain itu, penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi Otsus versus penerimaan usul BMP atas 11 kursi yang sama oleh mahkamah konstitusi dengan mengerdilkan lembaga DPRP dan MRP dalam materi gugatannya. Ini menunjukkan sikap pemerintah pusat terhadap lembaga Negara di daerah tidak diperhatikan dari pada organisasi (milisi) yang dibentuknya. Politisasi SK MRP No. 14 tahun 2009 pun, menjadi bola liar panas yang dipermainkan oleh siapa saja, dari puast sampai di daerah. Pemerintah pusat memandang curiga dan tidak sepenuh hati karena itu, SK itu sepertinya tidak dipergunakan.
Sementara dari sisi pemerintah daerah, DAP menilai, ada beberapa indicator kegagalan dalam implementasi Otsus. Di antaranya, Pemprov tidak segera menetapkan Perdasi dan Perdasus selama 7 tahun pelaksanaan Otsus, kecuali Perdasi pembagian dana Otsus. Baru pada tahun ke-8, ada sejumlah Perdasi dan Perdasis tetapi belum dipergunakan. Selain itu, belum terbentik komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM di Tanah Papua. “Pemerintah belum menyentuhnya,” kata Yaboisembut.
Tanggal 31 Oktober sebagai masa berakhirnya jabatan MRP, ia juga menilai, gubernur secara tergesa-gesa mengirim surat ke Mendagri, tanggal 12 Oktober lalu, perihal masa jabatan anggota MRP dengan isi surat, rancangan Perdasus tetnang tata cara pemilihan anggota MRP tahun 2010-2015 sudah disampaikan kepada DPRP sehingga tinggal menunggu pembahasan dan pengesahan melalui sidang paripurna. Karena itu, Mendagri menjawab dengan perpanjanan masa jabatan hingga 31 Januari 2011.
Sebagai ketua DAP, ia menyatakan bahwa MRP adalah lembaga politik yang dibentuk berdasarkan UU Otsus, maka ia menolak jika masa jabatan MRP diperpanjang. “Ini sama dengan menodai dan melanggar konstitusi Negara kesatuan Indonesia karena secara sadar telah memasung MRP mulai dari kebijakan sampai dengan implementasi,” ujarnya. Di sisi lain, rakyat Papua secara tegas menyatakan implementasi Otsus tidak menyelamatkan orang Papua.
Indicator kegagalan itu, antara lain, pemerintah mengeluarkan berbagai UU pemekaran kabupaten dan provinsi, instruksi presiden, keputusan presiden, dan lainnya yang bertentangan dengan UU Otsus, penyebaran HIV/AIDS yang cepat, tidak berhasil menangani illegal loging, illegal fishing, illegal minning, di Tanah Papua, mengambil alih tanah adat untuk pembangunan infrastruktur militer dan sipil, menerapkan operasi intelijen secara terbuka dan tertutup di Tanah Papua, memelihara pejabat korup di Tanah Papua dan lainnya

PAPUA MINTA JADI FEDERAL

Tuesday, 02 November 2010
02.11.10.jpg
ACARA HUT : Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem, SE
didampingi Ketua MRP Agus Alua Alue dan Wakil ketua Frans
Wospakrik dan Waket Hanna Hikoyabi pada acara Ulang Tahun
ke-5 Majelis Rakyat Papua, Senin(/11) di halaman gedung MRP Jayapura


JAYAPURA [PAPOS] – Majelis Rakyat Papua (MRP) menilai implementasi Otsus Papua yang sudah 9 tahun sedang berada dalam titik nol. Sehingga MRP menawarkan tiga solusi yakni merevisi UU Otsus secara menyeluruh, dialog Jakarta-Papua atau menaikkan status UU Otsus menjadi UU Federal, berada dalam satu bangsa, tetapi berbeda dalam system.

“ Otsus ini sudah mencapai titik nol, bukan lagi solusi tetapi justru mentah. Karena itu, ada 3 kemungkinan yang diharapkan MRP. Pertama, apakah harus evaluasi Otsus dan evaluasi implementasi Otsus untuk menentukan apakah direvisi total, kedua, dialog antara Jakarta dan Papua yang dimediasi oleh pihak yang netral. Dan ketiga, menaikkan status Otsus menjadi UU Federal. Tetap 1 bangsa tetapi system berbeda,” demikian dikemukakan Ketua MRP, Drs. Agus Alue Alua, M.Th, dalam pidatonya pada ulang tahun MRP ke-5, Senin [1/11] kemarin di halaman Gedung MRP, Jayapura.

Dihadapan Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE, dan para undangan yang hadir, Agus Alua lebih jauh mengungkapkan, masa berakhirnya pengabdian MRP tahap pertama sudah habis, MRP merekam beberapa hal dalam implementasi Otsus di masa lalu, masa kini dan ke depan, yang memberi kesan ketidak konsistenan dalam pelaksanaannya.

Dimana semua orang Papua tahu, bahwa Otsus diberi bukan kemauan politik pemerintah pusat. Tetapi karena ada masalah politik. Tetapi, kata Agus Alua pengalaman selama 5 tahun duduk di lembaga representative orang asli Papua itu [MRP], ia menilai betapa susahnya, karena bukan kemauan politik tetapi Jakarta mengatasi masalah dengan tidak sungguh-sungguh.

Yang kedua, Jakarta tidak menjawab aspirasi orang Papua, sehingga keluarlah kebijakan Otsus. “Tidak menjawab ya atau tidak, tetapi diberi dengan menekankan kesejahteraan yang harus ditingkatkan supaya aspirasi politik bisa diminimalisir,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga mendorong pembentukan barisan merah putih yang menurutnya hal rahasia tetapi sudah menjadi rahasia umum. Kemudian penolakan perjuangan MRP atas 11 kursi versus penerimaan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi.

Ia juga menilai, pemerintah pusat dan daerah tolak - menolak dalam implementasi Otsus. Selama 9 tahun Otsus Papua hasilnya adalah pertama, Pemerintah Provinsi Papua mengklaim bahwa Otsus dengan dana besar dapat diwujudkan dengan program RESPEK dan itu telah memberi hasil. Kedua, dari sisi masyarakat menilai bahwa Otsus telah gagal. Pandangan MRP sendiri, pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak konsisten mendorong dan melaksanakan UU Otsus sesuai dengan semangat awal. Arus migrasi yang juga sulit dibendung juga menjadi sorotan. Karena itu, tak heran, hasil sensus 2010, untuk Kota Jayapura saja, penduduk asli hanya 37 persen sedangkan yang lain non pribumi.

Sementara itu, Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, SE, pada kesempatan itu mengatakan, MRP yang berumur 5 tahun, belum dituntut untuk berbuat lebih banyak. Lembaga itu perlu ditunjang dan diperkokoh karena masih perlu pendampingan dan penguatan untuk menjadi suatu lembaga adat yang kokoh. Dengan terbentuknya lembaga masyarakat adat Papua ini, kehadiran MRP sangat melegakan karena tujuan pendirian dan pembentukannya benar-benar member perhatian bagi kepentingan dan kesejahteraan putra-putri asli Papua.

Wagub Hesegem berharap, 5 tahun telah cukup untuk meletakkan landasan yang kuat bagi kiprah MRP dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan padanya. Selain memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua, juga telah ikut menciptakan Papua yang aman dan damai untuk semua orang yang hidup dan berkarya di tanah ini.

Di akhir masa jabatannya itu juga, MRP meluncurkan sebuah buku, berjudul, “Rekam Jejak MRP 2005-2010”. Dewan Adat Papua, pimpinan Forkorus Yaboisembut juga, pada kesempatan itu, ikut member pernyataan sikap perpanjangan masa jabatan MRP masa bakti 2005-2010.

Di antaranya, masa bakti MRP telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi sesuai pasal 19 ayat 2 UU Otsus, hentikan pelaksanaan UU Otsus di Tanah Papua, karena tidak menolong dan menyelamatkan orang asli Papua di atas tanah leluhurnya. Otsus perlahan-lahan dinilai memusnahkan orang asli Papua. Dialog Jakarta-Papua juga diminta oleh DAP untuk segera dilaksanakan untuk penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, bermartabat dan tuntas yang dimediasi pihak ketiga. Selain ramah tamah yang dimeriahkan tari-tarian adat, digelar juga pameran kuliner, batik Papua, kerajinan tangan, dan lainnya

Sope calls on Vanuatu government to revive Papua lobbying


Posted at 03:29 on 02 November, 2010 UTC
A former Vanuatu prime minister and leader of the Melanesian Progressive Party, Barak Sope, has called on the government to continue to apply political, diplomatic and legal pressure on the United Nations and Jakarta to allow West Papua to hold a referendum on independence from Indonesia.
Mr Sope made the call through the Daily Post newspaper as Edward Natapei’s government is easing off the lobbying efforts of preceding administrations.
He says Vanuatu’s first prime minister, Father Walter Lini, had always maintained that as long as other islands and regions in the Pacific remained colonies, Vanuatu was not independent either.
According to Mr Sope, Father Lini said West Papua should have become the first country in the Pacific to become independent and urged the Natapei regime to sponsor a case in an American court to declare the West Papua 1963 act of free choice unconstitutional.
News Content © Radio New Zealand International
PO Box 123, Wellington, New Zealand sumber

20 Okt 2010

Amensty Minta Penyelidikan Independen Kekerasan Papua

JAKARTA - Organisasi hak asasi manusia (HAM), Amnesty International, meminta agar Pemerintah Indonesia menyelidiki kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan terhadap warga sipil di Papua. SUMBER

Permintaan itu dilayangkan Amnesty setelah munculnya rekaman video kekerasan di situs YouTube pekan lalu. Dalam video terlihat, dua warga Papua dalam posisi duduk di tanah, diinterogasi pasukan berseragam sambil memegang senjata.


“Tayangan video ini mengingatkan bahwa kekerasan dan perlakuan kasar di Indonesia kerap terjadi dan tanpa sanksi,” ungkap Donna Guest Deputi Direktur Amnesty International Asia Pasifik dalam pernyataannya yang dikutip Reuters, Rabu (13/10/2010).


Donna mengaku pihaknya terus menerima laporan tentang kekerasan yang dilakukan pasukan keamanan. “Namun sering kali tidak ada penyelidikan yang independen. Mereka yang bertanggung jawab pun tidak dibawa ke pengadilan yang independen,” sambung Donna.

Polisi dan TNI sudah berjanji akan mengungkap kasus ini, namun Amnesty meminta pemerintah memberikan ruang bagi Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan mengumumkan hasil temuannya secara terbuka kepada masyarakat. Di saat bersamaan, Amnesty juga meminta pihak terkait untuk menjamin keselamatan kepada para penyelidik, korban, saksi, serta keluarga mereka.
“Pemerintah harus menyampaikan pesan yang jelas kepada pasukan keamanan di Indonesia, terutama di Papua, bahwa kekerasan dan pendekatan kasar, dilarang kapan pun, dan penyelidikan akan dimulai,” ungkap Donna.

Amensty juga mengaku pihaknya memiliki rekaman video kekerasan terhadap aktivis politik di Papua sesuai ditangkap polisi pada Agustus 2009 lalu. Akibatnya, aktivis tersebut menderita luka di perut. Amnesty mengklaim tidak ada penanganan medis terhadapnya, kecuali sesaat menjelang meninggal.
Amnesty, lanjut Donna, sudah mengirimkan surat kepada polisi pada Desember lalu untuk menanyakan informasi terperinci soal kekerasan di Nabire tersebut, namun tidak mendapat respons dan belum diketahui apakah ada penyelidikan independen terkait kasus ini.
Dalam catatan Amnesty, sejak Desember 2008 hingga April 2009, polisi sudah menggunakan cara-cara yang “tidak perlu” untuk menangani demonstrasi. Akibatnya 21 orang mengalami luka dan 17 orang ditangkap.
(ton)

Kelompok hak asasi manusia: Video menunjukkan penyiksaan di Indonesia

Dengan Sidner Sara, CNN
20 Oktober 2010 - Updated 2043 GMT (0443 HKT)
An paramilitary soldier aims at rebel positions in a 2009 photo. Papuan insurgents want to secede from Indonesia.
An paramilitary soldier aims at rebel positions in a 2009 photo. Papuan insurgents want to secede from Indonesia.
CERITA UTAMA
  • Video menunjukkan mengerikan penyiksaan terhadap laki-laki di provinsi Papua di Indonesia
  • Kelompok-kelompok HAM mengatakan bukti menunjuk militer Indonesia
  • Pihak militer mengatakan mereka meluncurkan sebuah "penyelidikan intensif"
  • gerakan separatis di Papua telah aktif sejak 1965
Jakarta, Indonesia (CNN) - Seorang pria kurus dengan rambut yang mulai memutih terletak di punggungnya, benar-benar telanjang di jalan berdebu. kaki-Nya dan lengan terikat dan tubuhnya tiba-tiba contorts kesakitan. Seorang pria berdiri di atasnya dan mendorong sepotong kayu membara terhadap kemaluannya. SUMBER
Ia menangis kesakitan, tetapi tidak berhenti penyiksanya.
"Di mana Anda meletakkan senjata Tunjukilah kami di mana senjata!?"permintaan laki-laki, salah satunya adalah mengenakan seragam militer.
Beberapa meter jauhnya, seorang pria muda yang berbaring di posisi yang serupa tapi berpakaian. Kelompok yang sama interogator pindah ke dia, pegang pisau di bawah hidung dan kemudian berulang kali menampar wajahnya. Mereka juga menanyakan pertanyaan tentang senjata dan keberadaan pemberontak.
Adegan direkam pada ponsel di Indonesia, memicu shock dan kecaman dari kelompok hak asasi manusia di seluruh dunia yang percaya video mungkin bukti angkatan bersenjata Indonesia menyiksa orang-orang yang mencari kemerdekaan dari Indonesia.
Video ini adalah "pengingat terbaru bahwa penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya di Indonesia sering pergi dicentang dan dihukum," kata Donna Guest, wakil direktur Asia-Pasifik untuk Amnesty International.
CNN memperoleh salinan video dari sebuah organisasi non pemerintah internasional, namun jaringan belum diverifikasi keasliannya.
Jurubicara militer Indonesia Aslizar Tanjung mengatakan kepada CNN bahwa ada "penyelidikan intensif" diluncurkan tentang video.
"Kita perlu untuk memverifikasi keaslian tempat, waktu dan aktivitas yang ditampilkan dalam video," katanya. "Para prajurit dilatih dan dididik sesuai dengan standar prosedur. Mereka harus menyadari tugas mereka, tanggung jawab, [dan] dilengkapi dengan pengetahuan tentang hak asasi manusia, dari apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan di lapangan.
"Mudah-mudahan, investigasi tidak akan mengambil waktu terlalu banyak sehingga kami dapat segera menjelaskan kepada rakyat apa yang sebenarnya terjadi Sejauh ini hanya sebuah dugaan bahwa ada kelompok tertentu yang melakukan penyiksaan. Kita perlu membuktikannya secara hukum.."
Video diyakini dari provinsi Papua Indonesia, hampir 3.500 kilometer [2.175 mil] timur ibukota, Jakarta. Papua telah lama memiliki pemberontakan tingkat rendah yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia, mengatakan pemerintah berusaha untuk mengambil tanah untuk mencuri sumber daya.
Papua adalah rumah bagi tambang emas terbesar di dunia, yang dioperasikan oleh Freeport-McMoRan Copper yang berbasis di AS & Gold, tetapi anggota gerakan kebebasan penduduk setempat mengatakan belum menerima manfaat ekonomi yang wajar dari salah satu operasi pertambangan di tanah air mereka.
Free asli Papua Merdeka didirikan pada tahun 1965 untuk mendorong pemisahan diri. Kelompok itu membantah istilah dimana Papua menjadi bagian dari Indonesia tahun itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa sementara mereka belum menentukan keaslian video, mereka memiliki petunjuk bahwa penyiksa adalah anggota angkatan bersenjata Indonesia.
Mereka [tentara] harus menyadari tugas mereka, tanggung jawab, [dan] dilengkapi dengan pengetahuan tentang hak asasi manusia, dari apa yang mereka bisa dan tidak bisa lakukan di lapangan.
- Aslizar Tanjung, juru bicara militer Indonesia
Misalnya, senjata yang digunakan dalam video tampaknya menjadi isu militer standar dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para interogator yang konsisten dengan pasukan keamanan Indonesia, kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch.
"Ada banyak bukti yang akan membawa kita untuk percaya bahwa ini mungkin aparat keamanan tetapi kami tidak dapat mengotentikasi itu," kata Robertson CNN, menambahkan bahwa itu salah satu dari banyak alasan penyelidikan lengkap diperlukan.
Namun, grup ini khawatir bahwa pemerintah akan membiarkan kasus ini berlama-lama tanpa resolusi.
"Perhatian utama adalah bahwa ini akan menutupi lain, bahwa ini akan menjadi penyelidikan internal militer yang mirip dengan banyak orang lain yang kita lihat," kata Robertson.
video lain muncul tahun ini menunjukkan adegan lain mengerikan yang juga diyakini telah terjadi di Papua. Ini menunjukkan seorang pria perutnya, yang telah diidentifikasi sebagai aktivis Papua Yawan politik Wayeni, di hutan.
Pria di seragam polisi terlihat duduk dan berdiri di dekat Wayeni saat ia menderita. Orang-orang berseragam mengejek Dia, katanya, "Anda tidak pernah akan mendapatkan kebebasan selama tentara di sini."
Wayeni nyaris tidak terdengar, tetapi mengatakan "kebebasan." Dia akhirnya meninggal dari luka-lukanya.
Polisi membantah tuduhan bahwa mereka perutnya dia, mengatakan dia terluka dalam baku tembak. Tidak ada disiplin petugas dalam peristiwa itu.

17 Okt 2010

West Papua: Video Shows Papuans Being Tortured

 A graphic and disturbing video shows a Papuan man being poked in the genitals with a fiery stick as he is interrogated by a group of men who appear to be members of Indonesia's security services.
 The video has come to light as the Indonesian government faces continuing criticism about abuses by its security forces in Papua, scene of a long simmering separatist struggle.
 The Papuan man, stripped naked, bound and with one of the interrogators placing his foot on his chest, is being asked about the location of a cache of weapons. After he tells his interrogators it has been hidden in a pigpen, one of them screams at him: ''You cheat, you cheat.'' DISINI LiHAT VIDEO

Another interrogator then yells ''get a fire, get a fire'' before a colleague administers the torture with a stick that has been burnt in a fire and is smouldering. The man screams in agony, and does so again when the treatment is repeated.
 The video appears to have been taken with a mobile phone by one of the interrogators, who speak Indonesian with Javanese and Ambonese accents and wear plain clothes.
 While it is common for Indonesian police and military personnel to wear civilian clothing, it is impossible to verify those in the video are members of the security services.
 But the nature of the interrogation suggests professionals are at work, as does a later incident shown on the 10-minute video when an M-16 rifle is pointed at the man's mouth.

''So you want me to shoot your mouth? So your mouth breaks?'' the interrogator shouts.

The emergence of the video - it was posted on YouTube three days ago by someone using the moniker papualiberationarmy and obtained independently by the Herald - will do nothing to lessen criticism of abuses by security forces in Papua.

''We have been living under Indonesia for almost 48 years,'' said Victor Kogoya, a member of the central committee of the Aliansi Mahasiswa Papua, a Papuan student group. ''For all this time, we have never felt calm, never peace. Why? Because ever since the security state has been chasing us, arresting us, killing, terror and intimidation.''
 Although Jakarta made an autonomy deal with the province almost 10 years ago, its indigenous Melanesian people remain the country's poorest while migrants flood into the resource-rich area and dominate business and paid employment, further marginalising the Papuans.
 There have been repeated reports of abuses by the military and police, but foreign journalists are banned from entering Papua without special permission, while non-government groups, including the International Committee of the Red Cross, have been told to leave in the past year.

Two Papuan victims are recorded in the video - one naked and being burned, while the other is clothed and has a large knife placed under his nose as he is being questioned by the men. At one point, one of the interrogators says: ''I'll cut your throat.''

The footage is graphic, with the men hit and threatened throughout the interrogation.

The victims speak in the Papuan dialect Lani, strongly suggesting the video was filmed in Puncak Jaya, a regency in Papua's highlands where a unit of the armed Free Papua Movement commanded by Goliath Tabuni has been staging sporadic attacks on Indonesian police and military posts for the past two years.
 Numerous weapons have been stolen in the raids and at least four soldiers and police have been killed in the past two years.
 Jakarta has sent members of the national police's mobile brigade and anti-terrorism unit, Detachment 88, to the region. Both units have been accused of using excessive force.

There have been repeated allegations of security forces making violent sweeps through villages in Puncak Jaya, a region characterised by soaring mountains covered in thick jungle. The military, including its controversial special forces unit Kopassus, also has a strong presence.
 Papua, which was formerly known as Dutch New Guinea, was not incorporated into Indonesia when it became a state in 1949. It was held by the Dutch until 1962 when, following Indonesian military incursions into the area, an agreement brokered through the Untied Nations gave Indonesia administrative control of the region pending a referendum.
 That ''referendum'' involved just 1025 handpicked tribal leaders who unanimously agreed to join Indonesia. The so-called ''Act of Free Choice'' has been labelled fraudulent and remains a source of great anger for many indigenous Papuans.
 While separatist sentiment remains strong, it has little international support. Australia recognises Indonesia's sovereignty over the region. The Herald was unable to obtain a response from the Indonesian military or police late yesterday.

12 Okt 2010

Scottish Parliament to discuss issue of West Papua self-determination

OCTOBER 7, 2010
by lizryder
Following a launch of IPWP in the Scottish Parliament, there will be an
official debate held by MSPs on the issue of West Papua self-determination.
A motion has been put forward by MSP Aileen Campbell which has so far
received the support of 10 MSPs.
A date for the Parliamentary debate will be announced shortly. Full
information at the link below
S3M-07130 Aileen Campbell (South of Scotland) (Scottish National Party): Free West Papua— That the Parliament supports the Free West Papua Campaign and its efforts to obtain self-determination for the people of West Papua; expresses its horror at the systematic abuse and torture of West Papuans, as reported by the UN Special Rapporteur on Torture, Dr Manfred Nowak, during his mission to Indonesia in 2008; believes the occupation by Indonesia to be illegal and that the West Papuans’ fundamental right to self-determination under international law has been denied; notes with concern the systematic suppression of human rights and freedom of expression in West Papua that was highlighted by Amnesty International, and in particular, the case of Yusak Pakage and Filep Karma, who have been jailed for 10 and 15 years respectively for, Amnesty International claimed, peacefully raising the West Papuan independence flag; welcomes the UK Government’s recognition in 2004 that hand-picked West Papuan representatives were coerced by the Indonesian state into voting for the 1969 Act of Free Choice; hopes that elected representatives from around the world will join respected figures, such as Archbishop Desmond Tutu, in supporting the right of the people of West Papua to self-determination; expresses solidarity with the recent demonstrations that took place in West Papua, and recognises West Papuans’ appreciation of the support for West Papua from the Parliament during such hostile conditions.
Supported by: Linda Fabiani, Dr Alasdair Allan, Bill Kidd, Kenneth Gibson, Stuart McMillan, Robin Harper, Joe FitzPatrick, Gil Paterson, Malcolm Chisholm, Jamie Hepburn
Lodged on Friday, October 01, 2010; Current

7 Okt 2010

Obama ke Papua, DPR "Gelisah"

KOMISI I RAPAT DENGAN MENLU
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary
Kamis, 7 Oktober 2010 | 10:52 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Jika tak ada pembatalan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama akan melawat ke Indonesia pada November mendatang. Kabarnya, salah satu agenda Obama adalah berkunjung ke Provinsi Papua. SUMBER
Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq mengatakan, agenda Obama ke Papua akan menjadi salah satu materi yang dipertanyakan dalam rapat dengan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, pekan depan.
Menurut Mahfudz, tak ada kepentingan Obama dengan isu Papua. "Mengapa Obama memberikan perhatian yang sangat spesifik soal Papua? Ngapain Obama bawa isu Papua? Jauh amat," ujar Mahfudz di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/10/2010).
Mahfudz mengatakan, isu Papua merupakan isu domestik nasional Indonesia dan bukan isu internasional yang harus jadi bahan perhatian Obama. "Urusannya Komisi II, soal otonomi khusus dan sebagainya. Apa perlu Obama kita undang rapat dengar pendapat ke Komisi II bicara soal otonomi khusus?" ujarnya.
Oleh karena itu, kata Mahfudz, komisinya akan meminta penjelasan terperinci dari Kementerian Luar Negeri atas urgensi rencana Obama tersebut.