WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

19 Feb 2009

West Papua : Wamena High School Student and all Papuan Activist Demonstration Solidarity with Sebby Sambom and Bucthar Tabuni. By WPNews Wamena


Feb 19, 2009, 03:27

Email this article
Printer friendly page
Demo today joining by high School student from all over Wamena with all the Peoples around Wamena demanding Release Bucthar Tabuni and Sebby Sambom because they are not criminal but they Human Right Activist.

We all west Papuan demanding to Indonesia Government not to close democracy windows in West Papua.
Arrestment of the Bucthar Tabuni and Sebby Sambom by Indonesia Police and Military are Illegal according to International of Human Right for Freedom of Expression.

We know that freedom of Expression according to International Law for Human Right guaranty to the Express for political few any part of the world and including Indonesia already signed up this treaty.










15 Feb 2009

43 Pengacara Siap Dampingi Buchtar CS

*Sidang Perdana Digelar Rabu(18/2)

JAYAPURA-Sebanyak 43 penasehat hukum (PH) di Jayapura, dipastikan akan mendampingi tersangka makar, Buchtar Tabuni Cs dalam persidangan. Kesiapan 43 PH untuk mendampingi Bucthar Cs ini, diungkapkan Ketua Tim Penegakan Hukum Kasus Makar Buchtar Tabuni Cs, Pieter Ell, SH.
Untuk diketahui, kasus yang sempat menyedot perhatian publik ini, rencananya akan disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura, Rabu (18/2) lusa.
Menurut Pieter Ell, dari perkara tersebut kliennya yang saat ini statusnya telah menjadi tahanan kejaksaan telah disepakati akan didampingi sekitar 43 Penasehat Hukum. Hanya saja dalam proses persidangan nantinya Pieter menyampaikan kemungkinan hanya separoh dari jumlah tersebut yang bisa hadir.
Dari tuduhan yang dikenakan kepada kliennya, Pieter menyoroti tentang pasal 160 KUH Pidana yang sekarang dikenakan untuk Buchtar Cs, dimana menurut pria yang suka mengenakan kacamata hitamnya ini menganggap pasal tersebut tidak relevan lagi untuk diterapkan saat sekarang.
"Pasal 160 KUH Pidana ini sebenarnya digunakan pada zaman penjajahan Belanda untuk menjerat pejuang atau rakyat yang menentang pemerintahan Belanda pada waktu itu lalu diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Jadi pasal tersebut saya pikir sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan jika digunakan saat ini," jelas Pieter Ell saat dikonfirmasi, Ahad (15/2).
Jika tetap diterapkan, maka Pieter Cs berencana akan melakukan yudisial review untuk meminta ke mahkamah konstitusi menghapus pasal tersebut.
Menyangkut persidangan nantinya dikatakan, telah dilakukan koordinasi dengan para PH untuk menindaklanjuti proses sidang. Yang terpenting menurut Pieter adalah apakah akan diajukan eksepsi atau tidak.
"Ini yang sedang kami bahas, karena kasus makar ini boleh dibilang menyedot perhatian masyarakat. Jadi hal tekhnis seperti ini yang kami bicarakan," beber Pieter. Ia juga mengomentari soal perkara Buchtar yang lebih condong pada permasalahan politik.
"Menurut saya, penyelesaiannya sebaiknya melalui jalur politik pula," saran Pieter menengahi. Dari pokok masalah ini, jika melihat kebelakang, pada tahun 1998 lanjut Pieter saat itu dikatakan banyak perkara makar, dimana banyak masyarakat Papua menghadap Presiden Habibie untuk meminta merdeka. Begitu juga kasus Alm Theys Eluay dan Sekjend PDP, Thaha Alhamid dan lainnya.
Namun dari sekian banyak kasus serupa bisa diselesaikan tanpa harus menggunakan jalur hukum melainkan tetap melalui jalur politik.
"Dilakukan melalui kongres Papua pada tahun 2000 yang disetujui oleh Gus Dur ini salah satu contohnya," kisahnya. Melihat kondisi ini, Pieter menekankan sesungguhnya perkara makar bukanlah satu tindakan hukum yang perlu menjadi prioritas, tetapi ada tiga hal penting yang sebaiknya segera disikapi yakni pelurusan sejarah, penyelesaian kasus pelanggaran HAM begitu pula dengan permasalahan ekonomi.
"Ini adalah 3 akar masalah yang harus diselesaikan dan bukan karena kasus makar lalu disidangkan, sementara perkara pokok tadi dinomor sekiankan," ungkapnya.
Jika tetap berpatokan pada proses hukum tindakan yang dimaksud, maka Pieter memprediksikan kedepannya akan muncul kasus yang sama dan tetap tidak menyelesaikan masalah. Sementara menyangkut pemindahan Buchtar dari tahanan Polda ke Lapas Narkotika, Doyo Baru Kabupaten Jayapura dan dikembalikan ke Lapas Abepura, Pieter menganggap hal tersebut wajar dilakukan, namun sedikit disayangkan karena sempat terjadi miss komunikasi antara PH dengan pihak kejaksaan pada saat proses pemindahan.
"Ya paling tidak ada informasi pemberitahuan, karena kami bertanggung jawab terhadap proses hukum kedepan dan status Buchtar masih tahanan yang menjalani proses hokum, bukan narapidana, sehingga menurut saya komunikasi itu penting guna menghindari isu yang berkembang di masyarakat," lanjut Pieter yang hari Senin besok (hari ini) akan bertemu Buchtar guna membicarakan soal persidangannya.
Rupanya sidang perkara dugaan makar yang dituduhkan kepada Buktar Tabuni yang akan digelar Rabu (18/2), diperkirakan akan mendapat penjagaan ketat dari polisi. Pasalnya pihak pengadilan Negeri Jayapura telah melayangkan surat permintaan bantuan pengamanan kepada kepolisian atas digelarnya kasus tersebut.
"Kami telah mengirimkan permohonan pengamanan kepada pihak kepolisian guna mengamankan jalannya sidang tersebut," ungkap Ketua Pengadilan Negeri Jayapura, Aman Barus, SH saat ditemui Cenderawasih Pos, Jumat (13/2) di Pengadilan Negeri kemarin.
Sidang yang beragendakan pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) ini akan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Manungku Prasetyo, SH bersama Lucky R Kalalo, SH dan H Simarmata, SH MH sebagai anggotanya.
"Setelah menerima berkas perkara dengan nomer 78/Pid.B/2009/PN-JPR pada tanggal (10/2), saya langsung memerintahkan kepada ketiga hakim tersebut dapatnya memimpin sidang atas kasus buktar tabuni," lanjutnya.
Dan mengenai tim Jaksa penuntut Umum dari sidang kasus atas terdakwa Buktar Tabuni diketuai oleh Maskel Rambolagi, SH dibantu oleh Edi S Utomo, SH dan Alwin Michel Rambi, SH sebagai anggotanya.
"Kami akan hanya membacakan dakwaan kepada Buktar Tabuni dalam sidang Rabu mendatang," ungkap Jaksa Maskel saat ditemui di Pengadilan Negeri.
Ditanya adanya kesiapan lain, ia mengatakan tidak ada kesiapan khusus karena ini adalah siang pembacaan dakwaan.
Sementara itu, salah satu anggota tim pengacara hukum terdakwa, Iwan Niode, SH mengungkapkan bahwa dirinya dan beberapa pengacara yang dipimpin Piter Ell, SH saat dihubungi oleh Cenderawasih Pos mengungkapkan tim pengacara sedang melakukan kajian hukum pada surat dakwaan.
Ia juga menyesalkan adanya tindakan yang menyepelekan pengacara hukum karena pemindahan Buktar Tabuni yang harusnya di lapas Abepura ke Polda ataupun sebaliknya tidak dikoordinasikan oleh pihak yang bersangkutan kepada pengacaranya. (ade/ind)

AKANKAH PEMILU MENGUBAH NASIB PAPUA?

JAKARTA, KAMIS — Pemilu akan berlangsung, tetapi persolan Pengolahan Sumber Daya Alam, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan, Otonomi Khusus (Otsus) dan Demokratisasi di Papua tidak bergeming sedikit pun. Akankah pemilu kali ini akan membawa perubahan bagi masyarakat Papua?

Hal itu diungkap Direktur Hubungan Eksternal The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti dalam jumpa pers Koalisi dari Jakarta untuk Papua di Jakarta, Kamis (12/2). Lebih lanjut Poengky menjabarkan apa saja yang terkandung dalam tiga persolan tersebut.

"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Papua sejak tahun 2005 hingga 2008 menduduki peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan manusia terendah," ungkap Poengky saat menjelaskan masalah pengelolaan sumber daya alam di Papua. Menurut Poengky, hal ini sungguh kontras kalau melihat melimpahnya kekayaan alam di sana.

Eksploitasi alam Papua, menurut Poengky, menghasilkan emas, tembaga, perkebunan sawit dan tebu, dan kekayaan hutan yang sangat melimpah. "Tetapi sumber daya manusia penduduk Papua masih terbelakang," sesalnya.

"Pelanggaran HAM yang terjadi dulu, sekarang dan mungkin juga nanti tidak pernah dituntaskan sampai sekarang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi," Poengky menyinggung soal HAM dan keadilan di Papua. Dia mencontohkan kasus pelanggaran HAM berat seperti di Wamena (2003) dan Wasior (2001) belum tuntas juga, karena DPR-RI, DPD, Jaksa Agung, Presiden, serta Komnas HAM hanya membisu.

Poengky menambahkan bahwa situasi ini semakin lengkap karena Perwakilan Komnas Ham, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua yang didirikan atas dasar UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Pasal 45 tidak berjalan.

"Otsus di Papua dalam keadaan sekarat," ungkap Poengky ketika mulai menjelaskan persolan ketiga. Berdasarkan Otsus, menurut Poengky, dibuatlah Majelis Rakyat Papua (MRP), yang kedudukannya sejajar dengan Gubernur dan DPRD. Namun, lembaga yang seharusnya menampung aspirasi seluruh masyarakat Papua asli malah dimatikan fungsinya. "Kami mensinyalir, hal itu sengaja dilakukan supaya MRP yang kedudukannya sangat strategis ini tidak menjelma menjadi gerakan pemberontakan," Poengky menambahkan.

Kolapsnya Otsus, menurut Poengky, menjadi pemicu pemekaran-pemekaran wilayah yang sangat cepat di Papua dan gagalnya demiliterisasi. "Kedua hal ini sangat mengancam persatuan orang Papua sehingga memicu berbagai macam konflik dan kekerasan, baik politik maupun sosial ekonomi, di tingkat publik maupun domestik," tegas Poengky.