WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

11 Des 2008

Tom Beanal: Apakah Papua Tidak Boleh Merdeka?

Thaha Nilai Aspirasi AMAK Patut Dihargai
(Sedang Terjadi Ketegangan Sosial Bagi Orang Papua)
JAYAPURA-Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Tom Beanal, merasa kaget dengan adanya aspirasi mahasiswa yang meminta dirinya ditangkap dan diproses hukum. "Itu Mahasiswa siapa, dan apakah Papua tidak boleh merdeka?,"tanya Tom Beanal kepada Cenderawasih Pos menanggapi aspirasi mahasiswa tersebut.
Seperti diketahui, pada aksi demo sebelumnya, salah satu aspirasi yang disuarakan Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan ( AMAK) Papua adalah meminta agar Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Tom Beanal, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut dan Sekjend PDP, Thaha Alhamid diproses.
Alasannya, karena ketiga tokoh ini sebagai pihak yang paling tepat bertanggung jawab atas sekian banyak aksi perjuangan masyarakat Papua hingga menjerumuskan kaum aktivis muda, termasuk Buchtar Tabuni ke proses hokum.
Tom Beanal yang dihubungi semalam menjawab singkat, namun balik mempertanyakan status pihak yang meminta agar 3 tokoh di atas diproses.
Menurutnya, perjuangan Papua berdasar pada konstitusi Republik Indonesia yang mengatakan penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan, sehingga perjuangan untuk merdeka akan terus dikumandangkan hingga cita-cita ini terwujud. Ia tidak sepakat jika akhirnya perjuangan itu terhenti karena perdebaan pendapat dari orang Papua sendiri. Untuk itu, Tom Beanal meminta agar mahasiswa ini bercermin soal perjuangan yang sedang berjalan apakah akan tetap dijajah dan tertindas.
"Tugas mereka adalah belajar untuk membebaskan penindasan ini dan jangan sebut diri mahasiswa jika tidak bertanggung jawab dengan apa yang diperbuat," kata Tom sedikit keras.
Mantan Ketua Tim Seratus ini juga menjabarkan soal status ras orang Papua yang menurutnya orang Papua berasal dari ras negroit dan bukan ras melayu, karenanya tidak ada alasan bangsa Indonesia menganggap Papua bagian dri NKRI.
Mengenai proses hukum yang diinginkan, Tom Beanal balik bertanya mengapa saat dirinya meminta merdeka di Istana Negara kenapa tidak langsung ditangkap.
"Saya akan bertanggung jawab terhadap perjuangan yang sedang dilakukan. Cuma saya tidak tahu siapa di balik ini semua," jawab Tom ketika ditanya soal situasi kontra ini.
Tom menggaris bahwahi jika ada pihak yang ingin menghukum atau memprosesnya adalah orang yang tidak paham akan konstitusi itu sendiri.
Sementara Thaha Alhamid yang dihubungi menjawab datar. Ia melihat pandangan dari mahasiswa (anak muda) ini patut dihargai, karena sama artinya mahasiswa mengikuti perkembangan politik yang sedang terjadi. Hanya saja disayangkan jika aspirasi tersebut akhirnya ditunggangi.
Terlepas dari itu, Thaha melihat ada tren kurang positif menyangkut gerakan sosial yang sedang terjadi di Papua, dimana analisa pria berdarah Fakfak ini sedang terjadi ketegangan sosial dalam perjuangan orang Papua yang tidak lain sesama masyarakat Papua sendiri.
Thaha juga menjelaskan soal pengalaman dimasa lalu, dimana setiap pendelegasian membahas soal Papua di dunia Internasional sejak 2001-2003 Jakarta selalu mengirim delegasi Indonesia yang terdiri dari orang Papua."Biasanya Maikel Manufandu atau Manuel Kaisepo. Disana masalah Papua dibicarakan orang Papua yang mewakili Papua dan orang Papua yang mewakili Jakarta, sehingga Papua dengan Papua saling menggigit," pikirnya.
Lalu menyoal kondisi terakhir menyangkut penangkapan Buchtar Tabuni yang disusul demo meminta membebaskan aktivis tersebut, saat itu dikatakan kapolda tidak datang dan diwakili oleh Direskrim, Kombes Paulus Waterpauw dan AKBP Petrus Wayne.
Tak lama kemudian muncul pihak yang mengatasnamakan kerukunan Jayawijaya yang mendukung proses hukum Buchtar, begitu juga ketika dilakukan deklarasi 1 Desember akhirnya ditanggapi oleh orang Papua lagi yakni Ramses Ohee. Kesimpulannya adalah pemasalahan yang menyeret orang Papua selalu dicounter balik oleh orang Papua sendiri, sehingga timbullah ketegangan yang dialami orang Papua sendiri.
"Dalam pergerakan sosial orang Papua ini kedepannya orang Papua akan berhadapan dengan orang Papua sendiri dengan motif apa saja, termasuk birokrat," papar Thaha.
Disinggung mengenai satu pernyataan bersifat kontra pada demo 10 Desember lalu yang justru meminta agar ketiga tokoh, termasuk dirinya untuk diproses hukum, Thaha menjelaskan bahwa ia sendiri tidak mengetahui persis apakah dilakukan dengan kesadaran murni atau ada yang mendesain.
"Bagi saya pribadi ini bukan yang pertama dan sudah biasa. Namun perlu diingat masalah Papua tidak bisa diselesaikan degan pendekatan militeristik dan hukum saja. Tangkap tahan dan adili tidak akan menyelesaikan masalah," tegasnya.
Hanya menurutnya yang perlu dicermati adalah saat ini atau kedepan akan terjadi Papua akan berhadapan dengan Papua entah direkayasa atau tidak dan sadar atau tidak ini merupakan jebakan sosial yang besar, dimana orang Papua dalam kesadaran tertentu akan saling berhadapan.
Berangkat dari kondisi ini ditambahkan akan muncul pihak yang mengaku sebagai pejuang ataupun penghianat hanya tergantung penguasa. Thaha juga menekankan bahwa masalah Papua adalah masalah politik, pelanggaran HAM dan hak-hak dasar jadi tidak sepantasnya diselesaikan melalui pendekatan hukum maupun militer."Selama ini orang Papua berteriak untuk membuka dialog, jadi jangan membungkamkan proses demokrasi hanya dengan dalih makar atau alasan lain," singgungnya.
Ketika disinggung apakah dari perjuangan yang dilakukan selama ini akan menyeretnya pada proses hukum, dengan nada tawa Thaha menjelaskan bahwa Devide et Impera tidak hanya terjadi pada pemerintah, elite tapi juga pergerakan yang ada jadi soal ditangkap dan masuk penjara saat ini bukan sesuatu yang luar biasa."Penjara dan kursi kekuasaan perbedaannya sangat tipis dan saya sama sekali tidak mempermasalahkan sekalipun akan muncul proses tersebut," tutupnya.
Sementara dari pernyataan yang meminta 3 tokoh kemerdekaan Papua untuk diproses hukum ditanggapi seorang praktisi hukum, Paskalis Letsoin.
Menurut Paskalis pernyataan untuk meminta seseorang diproses melalui prosedur hukum adalah keinginan yang wajar dan bisa disampaikan oleh siapa saja. Hanya yang perlu diingat aparat kepolisian juga tidak bisa serta merta melakukan proses hukum terhadap seseorang karena sebelumnya harus melalui beberapa tahapan. Dikatakan, seseorang yang menyampaikan ide atau gagasan untuk merdeka bukan bentuk perlawanan terhadap negara selama masih berupa ide. Tetapi yang perlu dicermati adalah melihat akar permasalahan mengapa ide tersebut muncul.Nah di Papua sendiri, Paskalis yang juga sebagai Direktur LBH Papua ini melihat itu muncul karena ada ketidak adilan atau ketidakpuasan karena telah terjadi bentuk pelanggaran-pelanggaran termasuk pelanggaran HAM.
"Boleh saja ide tersebut muncul di era sekarang karena dilindungi oleh undang-undang," katanya.Akan tetapi lanjut pria berkulit gelap ini jika persoalan tersebut telah masuk ke ranah politik maka sebaiknya diselesaikan dengan jalan politik pula dan bukan melalui jalur hukum karena tetap akan tumbuh."Caranya adalah mencari pintu utama salah satunya dengan dialog," saran Paskalis.Menyangkut aksi demo oleh AMAK yang satu point diantaranya meminta agar Buchtar Tabuni dibebaskan, Paskalis menyimpulkan dua hal yakni bisa karena murni panggilan moral untuk meluruskan persoalan yang ada namun bisa juga ada pihak yang memilki kepentingan didalamnya."Saya tidak ingin menebak ada apa dibalik ini semua tetapi dua analisa bisa menjadi masukan," pungkas Paskalis.(ade)

10 Des 2008

Tangkap Tom Beanal, Forkorus dan Thaha

JAYAPURA- Hari Pelanggaran HAM se-dunia yang jatuh pada 12 Desember kemarin diperingati dengan menggelar aksi demo di depan Kantor Pos Abepura dan pameran foto-foto di Makam Theys di Sentani.
Menariknya, dalam aksi demo di Abpura yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (AMAK) Papua, meminta tiga tokoh Papua ditangkap untuk diproses hukum. Ketiga nama yang disebut-sebut adalah, Ketua Presidium Dewan papua (PDP), Tom Beanal, Forkorus Yaboisembut selaku Ketua Dewan Adat Papua dan Thaha Al Hamid selaku Sekjend Presidium Dewan Papua (PDP) karena dianggap sebagai aktor yang harus bertanggung jawab atas semua perjuangan kaum muda yang dilakukan oleh masyarakat adat Papua selama ini hingga harus menjalani proses hukum.
Dengan membawa bendera hitam , dua buah peti yang dibalut kain hitam juga poster Alm Theys Hiyo Eluay dan Arnold Ap, massa yang berjumlah sekitar 30 orang ini datang sekitar pukul 11.00 WIT dan langsung menggelar orasi.
Juru bicara AMAK, Zakarias Horota mengungkapkan, ketiga orang di atas adalah pemimpin rakyat, termasuk masyarakat adat. "Jika ada satu masyarakat adat yang dibantai atau dibunuh, mereka harus bertanggung jawab, karena mereka pemimpin lembaga representasi cultural orang asli Papua dalam bentuk lembaga adat," ungkap Zakarias yang wajahnya penuh dilumuri cat hitam ini.
Lebih khusus alasan soal mengapa Forkorus Cs harus ditangkap karena menurutnya menyangkut persoalan politik yang sedang dimainkan oleh lembaga tadi dan merekalah yang dianggap paling tepat untuk bertanggung jawab dan bukan pemuda maupun mahasiswa seperti Buchtar Tabuni, Jack Wanggai maupun beberapa rekan lainnya.
Dalam orasi ini juga disampaikan soal kondisi Papua yang semakin mencekam akibat situasi politik maupun pergeseran pasukan TNI hingga terkesan di Papua sedang terjadi konflik yang harus ditangani oleh TNI.
"Kami menyayangkan pergeseran pasukan TNI, jangan melakukan pendekatan militer tetapi bagaimana melakukan pendekatan yang lebih bermartabat agar semua persoalan HAM bisa diselesaikan baik-baik," pintanya.Mereka juga meminta pemerintah segera menyelesaikan seluruh bentuk pelanggaran HAM di Papua sejak Papua diintegrasikan ke NKRI para 1 Mei 1963 karena menurut Zakarias hingga 2008 masih saja terjadi pelanggaran HAM yang belum ada tindakan konskrit untuk menekan bahkan meniadakan bentuk kekerasan tersebut.
"Hingga saat ini tidak ada rumusan dari pemerintah untuk memberikan perhatian terkati banyaknya pelanggaran HAM, satu contoh yang terakhir adalah tertembaknya Opinus Tabuni," papar Zakarias membeberkan.Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua diakui berawal dari latar belakang status politik Papua Barat saat itu dalam hal ini perebutan wilayah oleh Belanda ke Papua Barat yang sangat sulit untuk diselesaikan karena integrasi Papua melalui perundingan termasuk New York Agreemen maupun perjanjian Roma pada September 1962 tidak melibatkan bangsa Papua Barat.Solusi yang tepat untuk keluar dari berbagai pelanggaran HAM saat ini adalah pemerintah termasuk MRP dan DPRP duduk bersama dengan masyarakat adat, mahasiswa maupun perempuan mencari solusi yang tepat."Salah satunya dengan referendum," katanya.
Disinggung soal bendera hitam dan dua buah peti, Zakarias menyampaikan bahwa bendera hitam menandakan bahwa hingga sekarang bentuk pelanggaran HAM masih terjadi sedangkan dua buah peti diperuntukkan mengenang pejuang muda Arnold Ap yang juga satu korban pelanggaran HAM sedangkan 1 peti lagi untuk mengenang perjuangan Alm Theys Eluay dimana saat itu sedang muncul reformasi memberikan ruang untuk masyarakat Papua namun akhirnya dikotori oleh kepentingan sepihak."Ini melambangkan matinya demokrasi di Indonesia pada saat reformasi dan tidak ada ruang untuk masyarakat menyampaikan apa yang sebenarnya diinginkan," tambahnya.
Di tengah orasi Koordinator Lapangan Neles Rumadas membacakan pernyataan sikap yang berisi soal kebebasan memilih pada tahun 1969 tidak sah, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri masih ada dan berlaku karena hak tersebut belum pernah digunakan, rakyat Papua Barat memiliki kesempatan untuk menggunakan satu orang satu suara dalam sebuah referendum, bebaskan Buchtar Tabuni serta Papua belum bisa disebuat zona damai, karena maraknya imigran dan penambahan pasukan militer.
Diakhir orasi massa berniat membakar dua peti mati tadi sebagai wujud matinya kebebasan demokrasi, hanya niat tersebut urung dilakukan karena dilarang oleh polisi. Setelah mengheningkan cipta, sekitar pukul 12.00 WIT massa akhirnya membubarkan diri secara teratur.
Forkorus: Mereka Keliru Besar
Sementara itu Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut, S.Pd ketika dihubungi semalam mengatakan, boleh-boleh saja menyampaikan pendapat mereka tetapi harusnya sebagai mahasiswa mereka berfikir rasional dan jangan asal bunyi, sebab apa yang dilakukannya itu dapat dipertanggung jawabkan baik secara iman, norma adat, etika moral, demokrasi dan HAM.
Karena hukum positif itu tidak bisa dijadikan sebagai pegangan apalagi mengata dkk menyatakan diri sebagai bangsa Papua, karena hal itu sudah dilihat dari standarisasi falsafah berfikir, sehingga Forkorus tidak bisa menjadikan hukum positif sebagai acuan karena menurutnya hukum positif sangat sarat dengan kepentingan otoritas.
Dan ini merupakan soal hak asasi manusia bukan soal tangkap menangkap, karena itu sudah tertera pada piagam PBB Pasal 15 ayat 1 dan 2 yang berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan diri sebagai suatu bangsa dan siapapun tidak mempunyai hak untuk menolaknya, sehingga para oknum mahasiswa tersebut harus bisa menjelaskan secara ilmiah mengapa sampai berniat untuk dirinya dan beberapa tokoh bangsa Papua harus ditangkap. Sebut Kata Forkorus, sekarang bukan waktunya lagi untuk main tangkap, karena jaman sudah berubah ke arah reformasi.
Forkorus menjelaskan bahwa orang kampung walaupun tidak sekolah, tapi mereka tahu siapa diri mereka, namun jika mahasiswa yang sampai berbicara seperti begitu membuat Forkorus sangat heran apa yang dia pelajari selama ini. "Orang Kampung saja bisa tahu siapa dirinya, saya heran apa yang mereka belajar selama ini?," ujar Forkorus.
Selain itu Forkorus mengatakan bahwa dirinya bersama beberapa pemimpin bangsa Papua lainnya adalah pemimpin yang dipilih rakyat lewat mekanisme internal demokrasi rakyat Papua atau MAP yang disepakati bersama, melalui pergumulan bersama selama ini. Forkorus menegaskan pula bahwa dirinya bersama rekan-rekannya tidak pernah menghasut siapapun, tetapi sebagai pemimpin memberikan penjelasan dan membenarkan apa yang benardan apa yang salah secara rasional dan ilmiah walaupun relatif sifatnya, karena yang absolut hanya ada pada Tuhan Sang Pencipta.
Namun satu hal yang membuat Forkorus heran adalah bahwa Juru bicara MPAKI Zakarias Horota dkk beberapa waktu lalu sering bertandang ke kediamannya untuk memberikan pikiran-pikiran terkait nasib bangsa Papua, namun kini pernyataannya kontra dengan apa yang selalu disampaikannya. Forkorus berharap mudah-mudahan Zakarias dkk tidak diadudomba oleh oknum-oknum tertentu.
Pada peringatan hari pelanggaran HAM se-dunia yang berlangsung Rabu (10/12) kemarin terlihat konsentrasi masa di lapangan Taman peringatan kemerdekaan dan pelanggaran hak asazi manusia (memori park Papua freedom and human rights abuses) Sentani.
Namun pada acara tersebut hanya dibuat sebuah stan darurat yang terbuat dari potongan-potongan bambu beratap tenda berukuran sekitar 7x2 meter. Dimana pada stan tersebut terpampang sejumlah foto-foto pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua sejak 1995 hingga 2001 dan juga potongan-potongan pemberitaan media cetak yang menjurus ke bentuk pelanggaran HAM baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari data kekerasan kemanusiaan di 5 Kabupaten di Papua yang berhasil dihimpun Cenderawasih Pos pada pameran foto pelanggaran HAM itu tercatat motif kekerasan yang disebabakan oleh politik sebanyak 39%, Ekonomi 30%, dan sosial budaya 21%.
Sementara untuk pelaku kekerasan, TNI 27%, Polisi 31%, kelompok sipil 15%, perusahaan 14%, lain-lain 7%. Untuk korban kekerasan kelompok sipil 84%, pemerintah sipil 1%, perusahaan 4%, TNI 2% serta Polri 9%. Sementara data kekerasan dari 5 Kabupaten tercatat Manokwari 17 kasus, Merauke 31 kasus, Jayawijaya 13 kasus, Kota/Kabupaten Jayapura 18 kasus, serta Biak Numfor 8 kasus. (ade/jim)

8 Des 2008

Tragedi Abe Berdarah Diperingati Dengan Orasi

AYAPURA-Puluhan massa yang tergabung dalam Solidaritas untuk Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Minggu (7/12) memperingati Kasus Abepura berdarah yang terjadi 7 Desember 2000,

Peringatan yang berlangsung di lingkaran Abepura yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 18.15 WIT, diisi dengan orasi serta penyalaan obar yang dilakukan oleh 8 orang. Dalam orasi yang dilakukan secara bergantian, pada intinya mereka menyayangkan belum adanya keadilan terhadap para korban tragedi 8 tahun yang lalu.

Sementara itu pnanggungjawab kegiatan Penehas lokbere dalam orasinya menyatakan, dalam dalam putusan sidang di Makassar (8-9) 2005, majelis hakim mengabaikan hal-hal subtansial dalam upaya penegakan keadilan dan tidak mengakomodir hak-hak korban untuk mendapatkan keadilan.

Dalam kesempatan itu massa yang tergabung dalam Solidaritas Untuk Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menyampaikan 4 poin pernyataan sikap yaitu pertama mendesak DPRP bersama Gubernur segera membuat Perdasus tentang hak reparasi dan perlindungan bagi korban pelanggaran HAM di Tanah Papua. Kedua segera membentuk pengadilan HAM di Papua.

Ketiga mendesak pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan penuntutan kepada perwakilan Komnas HAM di Papua dan Keempat mendesak DPRP dan MRP untuk mendorong sebuah evaluasi resmi atas kebijakan keamanan di Papua, menolak pasukan organik dan non organik serta rasionalisasi jumlah Aparat organic (TNI/Polri) di tanah Papua.

Setelah membacakan pernyatakan sikapnya, sekitar pukul 18.15 WIT, massa meninggalkan lingkaran Abepura. (cr-153).

Indonesia Jangan Menutup Ruang Demokrasi di Papua Barat.

Indonesia Jangan Menutup Ruang Demokrasi di Papua Barat.
By WPNews
Dec 9, 2008, 00:19

Email this article
Printer friendly page
Kepada Yth:
Drs Bagus Ekodanto,
Kepala Kepolisian Daerah Papua
Jl. Samratulangi
No 8 Jayaura

Indonesia Jangan Menutup Ruang Demokrasi di Papua Barat.
Dengan hormat,

Saya meminta kepada Bapak Kepala Kepolisian Daerah Papua untuk segera membebaskan tanpa syarat Buchtar Tabuni, aktifis hak-hak asasi manusia dan pemimpin mahasiswa Papua
Barat dari tahanan Kepolisian Daerah Provinsi Papua.

Bucthar Tabuni ditangkap dengan alasan bahwa dia menjadi pemimpin demonstrasi dalam rangka mendukung Peluncuran International Parliamentarians for West Papua tanggal 16
Oktober 2008 yang kami selenggarakan di Gedung Parlemen Inggris London pada tanggal 15 Oktober 2008. Kegiatan International Parliamentarians for West Papua adalah kegiatan resmi All Party Parliamentary Group on West Papua yang telah ada didalam parlemen Inggris sejak 2 tahun lalu.

Penangkapan Buchtar Tabuni dengan alasan MAKAR adalah tidak berdasar sama sekali dan tidak mengikuti prinsip-prinsip etika demokrasi .

Penanggung jawab peluncuran International Parliamentarians for West Papua adalah kami sendiri bersama-sama dengan seluruh anggota parlemen Inggris yang bergabung didalam All
party Parliamentary Group on West Papua yang berkedudukan di London dan bukan di Papua Barat. Buchtar dan seluruh rakyat Papua Barat yang turun demo dalam rangka mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP) adalah bagian dari demokrasi dan apa yang mereka lakukan adalah hanya sebatas expresi diri masyarakat Papua
Barat untuk mendukung Peluncuran IPWP di London.

Saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan aparat Kepolisian Daerah Papua yang telah memperlakukan Buchtar Tabuni sebagai seorang kriminal yang dianggap makar. Hal ini
sangat melukai hati bangsa Papua Barat yang cinta damai dan demokrasi.

Buchtar bukan pelaku makar dan kriminal. Dia adalah pembela bangsa Papua Barat yang tertindas dan penegak demokrasih di Tanah Papua Barat.

Oleh karena itu maka saya minta agar Bapak membebaskan Buchtar Tabuni segera tanpa
syarat.

Hormat Saya,

Benny Wenda
Pemimpin Papua Merdeka di Inggris

Tembusan Yth:

1.Bpk. Bambang Hendarso Danuri
KAPOLRI
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: +62 21 721 8012
Fax: +62 21 720 7277
Email: polri@polri.go.id

2.Drs Paulus Waterpauw, Kepala DIRESKRIM, POLDA PAPUA
Jl. Samratulangi
No. 8 Jayapura
Tel: + 62 967 531834

3.Bpk. Hendarman Supandji
JAKSA AGUNG
Kejaksaan Agung RI
Jl. Sultan Hasanuddin No. 1
Jakarta Selatan
INDONESIA
Tel: + 62 21 7221337, 7397602
Fax: + 62 21 7250213
Email: postmaster@kejaksaan.or.id

4.Bpk. Abdul Hakim Garuda Nusantara
KETUA KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Tel: +62 21 3925230
Fax: +62 21 3151042/3925227
E-mail: info@komnasham.or.id

5.Ms. Hina Jilani
Special Representative of the Secretary on the situation of human rights defenders
Room 1-040, OHCHR-UNOG
1211 Geneva 10
Switzerland
Fax: +41 22 906 8670
E-mail: urgent-actions@ohchr.org

Proses Hukum Buchtar Tabuni Dapat Dukungan

JAYAPURA-Proses hukum terhadap Buchtar Tabuni, Ketua IPWP yang disangka melakukan tindakan makar dan penghasutan oleh penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Papua, didukung oleh tokoh masyarakat, kepala-kepala suku Rukun Keluarga Jayawijaya di Jayapura dan Ketua Mahasiswa Jayawijaya di Jayapura.
Dukungan ini, disampaikan langsung kepada Direktur Reserse dan Kriminal Polda Papua, Kombes Pol Drs Paulus Waterpauw yang menemuinya di Gedung Ditreskrim Polda Papua, Sabtu (6/12) kemarin.
Mereka adalah Kepala Suku RKJ di Jayapura, Rayon Jayapura Utara, Bion Tabuni, Kepala Suku RKJ Jayapura Selatan, Bani Tabuni, Thomas Wenda Tokoh Masyarakat Jayawijaya, Alberth Tabuni aktivis mahasiswa dan Ketua Mahasiswa Jayawijaya di Jayapura, Sem Tabuni.
Usai bertemu dengan Direskrim Paulus Waterpauw, Ketua Mahasiswa Jayawijaya di Jayapura, Sem Tabuni mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya Polda Papua untuk melakukan proses hukum terhadap Buchtar Tabuni.
"Kami sangat mendukung proses hukum terhadap saudara kita, Buchtar Tabuni. Karena yang jelas apa yang disangkakan terhadapnya adalah menentang pemerintahan yang sah," kata Sem Tabuni kepada wartawan.
Menurutnya, apa yang disangkakan penyidik Ditreskrim Polda Papua terhadap Buchtar Tabuni sudah jelas masuk ke wilayah hukum, bukan politis. Untuk itu, pihaknya meminta agar hal tersebut, perkara pidana atau hukum, dibawa atau dipolitisir ke wilayah politik. "Ini selalu dipolitisir, karena yang jelas itu melawan hukum. Sebaiknya kita tunggu proses hukumnya berjalan, nanti terbukti bersalah atau tidak akan diketahui," ujarnya.
Sem Tabuni mengharapkan para mahasiswa asal pegunungan tengah Papua agar dapat melaksanakan studynya hingga selesai, apalagi harapan orang tua di tengah keterbatasan dana agar anaknya lulus menjadi sarjana. "Orang tua pasti akan kecewa, jika mendengar anaknya diproses hukum," ujarnya.
Sem Tabuni menyarankan agar mahasiswa lebih fokus untuk kuliah, bukan demonstrasi apalagi ada cara-cara yang bermartabat misalnya dengan dialog bersama intansi terkait seperti Kapolda Papua atau DPRP dan tidak perlu ada pengerahan massa. "Tak perlu kerahkan massa untuk demo minta Buchtar dibebaskan tanpa syarat, itu tidak masuk akal," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Suku RKJ Rayon Jayapura Utara, Bion Tabuni menambahkan pihaknya juga mendukung proses hukum terhadap Buchtar Tabuni tersebut. "Kami mendukung penegakan hukum terhadap Buchtar Tabuni, nanti akan diketahui ia salah atau tidak," ujarnya.
Menurutnya, jika yang bersangkutan tidak bersalah, tentu akan dibebaskan, sehingga ia meminta agar Buchtar Tabuni kooperatif dengan polisi, apalagi masyarakat juga ingin tahu proses hukum terhadapnya.
Sebagai orang tua, Bion Tabuni mengingatkan agar para mahasiswa asal Jayawijaya untuk fokus mengikuti pendidikan, bukan ikut-ikutan demo. "Itu kurang bagus, akan menghambat belajar, apalagi orang tua tentu ingin melihat anaknya lulus kuliah dan berhasil mendapatkan pekerjaan," imbuhnya. (bat)