WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

15 Nov 2009

Kayame: Dialog Boleh, Asal Dalam Koridor Otsus dan NKRI


 
Jumat, 13 November 2009 23:55

JAYAPURA-Keinginan dua Anggota Kongres Amerika Eni F.H Faleomavaega dan Donald M Payne yang mengajak Presiden SBY, untuk membentuk dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Papua dengan pemerintah yang dimediasi internasional, ditanggapi pihak DPRP Papua dengan sedikit hati-hati.

Salah seorang anggota DPRP yang juga Mantan Ketua Komisi A DPR Papua periode lalu, Yance Kayame,SH mengatakan, soal rencana dialog antara tokoh masyarakat Papua dengan Pemerintah yang dimediasi pihak ketiga, dalam hal ini parlemen Amerika Serikat, perlu dipelajari dulu apa esensi dari dialog itu sendiri.

Jika dialog itu ternyata berbicara di luar dari koridor undang-undang nonor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) dan di luar kontesk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka jelas tidak bisa dipenuhi. Kalau itu terjadi, maka sama halnya kita sudah diintervensi pihak ketiga atau asing, dalam hal ini anggota Kongres Amerika.

“Nanti kita lihat saja, karena dialog yang dibangun hendaknya dalam konteks Otsus,”jelas Kayame via telepon selurernya kepada Bintang Papua, tadi malam.

Perlunya Otsus itu didialogkan, sebab kata Yayame perjalanan Otsus Papua yang sudah berlangsung 8 tahun ini telah berada di luar rel. Bahkan masih

terjadi tarik menarik soal pelaksanaan Otsus Papua. Untuk itu perlu dibangun suatu dialog dalam koridor Otsus.

 Dikatakan, jika dialog antara Tokoh Masyarakat Papua dan pihak ketiga yakni pihak Internasional, bisa-bisa diresponi asalkan tahu dulu apa materi yang akan didialogkan. “Tournya, materi dialog apa dan yang terpenting tidak keluar dari rambu –rambu NKRI,”jelasnya.

  Ditambahkan, kita perlu dialog dengan pihak ketiga, namun yang urgen untuk diselesaikan saat ini dan perlu dibicarakan, adalah belum berfungsinya instrument –instrumen Otsus, dan hal ini harus diselesaikan sebelum dialog lebih jauh. Dan menurut Kayame, kewenangan yang salah saat ini adalah adanya intervensi pusat terhadap keberadaan Otsus bagi Papua.

 Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dua anggota Kongre AS kini menyurati Presiden SBY, surat tertanggal 7 November 2009 ini dipublikasi melalui internet dengan alamat website http://www.etan.org.

Surat yang dapat diunduh dari http://www.etan.org/etanpdf/2009/SBY%20letter%2011.07.09.pdf menyarankan agar Pemerintah Indonesia membentuk semacam dialog yang pernah dilakukan dengan Aceh.

“Kami percaya bahwa proses tersebut (yakni dialog) akan membangun langkah-langkah penting yang telah diambil Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, seperti halnya Indonesia ketika menyepakati Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. Sebagai salah satu negara penanda-tangan kesepakatan itu, Indonesia jelas menyatakan komitmennya untuk membangun perlindungan hukum bagi warga negara pribumi, termasuk Papua. Kami juga mengakui bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan upaya khusus di Papua, termasuk memberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001,” demikian paragraf awal dari isi surat setelah didului dengan paragraf yang mengucapkan selamat atas terpilihnya kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua kalinya.

“Dialog nasional yang diprakarsai dan dimediasi internasional dapat meningkatkan penegakan hukum yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Papua, sebagai misal, meningkatkan ketersediaan listrik dan air segar, meningkatkan program kesehatan masyarakat untuk mencegah malaria dan pengobatan penyakit lainnya, serta meningkatkan sistem pendidikan masyarakat setingkat dengan sistem-sistem pendidikan lainnya seperti yang ada disebagian besar tempat lain di Indonesia,” lanjut paragraf berikutnya dalam surat tersebut.

Sayangnya juru bicara Departemen Luar Negeri RI, Teuku Faisyaza saat dikonfirmasi Bintang Papua, mengatakan, belum mengetahui secara persis adanya surat tersebut. Karena itu ia berjanji jika sudah tahu suratnya akan menyampaikan ke Bintang Papua. (ven)

Status Papua Sudah Final, Mau Dialog Apa Lagi

JAYAPURA—Wacana dialog tokoh-tokoh Papua yang akan dimediasi dua anggota Kongres Amerika Serikat, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald M. Payne sebagaimana suratnya yang ditujuan kepada Presiden SBY, terus mendapat reaksi.

Jika sebelumnya Anggota DPR Papua Yance Kayame, SH lebih memilih hati-hati mengomentari niat anggota dua nggota Kongres Amerika tersebut, kini giliran, FKPPI yang lebih memilih menentang keras rencana tersebut.

”Tidak perlu ada dialog soal Papua oleh pemerintah yang dimediasi dunia internasional,” ujar ketua FKPPI. Yan L. Ayomi S.Sos, kepada wartawan disela-sela Musda FKPPI, semalam di hotel Yasmin Jayapura.

Menurut Ayomi, soal Papua manalagi yang mau dibicarakan, sebab masalah Papua sudah selesai pada saat Referendum 1962 lalu. “Kalau bicara soal status Papua, sudah jelas selesai saat Referendum, dimana orang Papua sendiri yang ingin bergabung dengan Republik Indonesia,” ungkap Ayomi.

Menurut Ayomi, jika dialog itu berbicara soal hak-hak masyarakat pribumi, pemerintah Indonesia sudah menjawab dalam pemberian Otonomi Khusus.

“Tak perlu lagi memperdebatkan soal status Papua. Kini saatnya kita bicara soal Otonomi Khusus yang dalam perjalanannya masih belum sempurna,” ungkap Ayomi.

“Kalau bicara soal Otsus agar masyarakat Papua bisa merasakan manfaatnya kami mendukung. Tapi bicara diluar dari pada itu, apalagi mengenai status Papua jelas kami tolak,” tambah Ayomi.

Justru, Ayomi mengakui negara-negara luar lebih mendorong agar Otsus berjalan dengan baik di Papua. Ayomi berharap, masyarakat untuk tidak terpengaruh dengan rencana tersebut, sebab secara dejure dan defackto Papua sudah menjadi bagian dari Negara kesatuan republic Indonesia (NKRI).

Untuk itu, Ayomi meminta pemerintah pusat untuk tidak menanggapi permintaan dua anggota Kongres Amerika Serikat itu. “Itu sama saja mengintervensi keutuhan Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI), apalagi status Papua sudah jelas” jelas Ayomi. (rza)