WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

23 Sep 2010

Gereja Australia mencari mediasi di Papua

smaller fontlarger fontprint this articleemail this article to a friend
Diterbitkan Tanggal: September 23, 2010
Oleh Ma. Sophia S. Lizares, Perth
Australian Church seeks mediation in Papua thumbnail
Rosemary Hudson Miller, Associate Sekretaris Jenderal di podium selama suara oleh delegasi dari KPKC dan Misi Internasional (Foto milik dari Gereja Uniting di Australia)
Gereja Uniting di Australia Barat akan memanggil Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd untuk mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengadakan dialog nasional dengan orang asli Papua.
"Sebuah dialog dimediasi oleh pihak ketiga yang independen dapat memastikan keadilan dan mengamankan masa depan Papua," kata Sinode Moderator Pendeta Ken Williams.
item Agenda termasuk marginalisasi Papua dan kekerasan terhadap mereka, militerisasi provinsi dan keinginan orang Papua 'untuk swa-regulasi.
"Orang-orang Papua merasa terisolasi dan rentan," kata John Barr, Direktur Associate UnitingWorld Asia. UnitingWorld bekerja dengan Gereja Kristen Injili di Papua (GKI-TP).
The GKI-TP mencatat bahwa setelah 10 tahun di bawah Undang-Undang Otonomi Khusus, penduduk asli Papua tetap terpinggirkan. Hukum disahkan oleh pemerintah Indonesia setelah sentimen separatis tumbuh.
Setelah banding ini, Presbyteri Bersama dan pertemuan Sinode melewati resolusi akhir pekan ini di Perth. Ini adalah tindakan pertama yang dibuat oleh sebuah gereja Australia sejak Papua menolak Undang-Undang Otonomi Khusus dalam sebuah demonstrasi besar-besaran Agustus lalu.
Undang-undang ini "gagal untuk memenuhi aspirasi orang Papua," kata Barr, mengutip pemimpin gereja. "Mereka ingin hidup dalam damai, tetapi mereka tidak memiliki kepemilikan tanah, kontrol ekonomi dan pendidikan yang layak."
Gereja Uniting telah bekerja sama dengan GKI-TP melalui berbagai proyek pengembangan. Mereka sepakat untuk terus bekerja bersama-sama pada advokasi hak asasi manusia, pembangunan perdamaian, bantuan darurat, pelayanan kesehatan dan pengembangan ekonomi.
Sementara itu, Papua menunjukkan hari ini di depan kedutaan AS dan konsulat Indonesia di Perth bertepatan dengan pendengaran kongres AS berjudul Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Ketika Will Be Militer Indonesia Dimiliki Akuntabel untuk yang disengaja dan sistematis Pelecehan di Papua Barat?
The GKI-TP wrote Presiden AS Barack Obama untuk "mendukung Dialog antara Papua dan Jakarta dan memastikan hak untuk kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik."
Pendeta Socratez Sofyan Yoman, Chairmain dari Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua menyatakan bahwa undang-undang Otonomi Khusus gagal. "Ini meningkatkan penderitaan orang asli Papua di tanah leluhur mereka," katanya.
Pada tahun 1969, Indonesia mengambil alih Papua Barat berdasarkan "Act of Free Choice," referendum dari 1.000 pemimpin Papua.
Sejak itu, Australia telah mengakui hak-hak Indonesia untuk melaksanakan kewenangan di Papua, di mana migrasi yang disponsori pemerintah menyebabkan penurunan populasi. Kebanyakan orang Papua tetap Kristen sedangkan sisanya dari negara ini mayoritas Muslim.
Sidang Umum Dewan Gereja Dunia dan Aliansi Gereja-gereja Reformasi Dunia mendesak semua anggota untuk "mendukung Papua dalam perjuangan mereka untuk keadilan dan perdamaian."
investasi Australia di Papua termasuk tambang raksasa Freeport, tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar. Lingkungan dan orang-orang Papua protes terhadap operasi Freeport.

22 Sep 2010

Insiden Manokwari Dikecam Anggota DPR-RI Asal Papua

Jakarta—Dua anggota DPR RI asal tanah Papua Diaz Gwijangge dan Michael Watimena mengecam insiden berdarah di Manokwari Rabu, 15/9 malam lalu yang menewaskan Naftali Kwan dan Septinus Kwan. Mereka juga mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas insiden tersebut. SOURCE
“Aparat kepolisian harus serius mengusut tuntas insiden berdarah itu dan mengganjar pelaku sesuai hukum yang berlaku. Manusia Papua bukan kelinci percobaan,” kata Diaz Gwijangge, anggota DPR Partai Demokrat asal Papua di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu, 22/9.
Hal senada ditegaskan anggota DPR asal Papua Barat, Michael Watimena. Anggota Komisi V DPR itu meminta aparat penegak hukum melakukan proses pe ngusutan secara tuntas bertujuan agar tidak menimbulkan ekses berkepanjangan.
“Saya juga meminta masyarakat agar menahan diri dan tidak terprovokasi dengan situasi yang ada,” ujar Michael Watimena di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu, 22/9.
Dua legislator itu pantas bersuara keras. Pasalnya, ujar Diaz, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap penduduk sipil yang berakibat kematian, bukan kali ini saja. “Dua korban tewas itu orang kecil, bukan penjahat,” lanjut Diaz, le gislator yang lama berkecimpung dalam dunia advokasi civil society, lingkungan hidup, dan HAM di Papua dan Papua Barat.
Menurut Diaz, Naftali adalah Gembala Sidang Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia (GPKAI) Cabang Manokwari di Distrik Kebar, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Sedangkan Septinus adalah petani miskin.
Tak hanya Naftali dan Septinus. Istri Naftali, Antomina Mandacan mengalami patah tulang paha kanan. Begitu juga Arfonika Kwan, istri Septinus. Arfonika ditemukan sekarat. Ia mengalami patah kaki, rahang, dan tulang pinggul.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warinussy melalui staf Divisi Informasi dan Dokumentasi Simon Banundi, mengemukakan, peluru maut itu berasal dari anggota Brimobda Polda Papua Kompi 3 Detasemen C Manokwari, Papua Barat, Rabu, (15/9) malam.
Insiden itu terjadi di Jalan Esau Sesa, Kelurahan Sowi, Distrik Manokwari Selatan, Papua Barat. Peristiwa berdarah itu bermula dari tabrakan di Jalan Esau Sesa sekitar pukul 18.30 WIT. Sebuah motor ojek melaju kencang dari arah Manokwari menuju Arfai, Manokwari Selatan.
Saat itu, motor ojek menabrak Antomina. Korban mengalami patah tulang paha kanan dan mengalami sakit di pinggul rusuk kanan. Tak terima, keluarga korban mengejar tukang ojek yang berlari ke arah Markas Komando Brimob, Kompi 3 Detasement C. Tak mendapati pelaku, keluarga korban memilih mengantarkan korban ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Manokwari untuk mendapatkan perawatan medis.
Menurut Simon, saat mendengar telah terjadi keributan dan ada warga yang mencari pengendara ojek, seorang anggota Brimob berlari datang. Saat itu ia tidak menenangkan massa, namun membuat keributan.
Massa yang tersulut emosi, melampiaskan kemarahan dengan menggunakan parang sehingga melukai seorang anggota Brimob. Setelah terluka, ia menghubungi teman-teman kesatuan di Makobrimob.
Tak lama berselang, sekitar pukul 20:00 WIT belasan anggota Brimobda Kompi 3 Detasemen C bersenjata lengkap datang. Mereka melepaskan tembakan sehingga membuat warga berhamburan. Sejumlah warga berlari ke arah hutan menghindari aparat.
Sekitar pukul 20:30 WIT, aliran lampu listrik di Kota Manokwari mati-hidup sekitar lima hingga enam kali sebelum akhirnya padam sekitar sepuluh hingga lima belas menit. Seorang pedagang di sekitar RSUD Manokwari mengatakan, saat listrik mati sebuah mobil masuk ke halaman RSUD Manokwari.
Mobil itu menurunkan sesuatu dan langsung dibawa ke UGD. Saat itu, seluruh jendela ditutup rapat. Hanya satu lampu sorot yang menyala di dalam ruangan. Selang beberapa saat tersiar kabar ada mayat di ruang mayat.
Sepanjang Rabu malam hingga Kamis (16/9) pagi tidak ada sanak keluarga yang datang menengok mayat. Baru sekitar pukul 09:00, keluarga tiba dan mengenali mayat yang tak lain adalah Naftali.
Sekitar pukul 09:30, warga kembali menemukan mayat Septinus di tepi jurang. Warga juga menemukan Afronika Ibu ini ditemukan dalam keadaan sekarat dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Ia menderita patah kaki, patah tulang rahang dan patah tulang pinggul. Korban diduga jatuh ke jurang setelah berlari mengindari aparat.
Geram dengan tindakan aparat, sekitar pukul 10:30 WIT, warga mengarak jenazah Septinus menuju kantor bupati. Di sana mereka menuntut pertanggung jawaban pelaku. Pertama, denda atau ganti rugi kepada keluarga sebesar Rp. 30 miliar. Kedua, aparat Brimob ditarik keluar dari Manokwari. Ketiga, tanah lokasi bangunan Makobrimob ditarik menjadi hak milik masyarakat adat.
Bupati Manokwari Dominggus Mandacan setuju insiden penembakan diproses secara hukum. Ketua DPRD Yosias Saroy berjanji mendesak penarikan Brimobda Kompi C dari Manokwari. Sedangkan Kapolres Manokwari Bambang Ricky berjanji memproses anggotanya yang terlibat.
Pada bagian lain, Diaz bersama sejumlah pihak menemui Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia di Jalan Latuharhary, Jakarta. Mereka meminta Komnas HAM membentuk tim investigasi kasus itu  agar mengungkap pelakuknya.
“Saya melihat, eskalasi kekerasan terhadap penduduk sipil di tanah Papua kerap terjadi dan banyak memakan korban warga masyarakat tak berdosa. Saya khawatir kekerasan demi kekerasan terhadap warga sipil terus terjadi dan rakyat menjadi korban jika insiden seperti Manokwari tak diselesaikan dengan tuntas,” tegas Diaz.
 (don/*)

The Status of Papua, Indonesia



Joe Yun
Deputy Assistant Secretary for East Asian and Pacific Affairs 
Statement Before the House Foreign Affairs Committee Subcommittee on Asia, the Pacific and the Global Environment
Washington, DC
September 22, 2010



Chairman Faleomavaega, Mr. Manzullo, and Members of the Subcommittee, thank you for inviting me to testify today on the situation in Papua.

U.S. Policy
SOURCE
Developments affecting Papua, which includes the Indonesian provinces of Papua and West Papua, are closely followed by the Department of State and represent an important aspect of our overall relations with Indonesia. The United States recognizes and respects the territorial integrity of Indonesia within its current borders and does not support or condone separatism in Papua, or in any other part of the country. At the same time, we strongly support respect for universal human rights within Indonesia, including the right of peaceful assembly, free expression of political views, and the fair and non-discriminatory treatment of ethnic Papuans within Indonesia.

Within this context, we have consistently encouraged the Indonesian government to work with the indigenous Papuan population to address their grievances, resolve conflicts peacefully, and support development and good governance in the Papuan provinces. The Administration believes the full implementation of the 2001 Special Autonomy Law for Papua, which emerged as part of Indonesia’s democratic transition, would help resolve long-standing grievances. We continue to encourage the Indonesian government to work with Papuan authorities to discuss ways to empower Papuans and further implement the Special Autonomy provisions, which grant greater authority to Papuans to administer their own affairs.

Human Rights

Advancing human rights is one of our primary foreign policy objectives not only in Indonesia, but also throughout the world. We believe that respect for human rights helps to strengthen democracy. We want to see the right of peaceful, free expression of political views and freedom of association observed throughout the world, including in Papua.

We monitor allegations of human rights violations in Papua and West Papua, and we report on them in the annual Country Report on Human Rights. With the growth of democracy over the past decade in Indonesia, there has been substantial improvement in respect for human rights, although there remain credible concerns about human rights violations. The improvement includes Papua, although, as our annual reporting has documented, there continues to be some credible allegations of abuse. We regularly engage the Government of Indonesia on the importance of respect for human rights by security forces, and we continue to emphasize our strong support for an open and transparent legal system to look into any claims of excessive use of force. We also urge them to increase accountability for past human rights abuses. We deplore violence committed by armed groups, including in Papua, against civilians and government security forces.

It is critical that independent and objective observers have unrestricted access to Papua in order to monitor developments. At present, Indonesian journalists, nongovernmental organizations (NGOs), and Indonesian citizens may travel freely to Papua and West Papua. However, the Indonesian government requires that foreign journalists, NGOs, diplomats, and parliamentarians obtain permission to visit Papua. We continue to encourage the Indonesian government to give these groups, including the International Committee of the Red Cross, full and unfettered access to Papua and West Papua.

Papuans are Indonesian citizens and are free to travel to other parts of Indonesia.

Demographic Shifts

Migration from other parts of Indonesia has increased the number of non-Papuan residents to about 40 percent of the current population in Papua and West Papua. The total population of both provinces is 2.4 million, of which 900,000 are migrants. Past government-sponsored transmigration programs, which moved households from more densely populated areas to less populated regions, account for part of the influx. The majority of the population shift has resulted from natural migration trends from Indonesia’s large population centers to Papua where there is relatively low population density. Some Papuans have voiced concerns that the migrants have interfered with their traditional ways of life, land usage, and economic opportunities.

Economic Development

Although the region is rich in natural resources, including gold, copper, natural gas, and timber, Papua lags behind other parts of Indonesia in some key development indicators. Poverty is widespread in Papua and Papua has the lowest level of adult literacy in Indonesia at 74 percent. The region also has a disproportionately high number of HIV/AIDS cases compared with the rest of Indonesia and high rates of infant and maternal mortality.

According to the World Bank, the two greatest challenges to economic development are Papua’s topography and climate—great distances between towns, steep mountains, swampy lowlands, fragile soils, and heavy seasonal rainfall—and its social structure—low population density and cultural fragmentation.

Special Autonomy

Indonesia’s parliament in 2001 granted Special Autonomy to Papua, which, along with Aceh, was one of the two areas in Indonesia that harbored high-profile separatist movements. This law devolved to provincial and local authorities all government functions outside of five national competencies; defense, foreign affairs, religious affairs, justice, and monetary/fiscal policy.

The Special Autonomy Law has not been fully implemented in Papua. Implementation has been delayed due to lack of implementing regulations. In addition, the provincial governments have lacked the capacity to take on certain key responsibilities and some central government ministries have yet to cede their authorities. Although full implementation of Special Autonomy has not yet been realized, Indonesian government officials point to increased funding to Papua, which has totaled Rp 27 trillion or approximately US$3 billion in the past nine years, higher per capita than any other area in Indonesia. The Special Autonomy Law created the Papuan People’s Council (MRP) to protect Papuan culture. Recently, the MRP rejected Special Autonomy, symbolically handing Special Autonomy back to Indonesian authorities. This action had no practical legal effect, but it did highlight the need for increased dialogue between Papua and Jakarta to resolve the region’s outstanding differences.

We continue to encourage the Indonesian government and the provincial governments of Papua and West Papua to fully implement the Special Autonomy Law. This would include the promulgation of implementing regulations for all provisions of the law, central government action to ensure that provincial or local laws take precedence in areas of delegated authority, and actions to increase the capacity for development and good governance. We believe that full implementation would help to address Papuans’ grievances against the central government. Dialogue between central authorities and the indigenous Papuan population could facilitate full implementation of Special Autonomy, and result in actions that would support development and boost good governance in Papua.

U.S. Assistance

The United States is working in partnership with the government of Indonesia and the provincial governments of Papua and West Papua to find ways to address the key developmental challenges of Papua, including increasing good governance, access to quality healthcare and education, and protecting the environment. The United States Agency for International Development (USAID) implements programs in Papua to foster improvements in these sectors with activities that total $ 11.6 million, or 7 percent of USAID’s budget for Indonesia for fiscal year 2010.

In addition to USAID programs, the Department of State also brings Papuans to the United States for thematic engagement on issues such as resource distribution. Our Fulbright programs have had over 22 grantees from Papua. We also partner with the private sector to leverage resources. For example, in a public-private partnership, the Fulbright-Freeport Scholarship Program has funded 18 individuals from Papua for study in the United States.

Embassy Jakarta maintains a vigorous schedule of engagement with Papua and West Papua. U.S. Mission officers routinely travel to the provinces. Ambassador Marciel, who arrived at post in mid-August, plans to travel to Papua soon after he presents his credentials to the Indonesian government. Officers maintain a wide base of contacts concerning Papua, including central and provincial government officials, human rights activists, military and police personnel, traditional and religious leaders, and NGO staff. In addition to official meetings, Embassy officers conduct regular public outreach in Papua and West Papua.

Conclusion

In closing, I would like to emphasize that Papua plays an important role in our sustained engagement with the Government of Indonesia. While Indonesia’s overall human rights situation has improved along with the country’s rapid democratic development, we are concerned by allegations of human rights violations in Papua and continuously monitor the situation there. We urge increased dialogue between the central government and Papuan leaders and the full implementation of the Special Autonomy Law. We will continue to provide assistance to build a strong economic and social foundation in Papua.

Thank you for giving me the opportunity to testify before you today. I am pleased to answer your questions.

Aksi Tuntut Kedaulatan Papua Barat

MANOKWARI -- Tanah Papua tak pernah "sepi".  Keinginan untuk lepas dari NKRI terus terjadi. Kali ini, ratusan massa West Papua Nation Autority (WPNA), Rabu (22/9) pagi hingga siang menggelar aksi unjuk rasa menuntut kedaulatan (kemerdekaan) bagi Papua Barat. Hanya saja, rencana mereka untuk menyampaikan aspirasi ke DPRD gagal terlaksana karena tak diizinkan aparat kepolisian. 

Lantaran tak mendapat izin itu, aksi hanya berupa orasi mimbar bebas serta ibadah di lapangan Penerangan di Jalan Percetakan Sanggeng. Massa terkonsentrasi pada dua lokasi, di gedung DAP (Dewan Adat Papua) di Jalan Pahlawan,Sanggeng dan di kompleks Amban. Massa di DAP mulai berkumpul sejak pukul 09.00 WIT,begitu juga di Amban,massa umumnya mahasiswa.   

Sebenarnya, polisi juga berupaya untuk mecegah aksi di jalan itu. Kepolisian melarang massa menggelar long march untuk menyampaikan aspirasi ke kantor DPRD Provinsi Papua Barat. Dipihak lain, penanggung jawab kegiatan, Terianus Yoku menjamin aksi ini berjalan damai, hanya penyampaikan aspirasi bahwa permasalahan Papua seperti pelanggaran HAM dan persoalan Pepera telah menjadi agenda sidang PBB. Sempat terjadi perdebatan antara polisi dengan korlap aksi.

Sekitar pukul 10.00 WIT,massa di antarannya Fedinanda Ibo dan tokoh-tokoh lainnya beranjak dari halaman kantor DAP. Namun baru berjalan sekitar 150 meter,Kapolres AKBP Bambang Ricky didampingi Wakolres serta puluhan anggota polisi mencoba menghadang massa. Sekitar 50 meter berjaga-jaga puluhan pasukan Dalmas (pengendali massa) serta mobil water cannon.

Polisi berupaya membubarkan massa. Lewat pengeras suara, massa sempat diingatkan agar tidak menggelar longmarch demi menjaga keamanan. Di tengah jalan, depan TMP (Taman Makam Pahlawan) sempat terjadi dialog antara Kapolres dengan penanggung jawab aksi Terianus Yoku dan Ny Ferdinanda Ibo.  Di hadapan massa,Kapolres menyatakan,aksi ini belum mengantongi izin.Sedangkan Terianus Yoku menuturkan,aksi ini sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan kedaulatan Papua yang sudah menjadi agenda PBB. Ia bertanggung jawab atas kegiatan dan menjamin aman.

Meski demikian, aksi unjuk rasa ini sempat mengganggu aktifitas di pasar Sanggeng dan pasar Wosi. Para pedagang memilih menutup kiosnya karena kuatir terjadi hal tak dikehendaki. Beberapa toko di juga ikut tutup. Termasuk juga,ada sekolah yang memulangkan siswanya lebih awal.

Negosiasi pun terjadi. Latas disepakati, aksi hanya dilakukan di lapangan Penerangan di Jalan Percetakan Sanggeng. Dengan catatan,hanya digelar ibadah dan mimbar bebas.  Namun, massa terus bertambah, lantaran ratusan massa di Amban hendak menggelar longmarch dan bergabung dengan massa yang sudah ada di Sanggeng. Namun,aksi longmarch kembali dihalau aparat kepolisian.

Kapolres kembali bernegosiasi dengan koordinator aksi. Sempat terjadi adu argumen. Hingga massa ini bersedia difasilitasi,menumpang pada 8 truck yang sudah disiapkan. Sepanjang perjalanan,massa meneriakkan pekik ‘’Papua Merdeka. Kapolres dan personel Dalmas ikut mengawal.  Akhirnya massa dari Amban berkumpul dengan massa lainnya di lapangan Penerangan di Jalan Percetakan Sanggeng sekitar pukul 12.00 WIT. Perkumpulnya dua massa ini makin menambah semangat,meski di bawah terik matahari.

Terianus Yoku,selaku penanggung jawab politik Papua Merdeka sekaligus Presiden National Konggres Otoritas Papua Merdeka dihadapan massa menyatakan,persoalan Papua telah masuk ke dalam agenda PBB. Pada sidang PPB, 22 September,dua perwakilan dari Papua ikut sehingga perlu mendapat dukungan dari segenap komponen rakyat Papua. ‘’Persoalan ini sedang di pantau dunia internasional.Rakyat Papua menuntut kemerdekaan dan kedaulatan,’’ tegasnya. Dalam orasinya Yoku menyinggung pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan. Yang terkini,tewasnya, Naftali Kwan pada insiden Manokwari berdarah,15 September lalu. Ia juga menyoroti Pepera yang dinilai cacat.

Kapolres,Bambang Ricky kepada wartawan menyatakan,selama aksi situasi kamtibmas dalam keadaan kondusif. Jajarannya menghalau massa untuk tidak menggelar longmarch guna menghindari kemungkinan tak diinginkan. ‘’Kita lakukan langkah-langkah persuasif,dan mereka setuju hanya menggelar orasi dan ibadah,’’ ujarnya.

Untuk mengamankan aksi ini,Polres menurunkan ratusan anggotanya,termasuk personel Dalmas dan mobil water cannon. Tak terlihat anggota Brimob. Mereka hanya bersiaga di Mako. (lm/sam/jpnn)