WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

28 Sep 2010

Komisi Keterbukaan Informasi Segera Dibentuk di daerah


SELASA, 28 SEPTEMBER 2010 | 13:13 WIB

Hayono Isman. TEMPO/Haryanto
TEMPO InteraktifJakarta - Wakil Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Demokrat, Hayono Isman berharap keterbukaan informasi dapat menjadi pengawal pluralisme dan mempertahankan penyatuan NKRI.  Karena itulah, komisi informasi harus segera dibentuk  di daerah.
"Khususnya Papua. Saya minta KIP buka special effort di Papua karena Papua ini berat dalam konteks NKRI, " katanya dalam diskusi Komisi Informasi Pusat yang bertajuk Transparansi, Antisipasi Sengketa Informasi, di Hotel Milenium, Jakarta Pusat, Selasa (28/9).  
Menurut dia, jika keterbukaan informasi di Papua bisa dioptimalkan, maka bisa membawa peningkatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Papua. "Bagaimana agar masyarakat Papua merasa bagian dari Indonesia. Maka itu perlu peranan khusus dari KIP," ujar Hayono.
Hayono berharap agar pembentukan  KIP jangan kemudian menjadi lembaga pemborosan negara dan tidak efektif.  KIP perlu segera membuat sistem pelayanan yang terbaik, yang bisa mengantisipasi berbagai persoalan. Dengan adanya KIP diharapkan juga dapat membantu pemberantasan korupsi di Indonesia. "Pembentukan KIP harus mampu menjadi motor pemberantasan korupsi di Indonesia.  Agar informasi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat," katanya.

27 Sep 2010

WAWANCARA : A.S. Prihatin atas Sikap Indonesia terhadap West Papua


Berita ABC, Updated September 27, 2010 17:33:15 (Terjemahan PMNews)
Keprihatinan mendalam disampaikan Amerika Serikat tentang perlakuan atas orang West Papua dalam kekuasaan Indonesia. SOURCE
Untuk pertama kalinya Kongress A.S. membuka sesi khusus mendengarkan isu-isu yang berpengaruh terhadap provinsi orang Melansia itu.
Para anggota perwakilan diberitahu tentang pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dan tuduhan bahwa Indonesia gagal memberikan Otsus kepada West Papua yang telah ia janjikan 9 tahun lalu.
Yang memimpin penyampaikan ini ialah Anggota Kongress dari Samoa Amerika, Eni Faleomavaega, yang juga adalah Ketua Sub Komisi Parlemen Urusan Asia-Pasifik dan Lingkungan Global.

Presenter: Helene Hofman
Pembicara: Eni Faleomavaega, American Samoa's Congressman
FALEOMAVAEGA: Setahu saya ini pertama kali Kongres A.S. menyelenggarakan sesi khusus untuk keseluruhan pertanyaan tentang West Papua, menyangkut segala hal, sejarahnya dan situasi sekarang, khususnya era penjajahan Belanda dan bagaimana diambil alih secara militer di bawah pemerintahan Sukarno dan Suharto.
HOFMAN: Jadi, A.S. punya dua keprihatinan utama, sebagaimana saya pahami, satunya mendesak untuk kemerdekaan dan lainnya pelanggaran HAM?
FALEOMAVAEGA: Tidak, isu kemerdekaan selalu menjadi bagian dari pemikiran sejumlah orang West Papua. Saya mengikuti isu ini sudah sepuluh tahun sekarang dan merasa bahwa mengigat tahun-tahun kami bekerjasama dengan Jakarta, khususnya saat Jakarta mengumumkan akan memberikan UU Otsus kepada orang West Papua sejak 2001 dan harapan bahwa orang West Papua akan diberikan otonomi yang lebih. Well, sembilan tahun kemudian, tidak ada kemajuan atau gerakan yang terjadi untuk memberikan otonomi yang lebih banyak itu kepada orang West Papua dan dalam hal ini kami sudah ikuti dalam beberapa tahun belakangan dan kami harap Jakarta cepat tanggap terhadap pertanyaan dan keprihatinan kami.
HOFMAN: Saya mengerti ada isu pelanggaran HAM juga. Saya tahu Anda juga sedang mengklasifikasikan apa yang terjadi di West Papua itu sebagai sebuah perbuatan "genosida" (ed-tindakan yang dimaksudkan untuk dan berakibat penghapusan etnik), yang mana tidak mendapatkan oposisi di Amerika Serikat?
FALEOMAVAEGA: Well, ini isu yang terus berlanjut. Sebelum Timor Leste diberikan kemerdekaan 200.000 orang disiksa dan dibantai. Militer Indonesia lakukan hal yang sama di West Papua, angka konservativ 1000.000 orang, yang dilakukan oleh militer Indonesia. Yang lain mengatakan 200.000 orang orang West Papua dibunuh dan disiksa, dibunuh tanpa belas kasihan oleh militer. Jadi, ya ada persoalan genosida di sana. Saya sangat, sangat prihatin bahwa isu ini terus berlanjut dan kami mau memastikan bahwa orang-orang di sana diperlakukan adil.
HOFMAN: Apa yang dapat dilakukan A.S. tentang ini? Sekarang ada penyampaian khusus tentang West Papua? Apa harapan Anda yang akan jadi sebagai hasil dari ini?
FALEOMAVAEGA: Well, sistem pemerintahan kami agar berbeda dari sistem parlementer dan dalam sistem kami cabang yang setara dengan pemerintahan dan kami bekerjasama. Kami semua tahu bahwa Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Baru-baru ini mulai muncul untuk menjadi demokratis dan kita semua mendukung itu. Tetapi pad waktu bersama ada legacy tentang apa yang ia telah lakukan kepada orang West Papua, pertama dalam kolonialisme Belanda, kini penjajah lain menjajah orang-orang ini yang tidak punya hubungan budaya, etnik, hubungan sejarah sama sekali dengan orang-orang Indonesia, atau bisa dikatakan orang-orang Jawa ini yang tinggal di tanah air Indonesia. Ini orang-orang Melanesia dan secara budaya ada keprihatinan yang sangat, amat bahwa orang-orang ini semakin lama semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan di dunia mereka sendiri, dan memang ada keprihatinan mendalam tentang apa yang Jakarta lakukan terhadap isu ini.
HOFMAN: Jadi apa pesisnya yang dapat dilakukan A.S.? Kenapa orang Indonesia harus dengarkan A.S.?
FALEOMAVAEGA: Indonesia tidak harus dengarkan A.S. Tetapi saya yakin negara-negara lain di dunia akan lihat, Hey, kami bisa katakan hal yang sama dengan apartheid, isu Afrika Selatan, apa yang terjadi dengan mereka. Kalau dunia tidak menekan Afrika Selatan untuk merubah apa yang dilakukannya, mereka tidak buat apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa terhadap kebijakan apartheid di sana, dan saya pikir cara yang sama kita berikan perhatian ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengikuti jalan-jalan yang telah dilalui orang Timor Leste.
HOFMAN: Jadi, apa langkah berikutnya setelah sesi ini?
FALEOMAVAEGA: Well, penyampaian terbuka ini bagian dari proses itu. Ini cara operasi sistem pemerintahan kami. Kami lakukan dengar pendapat, dan Pemilu November mendatang mungkin akan terjadi perubahan dan kami menjembatani saat kami melewati proses itu, dan bila saya terpilih kembali saya jani kepada Anda bahwa saya akan angkat isu itu terus, tidak hanya dengan Jakarta, tetapi juga di Kongres dan juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami perlu menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah yang dihadapi orang West Papua sekarang.

Provinsi Papua Selatan Masih Sulit Diwujudkan



Barnabas Suebu: Kabupaten Kabupaten  Baru yang Tak Efektif  Bakal Digabungkan Kembali

ACARA COFFEE MORNING-Gubernur Papua Barnabas Suebu SH  saat diwawancarai usai acara Coffee Morning  di Gedung Negara, Jayapura, Sabtu (26/9) pagi.JAYAPURA—Harapan sebagian besar warga akan lahirnya sebuah Provinsi baru di papua, yakni Provinsi Pa pua Selatan (PPS) sepertinya masih sulit terwujud.
Pasalnya,  pemerintah pusat belum memberikan sinyal dan masih tetap de ngan kebijakan moratorium.  Hal ini diungkapkan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH, saat  acara Coffee Morning bersama insan pers  di Gedung Negara, Jayapura, Sabtu (26/9) pagi.  Dikatakan,  meksi  Tim Pembentukan  PPS dari Merauke telah menemuinya, tapi pemekaran PPS masih bersifat  wacana.
Menurut dia, saat rapat koordinasi  bersama presiden, menteri menteri  serta gubernur di seluruh Indonesia ternyata  rencana  pemekaran  itu berlaku di seluruj Indonesia  bukan  hanya   Provinsi Papua. Tapi   justru Kabupaten - Kabupaten baru  yang dinilai kurang efektif  dan  menimbulkan pemborosan disarankan untuk digabungkan kembali.  Alasannya,   ternyata  pemekaran wilayah khususnya Kabupaten makin menguras APBD.  “ Dana ini  tak  efektif  untuk memenuhi  kebutuhan  rakyat karena sebagian besar dana dana tersebut terserap untuk belanja pegawai, pembangunan infrastruktur dan lain lain,” tuturnya.
Alhasil, lanjutnya,  rencana pemekaran  wilayah Kabupaten  yang dimotori  kalangan anggota DPR RI ternyata tanpa melakukan suatu kajian yang mendalam, tapi lebih terkesan dipaksakan. Hal ini lantaran anggota DPR RI membutuhkan uang, sedangkan pemimpin di daerah membutuhkan kekuasaan tanpa memperhitungkan aspek aspek pembangunan lain.  Karena itu, tambahnya, hal  ini penting untuk ditertibkan dan  membuat grand desain pemekaran yang juga membutuhkan suatu studi  dan pengkajian  untuk jangka waktu  perkembangan Papua  50 sampai 100 tahun mendatang. “Fakta yang terjadi adalah tokoh- tokoh di daerah,  khususnya  wilayah Kabupaten telah dimekarkan malah minta  dimekarkan kembali. Sedangkan wilayah Provinsi yang telah dimekarkan kembali diminta untuk dimekarkan kembali, padahal  jumlah penduduknya tak terlampau banyak,” tukasnya. “ Kalau kabupaten  ramai  maka kampung dilupakan. Kita  perkuat distrik saya kira itu lebih penting.”   
Gubernur Bas  menyebutkan, penduduk  di Provinsi Papua  sebanyak  2,8 juta jiwa. 10 tahun mendatang mencapai 5 juta jiwa. Rate kenaikan  5,5 %. Padahal  kenaikan tertinggi di dunia  hanya mencapai 2-3 %.   “Kota Jayapura 10 tahun lagi diperkirakan akan tenggelam. Kita harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat,” tukasnya.
Sebagaimana dilaporkan, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sangat mengharapkan agar pemerintah pusat segera menetapkan Undang Undang dan mensahkan  rencana pemekaran  Provinsi Papua Selatan (PPS) pisah  dari  induk semangnya Provinsi Papua.
Demikian disampaikan Anggota Komisi E DPRP sekaligus Anggota Fraksi  Partai Golkar DPRP Drs Masia Lay ketika dihubungi  Bintang Papua disela sela pembahasan Pengantar Nota  Keuangan dan Rancangan Perubahan Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah Provinsi Papua Tahun  Anggaran 2010 di ruang sidang paripurna DPRP, Jayapura, Rabu (22/9) semalam. Ia dihubungi terkait rencana  pembentukan PPS yang dilaporkan akan disahkan Oktober 2010 mendatang.
Karana itu,  tambahnya, pa ni tia PPS  di Merauke terus  berupaya agar rencana pembentukan PPS  sebagaimana  rekomendasi   Komisi  II DPR RI diharapkan proses penetapan UU pemekaran PPS cepat dilaksanakan dan  disahkan. Pasalnya, sudah banyak tim yang turun ke Merauke  bahkan tim dari DPR RI   telah mempresentasikan  dari  data data  yang dikumpulkan.  “Kami harapkan dan kami dorong supaya hal ini bisa segera dibuat atau disahkan UU pemekaran PPS di Jakarta,” katanya. 
Sebagaimana dilaporkan, setelah mendapat titik terang dari Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH  tentang pembentukan PPS maka  Tim Pemekaran PPS berencana  menemui MRP untuk menyampaikan materi  pemekaran  Kota Madya Merauke, Kabupaten Muyu Mandobo serta pemekaran PPS.  Presentasi  dengan pihak MRP merupakan saran dari Gubernur yang mengatakan perlunya  bertemu MRP sebagai wadah representasi masyarakat adat. 
Pemekaran PPS, menurutnya,  sangat dibutuhkan dengan sejumlah alasan. Pertama, Merauke adalah suatu wilayah yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea (PNG).  Sebagaimana disampaikan Presiden SBY bahwa rencana pemekaran Provinsi  yang berbatasan langsung dengan negara tetangga mesti diprioritaskan. Kedua,  dengan pembentukan PPS diharapkan pelayanan pemerintahan dan pembangunan  kemasyarakatan lebih didekatkan untuk memajukan masyarakat di wilayah selatan Papua.
Menurut dia,  sebagai anggota DPRP   dari Dapil III Provinsi Papua khusus Merauke dan Mappi pihaknya mendukung  penuh upaya upaya dari pemerintah daerah dan warga setempat  di Kabupaten Merauke  untuk mewujudkan pemekaran PPS) yang  telah dimulai dari beberapa tahun lalu yang dirintis mantan Bupati Merauke Drs Yohanes Gluba Gebze selaku roh dari perjuangan untuk mewujudkan PPS.
Bahkan, lanjutnya,  Fraksi Partai Golkar  DPRP pada laporan pendapat Fraksi dalam sidang paripurna APBD 2011 menyatakan  mendukung penuh  pemekaran PPS   di Provinsi Papua serta pemekaran Kabupaten/Kota termasuk pemerintahan Kota Merauke serta Kabupaten Muyu Madobo serta Kabupaten lain di PPS. 
 (mdc/cr-15)

Bersatu Melawan Intervensi Asing

PDFPrint
Tuesday, 28 September 2010
DALAMdua pekan ini ada dua berita dari Amerika Serikat (AS) yang membuat pikiran kita sebagai bangsa terganggu. Pertama, adanya dengar pendapat di Kongres AS yang berbuntut desakan pejabat senior negara itu dan anggota Kongres asal Samoa,AS,Eni Faleomavaega agar Pemerintah Indonesia meningkatkan status otonomi di Papua. SOURCE

Kedua, adanya surat terbuka dari gabungan organisasi East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan West Papua Advocacy Team (WPAT) yang diberitakan pers pada 15 September 2010 yang meminta Presiden AS Barack Obama untuk menolak penetapan Pemerintah Indonesia yang menunjuk Dino Patti Djalal sebagai calon Duta Besar Indonesia untuk AS.Kedua organisasi ini menyebut Dino sebagai orang yang terlibat dalam persoalan pelanggaran HAM di Timor Timur karena sebagai diplomat muda ia banyak membela kepentingan Pemerintah Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu tersentak membaca kedua berita tersebut. Ini menunjukkan betapa beberapa kalangan di AS masih terus berusaha untuk melakukan internasionalisasi masalah Papua dan Timor Timur (sekarang Timor Leste).

Kita tahu, masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua.z Kita juga tahu ada sebagian masyarakat di Papua,termasuk organisasi masyarakat adat, yang ingin mengembalikan otonomi khusus Papua yang telah diberlakukan sejak 2001 sesuai dengan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua.Kita juga tahu betapa kita di dalam negeri, termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sedang berusaha untuk menyatukan pandangan bagaimana agar dialog menuju jalan damai Papua dapat berjalan lantaran gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota juga masih menjadi isu yang hangat di tanah Papua.

Persoalan keamanan yang berbaur dengan politik di Papua masih menjadi berita yang sering muncul di Tanah Air. Kita harus sepakat bahwa kita harus bersatu padu melawan intervensi asing terkait Papua. Meski politisi dan pejabat senior AS menyatakan tidak mendukung separatisme Papua,kita patut bertanya, apa maksud dari kata “peningkatan otonomi” di Papua? Selama ini pemerintah memang belum mampu menyejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan, termasuk di Papua, dan itu masih menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkannya.Namun bila ada negara atau kelompok asing yang ingin melakukan internasionalisasi Papua dengan tujuan negatif, tentunya kita akan menentangnya dengan keras.

Semboyan lama “menangi hati dan pikiran rakyat dahulu, menangi diplomasi kemudian” tampaknya masih amat relevan. Ini berarti dalam menyelesaikan persoalan Papua menjadi amat penting bila kita benar-benar mendengarkan apa yang ada di pikiran anak-anak muda Papua sebagai penerus generasi mendatang tanpa mengabaikan pandangan generasi tua yang kini semakin tidak mendapatkan dukungan politik di tanah Papua.Persoalan Papua tidak cukup diselesaikan secara diplomasi karena persoalan utamanya ada di Tanah Air kita sendiri.

Selesaikan dulu masalah internal kita, baru kita bicara soal diplomasi.Penyelesaian menyeluruh dan beradab soal Aceh bisa menjadi contoh yang baik dalam menyelesaikan persoalan domestik kita. Peristiwa kedua yang juga amat menggelitik adalah adanya surat dari ETAN dan WPAT soal penetapan Dino sebagai Duta Besar RI untuk AS. Persoalan yang mirip dengan ini pernah terjadi ketika HBL Mantiri akan ditunjuk sebagai calon Duta Besar RI untuk Australia. Saat itu kalangan LSM dan aktivis politik di Australia menentang Mantiri karena dituduh terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Akhirnya Mantiri gagal menjadi Duta Besar RI untuk Australia. Dalam kasus Dino Patti Djalal, ia adalah seorang diplomat karier, bukan seorang militer.

Kalaupun Dino selalu membela atau mendukung kebijakan Pemerintah RI di era Orde Baru,itu adalah tugasnya sebagai diplomat yang mewakili negaranya. Mungkin saja dalam membuat pernyataan diplomatik ada kata-kata atau ucapan Dino yang amat keras, tapi bukan berarti bahwa ia terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur. Di tengah upaya Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia memperbaiki atau bahkan ingin meningkatkan hubungan bilateral, persoalan penetapan Dino Patti Djalal sebagai Duta Besar RI yang berkuasa penuh untuk AS menjadi amat penting.Dalam kaitan ini Pemerintah RI harus tegas untuk tetap pada pendiriannya mengirimkan Dino sebagai duta besar.

Pihak AS juga perlu menimbang penetapan Pemerintah Indonesia ini jika keinginan untuk meningkatkan hubungan baik ini benar-benar ingin dijalankan. Bukan mustahil Dino akan menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugas barunya nanti di Washington DC, termasuk dan tidak terbatas pada akan banyaknya kritikan ataupun demonstrasi dari kelompok ETAN dan WPAT terhadap dirinya.Kita tidak boleh takut pada berbagai kritik tersebut, melainkan harus melawannya dengan memberikan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi di Papua dan Timor Timur pada masa lalu.Kita tidak menafikan adanya pelanggaran HAM di Papua dulu dan kini.

Kita juga berharap agar aparat pertahanan dan keamanan kita semakin profesional dan bekerja dengan hati nurani yang bersih dalam menghadapi sesama anak-anak bangsa di tanah Papua. Kita juga tahu ada pelanggaran HAM di Timor Timur pada masa lalu dan hingga kini masih menjadi perbincangan positif antara kelompok LSM dan Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk menanganinya. Kepiawaian Dino dalam berdiplomasi tidak dapat diragukan lagi. Namun, suka atau tidak, Dino memang harus mengurangi gaya bicaranya yang kadang kala arogan dan emosional dalam berdebat atau mempertahankan pendiriannya.

Kita dapat saja kukuh pada pendirian kita tanpa harus ngotot atau arogan atau kasar terhadap lawan bicara. Terlepas dari kelemahan Dino tersebut,sebagai bangsa kita harus mendukung penetapan dirinya sebagai ambassador designated RI untuk AS. Kita tentu juga akan mendukung Dino apabila ada kendalakendala politik baginya ketika menjalankan tugasnya nanti.Sebagai sesama anak bangsa,kita boleh saja berdebat di dalam negeri mengenai suatu hal, tapi dalam berhadapan dengan negara lain, tak ada kata lain selain kita harus bersatu padu demi kejayaan bangsa.

Sejalan dengan itu,kita juga harus bersatu padu menentang intervensi asing dalam urusan dalam negeri Indonesia, tak terkecuali bila itu datangnya dari negara adidaya sebesar AS.Ini sejalan dengan Trisakti Bung Karno: kita harus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa dari sisi kebudayaan.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI 
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI 

Aktivis Papua Merdeka Minta Dukungan AS

Franzalbert Joku: AS Tetap Dukung Otsus Papua Dalam Bingkai NKRI

Pimpinan IGSSRAPRI (Franzalbert Joku dan Nicholas Messet) dengan Eni Faleomavaega, Washington DC, 22 September 2010Jayapura—Konggres dan Pemerintah Amerika Seri kat mendukung penuh status politik Tanah Papua sebagai daerah otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting The Special Autonomous Region of Papua Within The Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan wakilnya Nicholas S. Messet dalam releasenya yang diterima Bintang Papua Minggu (26/9).
‘’Hanya melalui Otsus masyarakat Papua akan dapat menemukan jati dirinya sebagai masyarakat mandiri dan sejahtera, sesuai program “political, economic and social empowerment” yang sedang diterapkan Pemerintah di Papua dan Papua Barat,’’ ungkapnya.
Dikatakan juga bahwa Amerika Serikat sangat tidak mendukung gerakan Papua merdeka dan telah bertekad untuk terus mempertahankan pengakuannya terhadap keutuhan wilayah NKRI. ‘’De ngan demikian Otsus merupakan satu-satunya jawaban bagi masyarakat asli Papua,’’ ungkapnya lagi menyimpulkan.  Hal itu dikatakannya setelah ia berdua bersama Sekelompok aktivis Papua merdeka, dibawah pimpinan Octavianus Mote, setelah menghadiri sidang Konggres Amerika Serikat di Washington (22/9) yang diundang sebagai saksi konggres Amerika Serikat yang membahas isu tentang masalah Papua yang baru pertama kali digelar tersebut.
Kehadiran aktivis Papua Merdeka di Kongres AS tersebut meminta dukungan Amerika untuk membantu referendum di Papua.
‘’Posisi inilah yang muncul setelah Congressional Hearing tentang Papua di ibu kota AS, Washington DC, hari Rabu tanggal 22 September 2010,’’ jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa Sub-committee untuk Asia-Pasifik, sebagai kepanjangan tangan dari Congressional Committee untuk urusan luar negeri sempat membahas peran TNI sehubungan sejarah pelanggaran HAM di Papua dan, bila perlu, bentuk sanksi bagi para pelaku ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’.
Sekedar diketahui bahwa Eni Faleomavaenga sebagai penggagas sidang tersebut sempat menyatakan keprihatiannya atas masalah Papua. ‘’Sementara Eni Faleomavaenga mengungkapkan keprihatinannya,  mengakui bahwa kondisi HAM di Papua sudah banyak membaik,  namun perlu terus dipantau agar pelanggaran HAM seperti yang banyak dialami di masa lalu tidak terulang,’’ lanjutnya.
Menurut Franzalbert Joku bahwa Eni Faleomavaenga dalam sidang kongres juga menegaskan bahwa sementara ada sekolompok orang Papua yang menuntut merdeka di luar NKRI, ternyata sebagian besar komunitas Papua memilih otonomi khusus dalam bingkai NKRI.
‘’Pemilihan para Gubernur, Walikota dan Bupati di Papua yang sangat demokratis membuktikan adanya dukungan tersebut,’’ ugkapnya mengulangi perkataan Eni Faleomavaenga dalam kesimpulannya mengakhiri hearing.
Masih dalam press releasenya, Wakil Ketua Umum Yayasan Igssarpri Nicholas Simione Messet dalam penyampaiannya di depan sidang kongres menegaskan, bilamana Otsus diterapkan secara serius dan konsekwen merupakan  jawaban yang tepat dalam membangun Papua di segala bidang ke depan.
Sementara itu, diungkapkan juga tentang kehadiran kelompok aktivis Papua merdeka, dibawah pimpinan Octavianus Mote yang juga diundang secara resmi dan memberikan testimony tentang Papua dalam hearing di Konggres AS. ‘’Mereka intinya memohon agar Amerika Serikat membantu referendum di Papua dan ikut merealisasikan kemerdekaannya di luar NKRI,’’ ungkapnya.
(aj)