WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

23 Nov 2008

Osama "Versus" Obama


Sabtu, 22 November 2008 | 07:03 WIB

Oleh Emmanuel Subangun

Dalam wawancara pertama di televisi setelah terpilih menjadi presiden ke-44 Amerika Serikat, Barack Obama langsung masuk dalam persoalan untuk mematahkan hubungan dengan rezim lama di Amerika. Tindakan simbolis yang akan dilakukan adalah menutup penjara Guantanamo, yang masih menyimpan sekitar 250 tahanan politik yang disebut kaum teroris dan tak pernah diajukan ke meja hijau.

Penjara itu penuh kontroversi dan Obama mengatakan bahwa penyiksaan bukan adat politik Amerika. Dengan menutup penjara itu, satu hal yang hendak disampaikan, yaitu Amerika Serikat memiliki standar moral yang berlaku sebagai layaknya bangsa yang beradab.

Pertanyaan yang segera menyergap kita adalah, apakah politik harus dikaitkan dengan moral?

Bangsa anomali

Sepanjang abad XX, bangsa Amerika selalu merasa diri sebagai bangsa yang istimewa. Bangsa ini menyusun negerinya dengan cara yang demokratis, menguasai teknologi yang paling maju, mengembangkan ekonomi yang paling produktif, dan menghasilkan kekuatan militer yang paling tangguh. Dan, di atas segalanya, bangsa Amerika-lah yang telah mengembangkan budaya massa yang paling berhasil, mulai dari Coca-Cola, musik, film, dan aneka macam produk konsumsi lainnya.

Sebagai kekuatan raksasa, Amerika Serikat menikmati puncak kejayaannya ketika Uni Soviet jatuh tahun 1991, dan pesta kegembiraan itu direkam dengan baik oleh Fukuyama dalam sebuah buku, The End of History. Maksudnya, di dunia ini hanya ada satu sistem politik yang ”benar”, yakni demokrasi liberal yang menjamin kelangsungan kapitalisme.

Bangsa anomali dalam arti tak ada duanya di dunia ini, sejak masa itu, terus-menerus membangun gambaran diri sebagai satu-satunya pusat semesta raya. Amerika menobatkan dirinya sebagai penjaga peradaban umat manusia. Dan, nyaris seperti sebuah keyakinan agama, penjaga peradaban umat manusia itu menjalankan apa yang di dalam agama lazimnya dianggap sebagai tindakan yang tak bermoral, yakni inkuisisi.

Inkuisisi artinya tindakan seorang yang ber-”agama” dan mulai menelisik siapa saja yang dia temui, apakah orang tersebut taat setia pada doktrin dan ajaran agama yang dianut oleh sang inkuistator itu.

Penjara Guantanamo adalah penjara sejenis itu, sejenis hukuman yang dijatuhkan oleh Paus di Roma pada abad XVII yang menghukum Galileo karena dia menemukan teleskop dan ”melihat” bahwa dunia bukanlah pusat semesta. Kali ini sejumlah orang dari Timur Tengah yang tidak melihat bahwa Amerika adalah pusat dunia. Mereka melihat bahwa Amerika adalah pusat kemerosotan moral.

Apakah dengan menutup penjara Guantanamo, Obama mampu menampilkan diri sebagai seorang presiden dari dunia modern dan bukan kepala negara yang merangkap pemimpin moral dunia alias menjadikan Amerika kurang theokratik?

Dunia bergerak

Di bawah George W Bush Jr, Amerika Serikat memang tak banyak beda dengan Arab Saudi atau Iran. Dan, campuran aneh antara fundamentalisme religius dan ingar-bingar kapitalisme finansial. Hal itulah yang lazim disebut dengan neo-kon atau neo-lib.

Maka, untuk memahami apakah memang Obama sedang melangkah ke depan dengan melakukan perubahan, hanya dalam hubungan dengan paradigma politik yang dianut bangsa Amerika Serikat selama ini, kita akan dapat menduga daya jangkau jenis apa yang akan dapat ditawarkan oleh presiden baru ini.

Dalam segi yang lebih keseharian, orang Amerika Serikat lazim dikenal sebagai orang jenis junky progress. Artinya, seseorang yang hanya kenal maju dan tak pernah kenal mundur, atau berpikir ulang atau reflektif. Sepanjang politik itu menjamin kemajuan, apa pun isi dan wataknya, tidak perlu dipersoalkan. Dan, ini disebut pragmatisme.

Karena itu, jika Obama memulai tugasnya sebagai kepala negara dan memulainya dengan sebuah pesan moral yang substantif—yakni menolak penyiksaan dan merampas kemerdekaan secara semena-mena—maka pertanyaannya, Obama versus Osama ini akan menuju ke arah mana?

Padamnya amerikanisme

Di dunia yang bergerak cepat, salah satunya yang paling menyesatkan para politikus adalah kenyataan bahwa realitas nation state sepenuhnya mulai usang. Globalisasi dan informasi menjadikan lenyapnya ”pusat”, juga dalam sistem dunia.

Sekarang sudah tak berlaku lagi pandangan bahwa ada dunia pusat dan pinggiran. Sektor pinggiran ada di Amerika Serikat, seperti juga ada sektor pusat di Indonesia. Negara—yakni nation state—semakin tergeser oleh masyarakat dan pasar dengan sektor-sektornya, dan kaitan antarsektor yang tersebar di seluruh dunia itu lalu membentuk sistem sendiri.

Dengan kata lain, amerikanisme yang selama ini dianggap sebagai obor dunia sudah padam. Apa pun yang dilakukan oleh kaum politik Amerika, mulai dari presiden sampai kaum lobiis, tidak akan mungkin menyalakan kembali obor yang dianggap pernah ada.

Mengaitkan politik dengan moral tak meringankan sedikit pun kesengsaraan yang menyebar di seluruh dunia yang disebabkan oleh pesta pora kapitalisme bangsa Amerika yang menimbulkan resesi di seluruh dunia sekarang ini.

Emmanuel Subangun Sosiolog