WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

11 Feb 2009

Oleh-Oleh dari Perjalanan ke Wamena

Kamarnya Sama Mahal dengan Hotel Bintang Lima di Jakarta
Perjalanan ke Papua belum lengkap kalau cuma sampai ke Jayapura. Karena provinsi ini menyimpan banyak sekali keindahan alam dan budaya asli yang tak ada duanya di muka bumi. Di antaranya adalah Wamena yang terletak di Lembah Baliem.
Inilah pengalaman wartawan Jawa Pos Nany Wijaya selama dua hari di sana.------------------- Berkunjung ke Papua adalah impian lama saya. Tetapi, entah mengapa selama ini saya tak pernah benar-benar berusaha untuk meraih impian yang satu itu. Karenanya, juga tak banyak pengetahuan saya tentang provinsi paling timur itu, kecuali bahwa di sana ada Asmat, Lembah Baliem, Puncak Jaya Wijaya, Freeport, dan puncak Cartenz yang dihiasi salju abadi. Tentang Lembah Baliem, yang saya tahu juga sangat sedikit. Saya hanya tahu bahwa kota utama di kaki Pegunungan Jayawijaya itu adalah Wamena. Suku terkenal yang masih hidup dengan budaya aslinya di sana adalah Suku Dani.Sekitar 25 tahun lalu, ketika Papua masih sangat tertutup untuk orang asing, seorang kepala Suku Dani bernama Obahorok menikah dengan seorang wanita peneliti, bule. Peristiwa itu menjadi berita hangat dan polemik panjang berbau politis di semua media. Bukan hanya karena usia pasangan itu berbeda jauh, tetapi juga karena budaya keduanya sangat berbeda. Si wanita berasal dari negara maju, sedangkan sang kepala suku, mengenakan baju pun belum.Berita itulah sebenarnya yang membuat saya lantas bercita-cita untuk ke Lembah Baliem, suatu saat.Sayangnya, ketika impian itu menjadi kenyataan, saya malah tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kota kecil itu. Saya tidak yakin, suku Dani di Wamena masih hidup dalam budaya aslinya. Wamena sudah lama mengenal kehidupan modern. Jangan lagi surat kabar, radio, dan televisi. Handphone dan internet pun sudah bukan hal asing di sana. Karena itu, saya hanya berencana tinggal di sana dua hari saja.Dengan ditemani Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group), harian terbesar di Papua, saya berangkat (dari Jayapura) ke Wamena dengan pesawat pertama yang terbang pada pukul 07.30 waktu setempat.
Ini karena penerbangan ke Wamena sangat bergantung pada cuaca. Cuaca Wamena, kabarnya, sangat sulit diprediksi, cepat berubah. Penerbangan pagi lebih aman daripada yang siang. Kami sudah bersiap di Bandara Sentani sejak pukul 06.00 atau pukul 04.00 Waktu Indonesia Barat. Meski ragu karena pagi itu Jayapura sedang hujan, saya tetap berharap, pesawat saya tidak terlambat. Supaya bisa melanjutkan tidur. Pukul 06.00 di Jayapura sama dengan pukul 04.00 di Surabaya. Padahal, saya masih terbiasa tidur tengah malam, waktu Indonesia Barat. Jadi, bisa dibayangkan ngantuk saya pagi itu.Sampai pukul 07.00, matahari belum terlihat.
Hujan semakin deras. Makin tipis harapan saya untuk bisa terbang tepat waktu. Dan benar, sampai pukul 08.00, belum ada tanda-tanda pesawat akan berangkat.Bagi orang seperti saya, yang belum pernah ke Wamena, waktu menunggu yang dua jam itu bukan sesuatu yang mengesalkan. Sebaliknya, memberi saya pengalaman baru dan kesan tentang indah dan uniknya Papua.Hal baru yang saya dapati di bandara pagi itu adalah jumlah penumpang yang sangat banyak, sehingga ruang tunggunya sepenuh terminal bus menjelang Lebaran. Bukan cuma itu. Pemeriksaan di Sentani tak seketat di Juanda atau Cengkareng. Di sana calon penumpang boleh membawa air minum, termos isi minuman panas dan karung-karung plastik atau kardus-kardus berukuran besar yang hanya diikat dengan tali rafia, seperti yang banyak kita lihat di terminal bus dan stasiun kereta api. Bahkan, para calon penumpang tak hanya membawa termos air dan panci yang agak besar, tetapi juga kasur lipat dan bantal. Mereka juga membawa telur ayam di wadah lebar yang terbuat dari bahan karton, serta beberapa ekor ikan asing kering yang dibiarkan "telanjang", tanpa bungkus.Anehnya, tak ada penumpang yang keberatan dengan semua itu. Termasuk tidak ada kru dan penumpang yang merasa aneh -kecuali saya, barangkali- melihat banyak yang bersandal jepit, memakai daster, dan berpakaian seperti layaknya tukang cat yang sedang bekerja. Melihat cara saya memperhatikan para calon penumpang dan bawaan mereka itu, Suyoto tersenyum. "Jangan heran. Di Wamena, semua kebutuhan harus diangkut dengan pesawat. Kecuali buah dan sayur karena di sana lebih banyak," jelas Suyoto. Pesawat memang satu-satunya alat transportasi untuk menjangkau Wamena.
Sampai sekarang belum ada jalan darat yang menghubungkan daerah tersebut dengan kota-kota lain di Papua. Penerbangan Wamena-Jayapura dan sebaliknya dilayani tiga maskapai penerbangan, masing-masing Trigana, Avia Star, dan Merpati. Semuanya menggunakan pesawat kecil, berbaling-baling.Jumlah penerbangan Wamena-Jayapura tidak bisa dipastikan. Sangat bergantung pada cuaca. Bisa dua tiga kali, kalau cuaca baik. Tetapi, bisa tidak terbang sama sekali kalau cuaca buruk. Padahal, cuaca di Wamena sangat sulit diprediksi. Perubahannya bisa sangat tiba-tiba. Karena itu, tak ada maskapai penerbangan yang berani melayani rute tersebut pada sore hari.Selain cuaca, yang juga sangat menentukan penerbangan di rute tersebut adalah jumlah penumpang dan kargonya.
Meski penumpangnya tidak banyak, jika kargo yang harus diangkut cukup banyak, pesawat tetap terbang. Ini karena pesawat-pesawat yang ke Wamena dan daerah-daerah kecil lain di Papua adalah pesawat kargo.Jadi, "Jangan heran kalau harga semen di Wamena Rp 1 juta per sak. Dan, harga beras yang paling tidak enak Rp 25.000 per kilogram," tambah Suyoto. Sampai pesawat hampir mendarat di Bandara Wamena, saya belum paham benar apa yang dijelaskan mantan kepala percetakan yang sudah belasan tahun tinggal di Papua itu. Saya baru benar-benar ngeh dengan penjelasan itu setelah turun dari pesawat. Kami turun belakangan, karena kami memilih duduk di deretan depan. Naik pesawat di sana -kecuali untuk rute keluar Papua- tanpa nomor duduk. Naik turunnya pun lewat pintu belakang karena pintu depan diperuntukkan barang. Namanya juga pesawat kargo.Saya bersyukur bisa turun belakangan. Sebab, dengan begitu saya bisa melihat barang apa saja yang dibawa pesawat yang saya tumpangi. Saya akan sebutkan, tapi tolong jangan terkejut: Ada panci berukuran besar, beberapa dos lantai keramik, sekarung bawang putih, beberapa sak semen, beberapa lembar seng untuk atap, dua buah kasur spons (bukan spring bed lho!), dan beberapa kursi lipat. Begitu keluar dari perut pesawat, barang-barang itu dijajar seenaknya di kaki pesawat. Persis di samping barang-barang itu, saya lihat ada sepeda motor parkir. Ketika saya tanyakan pemiliknya, ternyata itu kepunyaan petugas yang mengawasi penurunan kargo. Aneh juga ada sepeda motor boleh parkir di kaki pesawat.Berbeda dengan ketika tiba di Jayapura. Tak ada yang menjemput kami di Wamena. Karena itu, begitu keluar bandara, kami harus mencari sendiri kendaraan sewaan. Andai tidak datang dengan Suyoto, barangkali saya akan kesulitan mencarinya. Sebab, di situ tidak ada mobil angkutan umum yang bertanda khusus, yang memudahkan orang seperti saya membedakannya dari kendaraan pribadi. Lebih bingung lagi melihat mobil-mobilnya yang kebanyakan dari jenis mobil niaga dan four-wheels drive. Kebanyakan kondisinya masih sangat baru. Apalagi four wheels drive-nya. Baru dan dari merek terkenal. Untuk jenis sedan, di situ hanya satu dua saja. Itu pun kondisinya sudah jauh dari kata baru.Ini karena Wamena dan sekitarnya adalah daerah pegunungan dengan kondisi jalan yang tak semuanya beraspal. Sehingga, perjalanan lebih mudah dan nyaman jika ditempuh dengan kendaraan niaga atau four wheels drive alias double gardan.Uniknya mobil sewaan di Wamena: Kalau kondisinya bagus, kacanya pasti gelap. Kata sopir sewaan kami yang orang Toraja, "Mobil yang baik banyak disewa pejabat. Kalau berkunjung ke sini, mereka sering tidak mau terlihat. Karena itu, mereka lebih suka mobil yang kacanya agak gelap seperti ini." Meski letak Wamena agak terpencil, fasilitas untuk turis lumayan memadai. Selain mobil-mobil sewaan yang sangat mudah didapat -meski harganya bisa 2-3 kali lebih mahal daripada di Jawa, di sana juga banyak hotel. Tapi, tarifnya juga sangat mahal.Hotel Baliem Palimo yang saya tempati, misalnya. Itu hotel terbaik di Wamena. Letaknya hanya sekitar 10 menit dari airport. Bersih tapi sederhana. Fasilitasnya lebih menyerupai hotel kelas melati di Jawa. Tetapi, punya tiga jenis kamar: Standard, deluxe, dan suite. Saya pilih yang suite, satu-satunya, karena ranjangnya lebar dan sprei maupun bed cover-nya putih. Warna kesukaan saya. Sebagaimana umumnya suite room, yang ini pun dilengkapi ruang tamu yang bersofa bagus dan ruang makan pribadi. Meja makan dan meja tamunya juga dihiasi rangkaian bunga.
Tapi bukan bunga segar, melainkan plastik. Itu pun bukan dari jenis yang mahal. Kursi makannya dibungkus kain organza putih, yang diikat pita besar warna merah dari bahan yang sama.Sebagai tamu suite, saya juga dapat complimentary berupa buah-buah mahal, seperti anggur dan apel. Bedanya dengan di Jawa, buah-buah itu disuguhkan tanpa pisau buah. Sehingga, saya masih harus memintanya kepada petugas hotel.Mau tahu pengalaman saya ketika minta pisau untuk memotong buah? Mereka membawakan pisau daging yang besar dan lebar. Tentu saja saya dan Suyoto terkejut setengah mati. Tapi, gadis yang bertugas mengantar pisau itu tidak terlihat aneh dengan wajah terkejut kami. " Itu pisau untuk saya? Saya cuma butuh untuk memotong buah, bukan daging," kata saya sambil tersenyum."Ini juga bisa untuk buah. Kami cuma punya ini," jawabnya dengan tenang, tanpa rasa bersalah. Termasuk ketika melihat kami berdua tertawa terbahak-bahak menanggapi jawabannya itu.Kalau Anda sudah berani ke Wamena, jangan lagi berpikir harga. Jangan juga membandingkannya dengan harga-harga di Jawa. Bisa pingsan. Tidak ada barang murah di sana, kecuali sayur dan buah yang memang produk lokal. Ini karena semua barang itu, termasuk besi beton, seng untuk atap, lantai keramik, cat dan cat tembok, bahkan becak dibawa ke Wamena dengan pesawat. Sewa mobil dari bandara ke hotel yang hanya berjarak 10 menit, tarifnya sudah Rp 100 ribu. Kalau Anda menyewanya sehari -pagi hingga sore- harganya antara Rp 700-800 ribu. Seperti tarif taksi, rate hotel di situ juga sangat mahal.
Untuk suite room yang sangat sederhana, termasuk kamar mandi yang ditanami suplir, itu saya harus membayar Rp 1,2 juta. Hampir sama dengan rate kamar kelas superior hotel bintang lima di Jakarta. Bayangkan!Tapi itu harga yang wajar di sana. Jangan khawatir, sopir, pedagang, petugas hotel di sana tidak pernah 'merampok' turis dengan memberi harga yang tidak manusiawi. Jadi, Anda tak perlu mencurigai mereka. Yang harus Anda waspadai justru para pemabuk dan orang-orang yang tidak Anda kenal. Sebab, kata banyak orang, termasuk orang Wamena sendiri, di sana banyak pencopet dan perampok. (Besok Pengalaman Memotret di Pedalaman)
Untuk Orang Rp 5 Ribu, Mumi Rp 20 Ribu
Seperti kata banyak orang, kunjungan Anda ke Papua belum lengkap kalau belum ke Wamena. Saya sudah membuktikan, ini bukan sekadar ungkapan, tapi fakta. Sebab, ibu kota Lembah Baliem ini memang menyimpan banyak cerita dan gambar. Dan, inilah pengalaman wartawan Jawa Pos, NANY WIJAYA memotret di sana.---------Sejak puluhan tahun lalu, nama Lembah Baliem sudah terkenal. Bahkan, para ahli antropologi di Barat menyebutnya sebagai museum hidup. Sebab, sampai zaman sudah modern, suku yang hidup di kaki Pegunungan Jayawijaya itu masih mempertahankan budaya aslinya.
Sebelum 1970-an, pemerintah masih mengizinkan orang asing melakukan penelitian antropologi di daerah tersebut. Inilah sebabnya, mengapa Dani menjadi suku yang paling banyak disebut dalam buku-buku dan tesis-tesis antropologi.Tetapi, penelitian itu sempat dilarang selama beberapa dekade, setelah terjadi dua peristiwa menghebohkan. Yang pertama, karena hilangnya Michael Rockefeller, anak kesayangan orang terkaya di dunia David Rockefeller, ketika berkunjung ke Lembah Baliem. Kedua, setelah terjadinya pernikahan paling kontroversial antara Obahorok Doga, kepala suku Dani dengan Wyn Sargent, wartawan foto asal Amerika Serikat yang mengaku sebagai antropolog.Dari banyak suku yang hidup di Papua, nama Dani memang paling dikenal.
Bukan karena suku ini yang paling banyak diteliti, tetapi karena suku ini paling gemar berperang. Hal itulah yang kemudian menjadikan suku ini paling banyak diteliti antropolog. Karena itu pula, suku tersebut mendapat julukan the Headhunter. Si pemburu kepala.Gelar itulah, tampaknya, yang membuat Sargent datang ke Wamena dan kemudian menawarkan diri untuk menjadi istri Obahorok, yang ketika itu sudah punya 10 istri.
Tawaran Sargent itu tentu menjadi kejutan yang menggembirakan bagi Obahorok, istri-istrinya, dan seluruh warga Dani. Sebagai wujud kegembiraan mereka, digelarlah wam mawe (pesta pernikahan) besar-besaran selama 10 hari 10 malam. Lebih dari 60 babi disembelih dan dibakar dalam pesta itu.Sebagaimana pengantin suku Dani, Sargent pun kabarnya juga bertelanjang dada dan mengenakan yokal (rok pengantin perempuan). Sesudahnya, dia juga tidur sebagai suami istri.
Dan seusai pesta pun, Sargent pergi ke ladang sebagaimana istri-istri Obahorok yang lain.Sayangnya, pernikahan yang menghebohkan itu tak berlangsung lama. Dua bulan berselang, setelah merasa punya cukup koleksi foto dan wawancara, Sargent menghilang. Alasannya ketika itu, diusir polisi.Belakangan terungkap, Sargent menggunakan pernikahan itu sebagai alat untuk melengkapi penelitiannya. Sebab, pada 1974 dia merilis buku berjudul People of the Valley. Sejak itu Sargent tak pernah lagi bisa masuk Indonesia. Sejak itu pula orang tak pernah lagi mendengar tentang Obahorok.Itu sebabnya, ketika berkunjung ke Wamena, saya tidak berusaha mencari jejak Obahorok atau orang-orang yang pernah hadir di pernikahan paling kontroversial itu. Selain karena tidak yakin bahwa Obahorok masih hidup, juga karena saya cuma punya waktu dua hari.
Semula saya berpikir waktu dua hari terlalu banyak untuk berkunjung ke Wamena. Sekarang saya menyesal, karena seminggu pun bukan waktu yang cukup untuk mengeksplorasi Lembah Baliem dan suku Dani-nya. Sebab, sampai sekarang pun masih cukup banyak warga Dani yang hidup dengan tradisi aslinya: Telanjang, kaum pria berkoteka, hidup di rumah adat, dan menjalankan tradisi potong jari dan potong telinga.Orang-orang Dani yang masih hidup seperti itu bisa ditemui di Desa Kurulu, sekitar 45 menit dari Kota Wamena.
Jangan dibayangkan bahwa mereka tinggal di gunung-gunung, jauh dari kehidupan modern.Mereka tinggal di satu kampung yang hanya terdiri atas sekitar 10 hone (rumah adat yang terbuat dari ijuk). Kampung itu terletak di tepi jalan raya yang beraspal dan mudah dijangkau dengan mobil.
Meski masih hidup secara primitif, mereka tidak anti kepada orang lain yang sudah berpakaian. Bahkan, mereka senang kalau ada "orang asing" (baca: bukan orang Wamena) berkunjung ke kampungnya. Sebab, itu berarti penghasilan bagi mereka.Ketika berangkat ke Papua, seorang teman saya, fotografer, mengingatkan saya agar membawa uang seribuan (Rp 1.000) dalam jumlah banyak. Sebab, orang-orang asli itu akan meminta bayaran bila difoto. "Seribu satu kali jepret," kata teman tadi.Saya tidak membantah anjuran itu, mengingat ini kunjungan pertama saya ke Wamena. Menjelang berangkat, saya menyiapkan 100 lembar uang seribuan yang masih gres, baru. Tetapi, saya juga membawa cukup banyak uang Rp 5 ribuan, Rp 10 ribuan, dan Rp 20 ribuan. Siapa tahu saya butuhkan!
Dengan ditemani Bertho, sopir mobil sewaan, dan Suyoto, Dirut Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group di Papua), saya memasuki kampung itu. Di mulut kampung, saya sudah disambut seorang lelaki setengah baya yang wajahnya menyeramkan, mengenakan topi adat dan koteka. Saya tidak paham apa yang dia katakan, seperti juga dia tidak paham ucapan saya.
Komunikasi antara kami mulai terjalin ketika seorang wanita yang berpakaian lengkap, tanpa alas kaki, datang mendekat. "Mau lihat mumi ya?" sapanya.Bertho mengiyakan. Tanpa bertanya lagi, wanita itu -dengan diiringi lelaki berkoteka tadi- lantas mengantar kami ke sebuah gubuk di pojok kampung. Di situ ada tiga lelaki yang juga sudah berumur. Mereka juga telanjang, berkoteka, dan mengenakan ikat kepala tradisional.Melihat pemandangan yang langka itu, tangan saya bergerak mengangkat kamera. Eh... dengan cepat salah seorang dari ketiga lelaki itu bilang, "Lima ribu satu foto. Kalau mumi 20 ribu." Kok naik? Kata teman saya, hanya Rp 1.000."Tidak boleh lagi seribu. Itu dulu, sekarang kan harga barang-barang sudah naik semua," jawab salah seorang dari mereka. Wah, ternyata yang primitif cuma cara berpakaiannya. Soal uang, ternyata mereka tidak lagi primitif.Dari hone yang ada di pojok kampung, lelaki termuda dari tiga orang tadi mengeluarkan sesosok mumi lelaki yang dalam keadaan duduk. Kabarnya, mumi itu sudah berumur 350 tahun. Keadaannya sudah kering seperti kayu.
Setelah beberapa jepretan, mumi dikembalikan ke kotaknya yang ada di dalam hone. Saya ikuti masuk ke dalam rumah adat dari papan, beratap ijuk, berlantai jerami, dan sangat gelap itu. Bapak tadi tidak keberatan, bahkan mempersilakan saya memotret mumi dan "rumahnya" yang berbentuk lemari kayu yang menggantung.Yang mengejutkan saya, di "rumah" mumi itu tergolek satu kardus bekas kotak mi instan. Di sudut lain duduk seorang lelaki berumur sekitar 40-an dengan pakaian lengkap (celana panjang dan kaus berkerah) sambil mengisap rokok berfilter. Di samping lelaki itu terdapat secangkir kopi dan sebungkus rokok berfilter.Meski agak heran, saya tidak bertanya tentang hal itu. Setelah beberapa kali jepretan, saya merangkak keluar dari hone yang pintunya sangat pendek.
Di luar hone ternyata sudah berkumpul banyak orang. Ada yang sangat tua, ada yang setengah tua, ada yang masih muda, ada pula anak-anak. Ada lelaki, ada wanita. Semua lelakinya hanya mengenakan koteka. Yang tua membawa tongkat panjang menyerupai tombak. Kaum wanitanya bertelanjang dada. Bagian bawahnya bervariasi. Ada yang ditutup dengan rok, ada pula yang hanya mengenakan rumbai-rumbai dari akar pohon. Melihat saya mengarahkan kamera, serentak mereka bilang, "Bayar, bayar." Karena objek seperti mereka tak mudah didapat, saya pun mengangguk. Maka beberapa orang pun berjajar. Kaum lelakinya -yang tua sampai anak-anak-berkumpul dengan sesamanya. Yang perempuan juga begitu. Kemudian yang merasa satu keluarga, juga berpose dengan keluarganya. Setelah beberapa jepretan, tibalah saatnya membayar. Dan, inilah pengalaman paling unik bagi saya. Sebab, masing-masing tahu persis berapa kali saya menjepretnya. Kok tahu? " Cuma sekali kok motretnya. Yang lain itu tidak jadi," Suyoto yang mendampingi saya mencoba "berhemat." Mereka tidak percaya. "Dari bunyik kliknya kan bisa dihitung," jawab salah seorang dari mereka. "Klik itu tadi cuma untuk mencoba kamera. Kan harus difokuskan dulu. Jadi tidak ada fotonya," kilah Suyoto. He he.. Mereka tetap tidak percaya dan ngotot minta dibayar.Sekali lagi Suyoto berupaya menawar. "Lima ribu untuk semuanya, ya?" Wah, mereka langsung menjawab serempak, "Tidak bisa.""Makanya, lain kali, sebelum memotret, ibu harus nego harganya dulu," kata Bertho, yang asal Toraja. Hal yang sama diingatkan oleh Joko, koresponden harian Cendrawasih Pos di Wamena yang menemani kami pada hari kedua di kota itu.Ketika tiba saatnya membayar, lembaran Rp 5 ribuan kami tidak cukup. "Mau tidak dibayar dengan uang Rp 50 ribuan? Nanti dibagi sendiri untuk 10 orang," tanya Suyoto.
Mereka mengangguk. Tapi, saya heran, mengapa hal itu ditanyakan?Jawabannya saya dapatkan saat kami dalam perjalanan meninggalkan Desa Kurulu, tempat kampung Dani itu berada. "Orang-orang itu banyak yang tidak bisa menghitung. Tahunya, uang Rp 10 ribu berwarna merah. Yang Rp 5 ribu berwarna merah. Jadi, kalau Rp 5 ribu dibayar dengan lembaran seribuan, ya mereka tidak mengerti," jelas Bertho. (tulisan besok: pengalaman unik lain di Wamena)
Saudara Mati Potong Jari, Tabrak Babi Hitung Puting
Bukan hanya memotret suku Dani di Kurulu yang istimewa dan unik. Berkeliling Wamena dan desa-desa di sekitarnya juga merupakan pengalaman menarik yang tak terlupakan. Paling tidak, itulah yang dialami wartawan Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) Nany Wijaya pada hari keduanya di ibu kota Lembah Baliem itu.Kalau ada yang paling saya tunggu selama dua hari di Lembah Baliem, itu adalah matahari. Nikmatnya tinggal di kaki Pegunungan Jayawijaya ini adalah saat mentari mulai meninggi. Sebab, ketika itu cuaca menjadi hangat, tapi tidak terlalu panas. Sedangkan saat mentari tenggelam, apalagi tengah malam, hujan pula, dinginnya luar biasa.
Karena itu, tidur pun harus pakai kaus kaki dan tutup kepala. Mirip tidur di musim dingin.
Karena cuaca sedang bersahabat dan tak mau kehilangan momentum, saya yang hari itu ditemani Dirut Cendarawasih Pos, Suyoto dan korespondennya, Djoko Setyanto, serta sopir sewaan asal Toraja, Yavet, sudah meninggalkan hotel pada pukul 09.30 waktu setempat.Di hari kedua itu kami tidak punya sasaran khusus seperti pada hari pertama. Kami hanya berkeliling kota. Menikmati pemandangan di pusat Kota Wamena.
Memotret orang-orang yang berlalu lalang sambil menggendong anak di bahu atau yang membawa noken (tas rajutan khas Papua).Cara penduduk asli Papua membawa noken, menurut saya, sangat unik. Mereka tidak menggantungkan tali di bahu, melainkan di ubun-ubun. Padahal, noken itu bukan sekadar hiasan atau untuk menyimpan dompet, karena orang sana tidak biasa menyimpan uangnya di dompet, apalagi kemudian menaruhnya di noken.Tas rajutan yang warnanya khas-merah, putih, kuning, hijau, biru dan hitam- itu juga berfungsi untuk membawa barang dagangan. Mulai sayur, buah sampai beras, ikan dan barang-barang dagangan, serta kebutuhan hidup lainnya.Apa pun isi noken itu, tak terkecuali yang berat, cara membawanya selalu dengan dilingkarkan di kepala. Sehingga bisa dibayangkan, betapa kuat leher mereka.
Seorang dokter ahli tulang pernah mengatakan kepada saya, orang-orang yang suka membawa beban di kepala, lehernya pasti kuat dan tidak akan mengalami kekeroposan.Di Wamena, sepertinya kepala juga berfungsi sebagai bahu, untuk membawa beban.
Dengan demikian, kayu pun mereka bawa dengan cara menempatkannya di kepala. Padahal, kayu yang mereka bawa tidak sedikit, karena memang untuk dijual sebagai kayu bakar, bukan untuk dapur mereka sendiri.Cara orang Wamena berdagang juga unik. Barang dagangan mereka tidak selalu banyak. Terkadang hanya beberapa genggam. Padahal, untuk membawa barang-barang itu, mereka harus berjalan kaki berkilo-kilometer, tanpa alas kaki. Tetapi, ada juga yang membawa cukup banyak barang dagangan.Apakah yang membawa banyak barang dagangan itu berarti lebih modern atau lebih pintar, sama sekali tidak. Yang menentukan banyak sedikitnya barang dagangan yang mereka bawa ke pasar adalah berapa banyak yang bisa mereka petik atau mereka miliki.Cara menjualnya pun sangat khusus. Mereka tidak menggunakan meja-meja seperti yang kita lihat di pasar-pasar tradisional di Jawa. Pedagang di sana hanya meletakkan dagangan di tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh atau selonjor di sampingnya.Untuk melindungi kepala dari panas dan hujan, biasanya mereka memasang payung. Payung merupakan salah satu barang favorit. Semula heran juga saya melihat seseorang yang berkulit sangat gelap, berjalan sambil membawa payung yang terbuka. Padahal, kakinya tanpa alas. Lantas yang dipayungi apa?Bagi saya, pemandangan seperti itu tentu menarik untuk dipotret. Dan, saya tidak punya kesulitan untuk memotret mereka.
Tentu saja kalau saya membidiknya dari jauh, dan yang dibidik tidak menyadari. Tetapi, kalau tahu sedang dipotret, mereka pasti minta bayaran. Minimal Rp 5.000. Sedihnya, setiap melihat orang membawa kamera, mereka pasti berpose. Tentu dengan harapan bisa meminta bayaran.Kayaknya angka Rp 5.000 itu standar harga untuk sekali pemotretan. Jadi, ke mana pun saya memotret, pasti harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiap orang, sekali jepret.Mengapa saya tidak mencoba kabur saja? Toh saya membawa mobil sewaan. Ternyata ini bukan ide yang baik karena bisa ribut dan kita bisa mendapat masalah. Tak peduli Anda turis atau bukan. Wajah Anda mirip mereka atau tidak. Kalau memotret, ya harus bayar.Tradisi minta bayaran setiap kali dipotret itu ada di mana-mana. Jadi, tidak hanya di Kurulu, kampung tradisional Suku Dani. Sampai di desa-desa terpencil pun, mereka minta bayaran ketika dipotret. Terutama yang masih mengenakan koteka atau yang cara berpakaiannya masih sangat sederhana.Mereka yang sudah mengerti berdagang atau mengenal kehidupan modern, tak terlalu mempermasalahkan.
Sesekali saja mereka minta bayaran. Tetapi, kalau Anda membalasnya dengan senyuman dan ucapan terima kasih, pasti mereka tak lagi mempersoalkan itu.Nah, untuk mereka yang masih berkoteka, biasanya tak mau dibayar Rp 5.000. Mereka akan minta Rp 50.000 atau sedikitnya Rp 20.000. Masalahnya, orang-orang yang berkoteka itu berkeliaran di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Sehingga bisa dibayangkan indahnya foto kita kalau objeknya adalah pemakai koteka di antara kehidupan modern, yang ditandai dengan orang berpakaian seperti kita, mobil atau motor.
Tapi, becak dan sepeda juga bisa jadi pertanda kehidupan yang tidak lagi primitif lho!Anda pasti heran mendengar kata 'becak.' Ini beneran! Di Wamena, becak merupakan salah satu alat transportasi. Harga sebuah becak di sana bisa sampai Rp 2 juta karena barang itu didatangkan dari Jawa Timur, menggunakan pesawat. Karena itu, bentuk becak di sana mirip sekali dengan becak yang ada di Jawa Timur.Ongkos Rp 50.000 untuk satu foto bukan masalah, kalau Anda bisa mendapatkan objek yang sudah sangat langka: Orang berkoteka, atau bertelanjang dada dengan buku-buku jari yang putus. Atau yang daun telinganya terkoyak rapi.Mereka itu adalah orang-orang langka yang bakal segera musnah. Jari yang putus dan daun telinga yang robek adalah pertanda bahwa mereka pernah menjalani upacara adat yang kini makin sirna. Yakni, upacara potong jari atau merobek daun telinga, setiap kali saudara kandungnya meninggal dunia.Pemotongan buku-buku jari dan daun telinga itu dilakukan dengan menggunakan kapak batu. Jadi, bisa dibayangkan, berapa jari yang masih tersisa pada seseorang yang kehilangan enam saudara kandungnya. Satu saudara, satu buku jari. Jadi, kalau enam saudara, berarti kehilangan enam buku jari, alias tiga jari.Banyak sekali objek foto yang menarik di Wamena.
Dan itu tidak hanya orang. Babi pun bisa menjadi objek foto yang cantik di sana. Tapi, apa juga harus membayar, seperti kalau kita memotret manusia? Ini pengalaman saya. Ceritanya, menjelang pulang, saya mampir ke pasar terbesar di Wamena. Namanya Pasar Jibama.Selain memotret para pedagang bunga abadi dan buah merah, di pasar itu saya memotret para penjual babi. Ini karena babi di sana diperdagangkan dalam keadaan hidup, seperti orang di Jawa memperjualbelikan ayam kampung di pasar-pasar tradisional.Anehnya lagi, yang mereka namakan babi itu berbeda sekali dengan babi yang saya lihat selama ini. Babi di sana berbulu tebal dan sesekali bercula. Lebih menyerupai babi hutan (celeng). Tetapi, mereka menolak ketika saya sebut binatang itu sebagai babi hutan.Namun, saya juga tak yakin dengan ucapan saya. Sebab, setahu saya, babi hutan berwarna hitam. Di sana, babi hutannya ada yang berwarna merah muda seperti babi pada umumnya. Bahkan, ada juga yang berwarna cokelat seperti kijang. Aneh kan?Saya lantas memotretnya. Karena itu binatang, saya tidak siap mental untuk dimintai bayaran. Sehingga, betapa terkejut dan paniknya saya ketika seorang pedagang memaksa saya membeli babi kecilnya dengan harga Rp 1,25 juta hanya karena saya telanjur memotretnya.Karena nilai itu tinggi sekali dan tidak mungkin juga saya membelinya, saya pun kabur. Si pedagang meneriaki saya dengan suara agak tinggi, menggunakan bahasa daerah mereka, yang tentu saja tidak saya pahami. Untung ada Djoko, koresponden Cenderawasih Pos yang menemani saya. Keadaan pun bisa diredam meski si pedagang lantas melotot marah kepada saya.Babi memang binatang yang sangat berharga di Wamena. Bukan cuma dari nilai rupiahnya yang bisa Rp 4 juta sampai 5 juta per ekor, tetapi juga kegunaan dan nilai psikologisnya.
Kegunaan babi bukan cuma untuk dimakan. Babi juga untuk melindungi tubuh mereka dari serangan nyamuk Papua yang terkenal keganasannya. Caranya, dengan mengoleskan minyak babi ke sekujur tubuh mereka.Selain untuk menghalau nyamuk, minyak babi mereka gunakan untuk meminyaki rambut. Dan menghiasi wajah. Hiasan wajah mereka ada dua warna, putih dan hitam. Untuk warna hitam, mereka menggunakan minyak babi yang dicampur dengan jelaga. Warna putih, biasanya dari kapur.
Yang lebih istimewa, babi juga disusui. Tradisi itu masih ada di suku-suku yang hidup di pedalaman. Tapi, bukan dengan menggunakan botol susu lho! Mana ada?Jadi, kalau sedang punya bayi, mereka akan membagi air susunya. Payudara yang satu untuk menyusui sang anak, payudara lainnya buat si babi. Wanita yang suka menyusui bayi babi bisa dilihat dari bentuk putingnya.Karena itu, berhati-hatilah kalau mengemudikan mobil di sana. Kalau sampai menabrak mati babi, bisa dipastikan sopir itu akan miskin. Lebih celaka lagi kalau yang ditabrak adalah babi betina. Makin sengsara kalau babi itu sudah punya anak. Sebab, dia harus membayar ganti rugi Rp 8 juta untuk si babi. Ini harga mati, tak bisa ditawar. Polisi pun tak bisa membantu.
Kalau babi itu betina, harga tersebut masih harus ditambah dengan Rp 1 juta per puting susunya. Padahal, babi di Wamena bisa punya 10-20 puting susu, sesuai jumlah anak yang pernah dilahirkan. Kalau putingnya 20, ya berarti tambah Rp 20 juta.Kalau si babi dalam keadaan bunting, lebih parah lagi. Selain membayar tambahan berdasarkan jumlah putingnya, si sopir harus membayar lagi untuk janin di rahim si babi. Untuk menentukan ini, babi akan dibedah dan janinnya dihitung. Satu janin dihargai Rp 1 juta. Bayangkan kalau di perut itu ada 10 janin.Begitu berharganya babi di sana, begitu tingginya rasa sayang mereka terhadap binatang yang satu itu. Tetapi, mengapa mereka tega memanahnya hidup-hidup pada saat ada pesta atau festival budaya? Mungkin itulah uniknya budaya asli Papua. (besok: mengenal para penambang (emas) liar)