| Manufandu: Masalah Papua  Cukup Kompleks, Tak Cukup dengan Program Respek
 | 
JAYAPURA–Gubernur Provinsi Papua  Barnabas Suebu SH yang  notabene dipilih langsung oleh rakyat Papu adinilai tidak mampu menyuarakan  pelanggaran-pelanggaran HAM, serta sejumlah kasus kekerasan di  Papua.
Tudingan yang tidak mengenakkan pada gubernur ini, mencuat dalam  Diskusi Publik “Yap Thiam Hien Award 2009 yang diterima Pastor Yahanes Jonga  serta Prediksi penegakan Demokrasidan HAM 2010 di Tanah Papua, oleh Direktur  Foker LSM Septer Manufandu di Aula STFT, Rabu (13/1) kemarin.
Manufandu  mengatakan, sikap pemerintah Provinsi Papua di bawah pemerintahan Barnabas Suebu  selama empat tahun terakhir ini, belum mampu menginventarisir persoalan di Papua  yang terus meninggi dari waktu ke waktu, bahkan sikap tersebut berubah jadi  sikap bungkam alias  menutup mulut  dan mata.
Selain tidak mampu  menyelesaikan konflik Papua, Bas juga dituding ikut mempraktekkan  pendekatan-pendekatan secara Nasional yang dipakai presiden RI Susilo Bambang  Yodhoyono (SBY) dengan asumsi bahwa persoalan di seluruh Wilayah Indonesia hanya  dapat diselesaikan dengan pendekatan Kesejahteraan.
“Gubernur kita menilai  persoalan Papua ini hanya soal kesejahteraan, Program Respek dan sebagainya,  padahal masalah Papua ini sangat kompleks, Gubernur tidak boleh diam,”  jelasnya.
Dari catatan Bintang Papua, dalam empat tahun kepemimpinan Gubernur  Barnabas Suebu, hanya satu kali mengeluarkan  Statemen Sipilnya tentang  penembakan di areal PT. Freeport pada 2009 lalu yang ikut menewaskan dua Warga  Negara Asing.
Septer menambahkan, ketidakberdayaan Otoritas Sipil (Gubernur  Papua) ikut memperkuat pelanggaran HAM serta kasus-kasus kekerasan lainnya yang  justru berimplikasi pada jatuhnya korban jiwa di masyarakat sipil. Seharusnya  Gubernur bisa bilang “Eh ko stop bunuh saya punya rakyat,”
Ada cara-cara  bermartabat yang bisa dipakai Otoritas Sipil Papua untuk melindungi  masyarakatnya, tidak bisa terus berdiam diri, sementara masyarakatnya masih  dalam tekanan.
“Kelaparan di Yahukimo itu terjadi hampir setiap musim tahun  2005, 2009 tapi Bupatinya bilang laporan Gereja itu tidak betul dan hanya  rekayasa, kasus Emas Degewo Paniai peran HIV/AIDS sebagai transaksi jual beli  emas, dan banyak  lagi kasus,” ungkapnya
“Namun apa sikap otorita sipil kita,  mereka berdiam diri, seolah-olah Papua ini tidak ada masalah,”  sebutnya.
Sementara itu Ketua Sekolah tinggi Fajar Timur Pastor Neles  Tebay dan Direktur ALDP Latifa Anum Siregar menamakan tahun 2009 sebagai  tahun  penembakan dan tahun penuh kekerasan dan intimidasi.
 Pernyataan keduanya  ditegaskan saat Diskusi Publik “Yap Thiam Hien Award 2009 yang diterima Pastor  Yahanes Jonga serta Prediksi penegakan Demokrasidan HAM 2010 di Tanah Papua, di  aula STFT Padang Bulan, rabu (13/1) kemarin.
“Tahun 2009 sebagai tahun  penembakan, karena dari awal tahun tersebut sampai akhir tahun terus terjadi  penembakan yang dimulai dari bulan januari hingga desember 2009,” jelas  Pastor.
 Pastor secara jelas mengurutkan semua peristiwa itu yang dimulai  dari awal Januari 2009 Desember 2009 yang mana dimulai dari 9 Januari, 21  Januari, 14 Maret dan 15 April, dan Juni sampai desember ada 8 kali  penembakan.
“Minimal satu bulan sekali ada penembakan, penembakan itu selalu  dikaitkan dengan TPN/OPM itu berarti dikaitkan dengan separatis jadi pembnunuhan  itu selalu dipilih untuk menyelesaikan Konflik atau masalah,” jelasnya
“Saya  pikir ini yang kita harus perbaiki, keberadaan TPN/OPM atau separatisme itu  tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, jadi yu bunuh semua pimpinan OPM-pun  konflik Papua tidak akan selesai,” tegasnya.
 Sementara itu, Direktur ALDP  Latifa Anum Siregar juga mengungkapkan hal yang sama, jika Pastor Neles  menamakan tahun 2009 sebagai tahun penembakan, maka Anum yang menyebutkannya  sebagai tahun penuh intimidasi dan kekerasan.
 Betapa tidak, dari awal tahun  hingga akhir  tahun 2009 ALDP mencatat banyak sekali kasus kekerasan dan  intimidasi, penangkapa sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil Papua oleh  Kopolisian dan TNI yang terlalu banyak untuk dirunut secara baik dan  jelas.
“Saya sedikit kesulitan untuk menulis laporan, karena terlalu banyak  sekali kasus yang terjadi, mulai dari kasuka-kasus kecil, sampai pada kasus  besar, terlalu banyak,” sebut Anum yang mengaku agak ngeri jika merekam kembali  kasus di tahun 2009.
 Anum menambahkan, pendekatan militerisme dan kekerasan  masih terus dipraktekkan aparat keamanan di Papua dalam rangka penyelesaian  konflik, bahkan permainan isu-isu  untuk melemahkan komponen masyarakat sipil  belum juga  redah, sebut saja penggrebakan sekretaria DAP dengan tuduhan  menyimpan senjata api, padahal tidak tebukti.
 Tambah lagi, tuduhan,  penangkapan serta penahanan pada masyarakat sipil, yang setelah menjalani  pemeriksaan tidak dapat dibuktikan bahkan ada beberapa yang digiring sampai ke  Pengadilan tapi nyatanya juga bebas dari jerata hukum.
“Bagaimana  mengembalikan nama baik seseorang atau kelompok ini, tidak ada di Papua, Sebby  Sambom dituduh Makar yang kemudian di tahan, tapi kenyataannya dia dibebaskan  dari jeratan hukum itu, jadi tahun 2009 adalah tahun yang mengerikan bagi saya,”  jelasnya.
 Dengan catatan-catatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen,  baik Anum maupun Pastor keduanya berharap agar di tahun 2010 aparat keamanan  dapat seminimal mungkin atau menghentikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di  Papua.
“Kalau tahun 2009 sebagai tahun penembakan, maka tahun 2010 ini mari  kita duduk untuk bicara, mengapa kita harus membunuh karena alasan separatis,  tidakkan?,” ajaknya. (hen)