WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

20 Jul 2010

IPWP dan ILWP Akan Gugat PEPERA 1969



Ian KabesJAYAPURATanggal 2 Agustus 2009 lalu di London Inggris, seluruh anggota IPWP, ILWP dan jaringan pendukung  Papua Merdeka telah  berkumpul   membicarakan dan menyepakati agenda- agenda teknis ke PBB. Tanggal itu juga, terjadi aksi internasional di Negara- negara untuk menggugat PEPERA 1969, dan ILWP akan mempresentasikan  hasil PEPERA 1969 untuk selanjutnya dibawah ke pengadilan internasional.

Demikian Siaran Pers yang disampaikan Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Buchtar Tabuni kepada Bintang Papua, Senin (19/7)petang.
Dikatakan, KNPB  sebagai media nasional Papua Barat harus  mempersiapkan tahapan kerja dengan melakukan konsilidasi  dan mobilisasi massa  untuk menduduki pusat pusat kota dengan tuntutan. Pertama, PEPERA 1969 tak sah dan rakyat Papua harus mengembalikan. Kedua, segera lakukan referendum. Ketiga IPWP dan ILWP  dan Pemerintah Vanuatu segera menjadi fasilitator untuk menggugat status hukum dan politik Papua Barat di PBB. Keempat, KNPB siap mediasi rakyat Papua Barat menuju ke referendum.
Dikatakan, sejak awal KNPB  melalui jalur paling demokratis menuju kemerdekaan  Papua Barat melalui pintu referendum.  Pasalnya, referendum adalah keputusan resmi  Musyawarah Besar (Mubes).
“Keputusan itu tak datang secara tiba- tiba atau sebatas slogam kosong. Tapi  melalui suatu analisa tentang  pemetaan jalur perjuangan  yang harus ditempu agar impian Papua  merdeka yang bebas dari penjajahan Indonesia  itu dapat terwujud, dan tak hanya dalam angan angan,” tandasnya.
Referendum adalah tawaran solusi tengah antara rakyat Papua Barat kepada pemerintah Republik Indonesia karena  melalui  referendum rakyat Papua dapat menentukan hak politik mereka yaitu apakah ingin tetap dengan NKRI atau Merdeka sendiri sebagai sebuah negara.
Referendum adalah jalan  tengah untuk menyelesaikan konflik politik Papua Barat dan Indonesia. Mengapa demikian? Karena status wilayah Papua Barat dalam NKRI itu tak sah, karena dalam proses memasukan Papua kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga  tahun 1969 itu penuh dengan rekayasa dan sangat melanggar standar standard an prinsip prinsip  hukum dan HAM internasional.
Dikatakan, saat ini prose situ sedang digugat di internasional agar PBB dapat melihat kembali keabsahan status politik Papua Barat dalam NKRI.  IPWP dan ILWP dibentuk agar mendorong proses penyelesaian masalah Papua Barat ke PBB. Sejak pertama IPWP terbentuk, anggota IPWP dari berbagai negara  terus melakukan lobi lobi ke tingkat perlemen dan pemerintah negara masing masing.
Di Vanuatu Mr Moana Carcases MP telah mendorong proses itu bersama perlemen, oposisi dan Pemerintah Vanuatu telah membentuk sebuah motion (kesepakatan) untuk membawa persoalan Papua  secara resmi oleh Pemerintah Vanuatu PBB untuk menanyakan ke pengadilan internasional (International Court of Justice/ICJ) tentang keabsahan status politik Papua Barat. Hal yang sama akan didorong oleh pemerintah PNG dan Inggris.
Proses yang sedang didorong di internasional harus didukung oleh gerakan massa rakyat Papua Barat. Rakyat Papua Barat harus tetap solid  pada tuntutan  referendum.
Dunia mulai mengerti apa yang diinginkan oleh rakyat Papua Barat, Tapi Jakarta masih menutup diri dan membiarkan tuntutan rakyat Papua Barat tanpa mencari solusi. Sekalipun ribuan massa rakyat Papua Barat yang didukung oleh MRP menduduki Kantor DPRP selama dua hari (Tanggal 8 dan 9 Juli 2010), namun DPRP tak dapat berbuat apa apa. DPRP enggan memutuskan aspirasi rakyat Papua Barat.
Rakyat Papua Barat harus mengerti  bahwa Indonesia adalah penjajah yang tak mungkin membuka solusi referendum dalam penyelesaian Papua Barat. Hal itu akan terjadi bila didukung oleh kekuatan internasional dimana Indonesia sebagai anggota PBB harus menerima resolusi PBB dalam menyelesaikan masalah Papua Barat.
Dan oleh karena itu, rakyat Papua Barat harus mengawal proses yang sedang didorong di internasional. Rakyat Papua harus melakukan gerakan untuk tetap meyakinkan internasional yang  yang sedang mendorong ke PBB, Jakarta, Belanda dan Amerika Serikat adalah pihak pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di PBB.
Bagi orang Papua tanggal 2 Agustus 1969 adalah awal dilakukannya PEPERA 1969  yang penuh dengan kekerasan militer itu. Tanggal itu harus  menjadi  momentum  penolakan PEPERA bagi rakyat Papua, maka aksi nasional di Papua Barat tanggal 2 Agustus 2010 harus dilakukan diseluruh wilayah Papua Barat. (mdc)



Referendum Impossible

KNPB: Rakyat Papua Butuh Dialog Internasional Bukan Referendum

JAYAPURA—Aspirasi  referendum  sebagaimana  salah satu butir  dari 11 poin rekomendasi  hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP pada 9-10 Juni lalu, selanjutnya telah diserahkan kepada pimpinan DPRP pada 18 Juni lalu untuk dilakukan pembahasan. Hanya saja, keinginan atau aspirasi referendum itu adalah sesuatu  yang mustahil akan direalisasikan (baca: Impossible).
Pasalnya, pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) atau referendum  telah  dibahas PBB pada tanggal 12—19 Agustus 1969, serta  disahkan PBB  pada tanggal 19 Nopember 1969.  Dalam Pepera tersebut   terdapat 1.026 tokoh adat dari pelbagai suku  di seluruh Tanah Papua  telah menyatakan  Irian Barat  adalah bagian dari NKRI serta tak ada satu negara pun yang  mampu memisahkannya.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Barisan Merah Putih RI Tanah Papua Ramses Ohee kepada Bintang Papua di Jayapura, Sabtu (17/7) malam.  Ia ditanya makin gencarnya aspirasi referendum yang  disampaikan sejumlah elemen rakyat Papua.
Dikatakannya, hal ini member sinyal positif  bagi rakyat Papua untuk bersama membangun  Papua, termasuk membicarakan 11 kursi  DPRP dan 9 kursi  yang  menjadi hak  masyarakat asli Papua, masing masing DPR Papua Barat sesuai  keputusan Mahkamah Konsitusi (MK).
“Keputusan MK   adalah sah dan harus kita angkat jempol kepada NKRI  yang telah mengakomodir UU Otsus,” tukasnya.
Sebagaimana dilaporkan, saat ini jumlah kursi di DPRP sebanyak 56 kursi yang dihasilkan Pemilu 2009 lalu plus 11 kursi serta 45 kursi DPR Papua Barat  plus 9 kursi  yang diberikan kepada masyarakat asli Papua sesuai keputusan MK. Hanya saja kursi tambahan yang diperuntukkan bagi asli Papua belum juga direalisasikan, padahal sudah ada keputusan MK.
Menurutnya,  untuk merealisasikan keputusan MK ini, maka  terpulang  kepada putra putri  di Papua yang  kini  memegang  tumpuk pimpinan untuk secara arif dan bijaksana mengamankan keputsan MK.
“Siapapun dia Gubernur, DPRP,  MRP  belum  memenuhi  harapan rakyat.  Kesejahteraan belum  terjawab di Tanah Papua.  Kami masih kesal cari- cari beberapa pihak untuk menuntun Papua mencari hari depan yang  lebih baik,” tandasnya.
Berkaitan dengan aspirasi  referendum, Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni  saat aksi unjukrasa di Gedung DPRP, Jayapura, Jumat (9/7) menegaskan,  aspirasi dan tuntutan  rakyat Papua  bukan  hanya menyangkut  kegagalan Otsus, tapi juga  menuntut  harkat dan martabat   bangsa Papua Barat yang selama ini dijajah.
Menurutnya, tuntutan referendum  adalah hal yang keliru.  Pasalnya, untuk menyelesaikan masalah  Papua  mesti dilakukan dialog internasional dengan melibatkan negara lain. “Kami minta dukungan seluruh  rakyat untuk pelaksanaan dialog internasional bagi  pembebasan nasional bangsa Papua Barat,” tuturnya.(mdc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar