WELCOME TO WEB FGPBP

Mungkin anda berfikir, akulah manusia yang paling tidak beruntung dan bodoh, karena kecintaan ku terhadap negeri ku lebih besar dari yang kau dapat dari ku...tapi satu hal yang kau tahu, bahwa aku berjalan bersama suatu kebenaran yang dunia telah menolaknya...sebab yang ku tahu...kebenar itu akan memerdekakan aku.

13 Jan 2010

Gubernur Jangan Diam!


Manufandu: Masalah Papua Cukup Kompleks, Tak Cukup dengan Program Respek
JAYAPURA–Gubernur Provinsi Papua  Barnabas Suebu SH yang notabene dipilih langsung oleh rakyat Papu adinilai tidak mampu menyuarakan pelanggaran-pelanggaran HAM, serta sejumlah kasus kekerasan di Papua.
Tudingan yang tidak mengenakkan pada gubernur ini, mencuat dalam Diskusi Publik “Yap Thiam Hien Award 2009 yang diterima Pastor Yahanes Jonga serta Prediksi penegakan Demokrasidan HAM 2010 di Tanah Papua, oleh Direktur Foker LSM Septer Manufandu di Aula STFT, Rabu (13/1) kemarin.
Manufandu mengatakan, sikap pemerintah Provinsi Papua di bawah pemerintahan Barnabas Suebu selama empat tahun terakhir ini, belum mampu menginventarisir persoalan di Papua yang terus meninggi dari waktu ke waktu, bahkan sikap tersebut berubah jadi sikap bungkam alias  menutup mulut  dan mata.
Selain tidak mampu menyelesaikan konflik Papua, Bas juga dituding ikut mempraktekkan pendekatan-pendekatan secara Nasional yang dipakai presiden RI Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dengan asumsi bahwa persoalan di seluruh Wilayah Indonesia hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan Kesejahteraan.
“Gubernur kita menilai persoalan Papua ini hanya soal kesejahteraan, Program Respek dan sebagainya, padahal masalah Papua ini sangat kompleks, Gubernur tidak boleh diam,” jelasnya.
Dari catatan Bintang Papua, dalam empat tahun kepemimpinan Gubernur Barnabas Suebu, hanya satu kali mengeluarkan  Statemen Sipilnya tentang penembakan di areal PT. Freeport pada 2009 lalu yang ikut menewaskan dua Warga Negara Asing.
Septer menambahkan, ketidakberdayaan Otoritas Sipil (Gubernur Papua) ikut memperkuat pelanggaran HAM serta kasus-kasus kekerasan lainnya yang justru berimplikasi pada jatuhnya korban jiwa di masyarakat sipil. Seharusnya Gubernur bisa bilang “Eh ko stop bunuh saya punya rakyat,”
Ada cara-cara bermartabat yang bisa dipakai Otoritas Sipil Papua untuk melindungi masyarakatnya, tidak bisa terus berdiam diri, sementara masyarakatnya masih dalam tekanan.
“Kelaparan di Yahukimo itu terjadi hampir setiap musim tahun 2005, 2009 tapi Bupatinya bilang laporan Gereja itu tidak betul dan hanya rekayasa, kasus Emas Degewo Paniai peran HIV/AIDS sebagai transaksi jual beli emas, dan banyak  lagi kasus,” ungkapnya
“Namun apa sikap otorita sipil kita, mereka berdiam diri, seolah-olah Papua ini tidak ada masalah,” sebutnya.


Sementara itu Ketua Sekolah tinggi Fajar Timur Pastor Neles Tebay dan Direktur ALDP Latifa Anum Siregar menamakan tahun 2009 sebagai  tahun penembakan dan tahun penuh kekerasan dan intimidasi.
 Pernyataan keduanya ditegaskan saat Diskusi Publik “Yap Thiam Hien Award 2009 yang diterima Pastor Yahanes Jonga serta Prediksi penegakan Demokrasidan HAM 2010 di Tanah Papua, di aula STFT Padang Bulan, rabu (13/1) kemarin.
“Tahun 2009 sebagai tahun penembakan, karena dari awal tahun tersebut sampai akhir tahun terus terjadi penembakan yang dimulai dari bulan januari hingga desember 2009,” jelas Pastor.
 Pastor secara jelas mengurutkan semua peristiwa itu yang dimulai dari awal Januari 2009 Desember 2009 yang mana dimulai dari 9 Januari, 21 Januari, 14 Maret dan 15 April, dan Juni sampai desember ada 8 kali penembakan.
“Minimal satu bulan sekali ada penembakan, penembakan itu selalu dikaitkan dengan TPN/OPM itu berarti dikaitkan dengan separatis jadi pembnunuhan itu selalu dipilih untuk menyelesaikan Konflik atau masalah,” jelasnya
“Saya pikir ini yang kita harus perbaiki, keberadaan TPN/OPM atau separatisme itu tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan, jadi yu bunuh semua pimpinan OPM-pun konflik Papua tidak akan selesai,” tegasnya.
 Sementara itu, Direktur ALDP Latifa Anum Siregar juga mengungkapkan hal yang sama, jika Pastor Neles menamakan tahun 2009 sebagai tahun penembakan, maka Anum yang menyebutkannya sebagai tahun penuh intimidasi dan kekerasan.
 Betapa tidak, dari awal tahun hingga akhir  tahun 2009 ALDP mencatat banyak sekali kasus kekerasan dan intimidasi, penangkapa sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil Papua oleh Kopolisian dan TNI yang terlalu banyak untuk dirunut secara baik dan jelas.
“Saya sedikit kesulitan untuk menulis laporan, karena terlalu banyak sekali kasus yang terjadi, mulai dari kasuka-kasus kecil, sampai pada kasus besar, terlalu banyak,” sebut Anum yang mengaku agak ngeri jika merekam kembali kasus di tahun 2009.
 Anum menambahkan, pendekatan militerisme dan kekerasan masih terus dipraktekkan aparat keamanan di Papua dalam rangka penyelesaian konflik, bahkan permainan isu-isu  untuk melemahkan komponen masyarakat sipil belum juga  redah, sebut saja penggrebakan sekretaria DAP dengan tuduhan menyimpan senjata api, padahal tidak tebukti.
 Tambah lagi, tuduhan, penangkapan serta penahanan pada masyarakat sipil, yang setelah menjalani pemeriksaan tidak dapat dibuktikan bahkan ada beberapa yang digiring sampai ke Pengadilan tapi nyatanya juga bebas dari jerata hukum.
“Bagaimana mengembalikan nama baik seseorang atau kelompok ini, tidak ada di Papua, Sebby Sambom dituduh Makar yang kemudian di tahan, tapi kenyataannya dia dibebaskan dari jeratan hukum itu, jadi tahun 2009 adalah tahun yang mengerikan bagi saya,” jelasnya.
 Dengan catatan-catatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen, baik Anum maupun Pastor keduanya berharap agar di tahun 2010 aparat keamanan dapat seminimal mungkin atau menghentikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua.
“Kalau tahun 2009 sebagai tahun penembakan, maka tahun 2010 ini mari kita duduk untuk bicara, mengapa kita harus membunuh karena alasan separatis, tidakkan?,” ajaknya. (hen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar